Berhias disukai dan diminati oleh manusia karena berhias berarti keindahan dan jiwa manusia cenderung kepada keindahan, kecenderungan kepada keindahan ini dimiliki oleh laki-laki, di samping ia juga dimiliki oleh wanita. Suami berharap istrinya tetap menarik, membahagiakan jika dipandang, istri berharap suaminya berpenampilan baik sesuai dengan kelaki-lakiannya, hanya saja kecenderungan wanita lebih kepada menghiasi diri, sementara kecenderungan laki-laki lebih kepada menikmati perhiasan, dari sini maka tulisan ini lebih fokus kepada berhias dari sisi wanita atau istri.

Dalam lingkup rumah tangga berhiasnya seorang istri untuk suami merupakan perkara yang tidak patut disepelekan, hal ini karena tabiat suami sebagai laki-laki menyukai kecantikan dan keindahan, kalau dia tidak mendapatkan ini dari istri, lalu dari mana dia mendapatkannya. Dalam konteks membahagiakan suami dengan cara-cara yang tidak melanggar batas-batas agama bisa bernilai sebagai sebuah ibadah yang mulia, karena hal tersebut sebagai wujud kecintaan dan kataatan istri kepada suami.

Hukum berhias

Pada dasarnya berhias atau perhiasan dibolehkan, tidak dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil, ia termasuk salah satu nikmat Allah kepada hamba-hambaNya, Allah telah mengingkari siapa pun yang mengharamkan perhiasan yang Dia sediakan untuk hamba-hambaNya.

Firman Allah, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hambaNya dan (siapa pula yang mengharamkan) rizki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di Hari Kiamat.” (Al-A’raf: 32).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Aku menyaksikan shalat Id bersama Nabi saw, beliau shalat sebelum khutbah… lalu Nabi saw mendatangi para wanita, beliau memerintahkan mereka bersedekah, maka mereka melemparkan cincin dan kalung dan Bilal menadahinya dengan kainnya.”

Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/330 menyebutkan bahwa al-Bukhari meriwayatkan secara muallaq bahwa Aisyah mempunyai beberapa cincin emas, Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa riwayat ini diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu Saad.

Demi siapa seorang istri berhias

Ladang ibadah seorang istri adalah suami, dari sini maka hendaknya apa yang dia lakukan pada dirinya adalah semata-mata demi suami termasuk berhias dan mempercantik diri, jika niat istri dalam berhias adalah demi suami maka hal tersebut bernilai ibadah, di samping itu istri tidak akan memperlihatkan perhiasan dirinya kepada orang lain, karena dia memang berhias hanya untuk suami semata bukan untuk orang lain.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah berkata, Rasulullah saw datang kepadaku sementara di tanganku terpasang gelang dari perak, beliau bertanya kepadaku, “Ini apa wahai Aisyah?” Aku menjawab, “Aku melakukannya dengan maksud berhias untukmu.” Nabi saw bertanya, “Kamu menzakatinya?” Aku berkata, “Tidak, masya Allah.” Nabi saw bersabda, “Ia adalah bagianmu dari neraka.”

Kita melihat dalam hadits ini apa yang dilakukan oleh Aisyah dengan memakai gelang dari perak dalam rangka berhias demi suaminya yaitu Rasulullah saw dan beliau tidak mengingkarinya, yang beliau persoalkan dalam hadits di atas adalah sisi yang tidak berkait dengan pembicaraan kita yaitu zakat perhiasan.

Yang terjadi saat ini dan pada zaman ini adalah kebalikannya, seorang istri tidak hanya berhias untuk suaminya semata, akan tetapi di samping untuk suaminya, dia juga berhias untuk selain suami, bahkan sebagian istri tidak berhias untuk suami, tetapi justru berhias untuk orang lain, bukti dari hal ini adalah berhiasnya sebagian istri pada saat dia keluar rumah, sementara di dalam rumah, istri tidak memperhatikan dirinya, pakaiannya ala kadarnya dan rambutnya tidak tertata rapi, tidak masalah kalau suami sedang tidak di rumah, tetapi yang sering hal itu terjadi pada saat suami sedang berada di rumah, namun begitu ada acara di luar rumah, maka dia akan berdandan habis, untuk siapa? Jadi suami tidak meraih yang khusus dari istrinya, sebagian jatahnya diberikan kepada orang lain.

Kepada siapa wanita menampakkan perhiasannya

Kepada orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya, “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An-Nur: 31).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan siapa-siapa yang boleh melihat perhiasan seorang wanita, di samping suami yang memang berhak mendapatkan bagian terbesar dan terkhusus, ada pula para mahram dan orang-orang di mana terlihatnya perhiasan wanita kepada mereka tidak menimbulkan fitnah dan kerusakan.

Macam-macam perhiasan

Pada dasarnya berhias dan perhiasan terbagi menjadi dua; perhiasaan bawaan atau pemberian dan perhiasan buatan. Yang pertama berarti perhiasan yang sudah dibawa atau dimiliki oleh seorang wanita sebagai pemberian dari Allah seperti kecantikan wajah dan keindahan tubuh. Yang kedua berarti perhiasan yang dihasilkan dan dilakukan oleh seorang wanita dalam upaya menjaga dan menambah perhiasan yang pertama seperti pakaian, make up, perlengkapan perhiasan, emas, perak dan sebagainya.

Perhiasan pertama yang merupakan karunia ilahi, seorang wanita tidak memiliki upaya dalam bagian ini, karena ia merupakan jatah dari ‘sana’, maka dia harus menerimanya dengan rela, tidak perlu menggerutu dan meratapi jatah, lebih-lebih melakukan usaha-usaha merubah ciptaan Allah, tidak perlu, karena pada dasarnya Allah menciptakan kaum hawa ini dengan kecantikan dan keindahan, masing-masing memiliki porsi darinya yang sudah ditakar oleh sang Pemberi, di lain pihak penilaian terhadap kecantikan bersifat relatif dan yang penting bagi seorang wanita adalah suami, jika suami sendiri ma fi musykilah dan menerima bahkan memandangnya yang terbaik dan tercantik, maka hendaknya dia bersyukur, karena dia memang demikian walaupun hanya di mata suami, tetapi itu lebih dari cukup. Mau penilaian dari siapa? Orang lain? Tidak perlu, memang dia itu siapa?

Barangkali yang perlu dan bisa dilakukan adalah menjaga, banyak hal yang bisa dilakukan demi menjaga ini, misalnya menjaga makanan, makan makanan yang berimbang sehingga tubuh tetap langsing dan tidak melebar, makan sayur dan buah-buahan sehingga tubuh terlihat segar, minum jamu atau ramuan-ramuan tertentu, beristirahat yang cukup sehingga kesehatan terjaga, berolah raga sebatas yang diizinkan dan mungkin dilakukan, dan masih banyak lagi perkara-perkara yang bisa dilakukan demi menjaga perhiasan bawaan dan pemberian ilahi ini, tidak masalah selama motivasi istri dalam melakukannya adalah hanya untuk suami seorang.
(Izzudin Karimi)