Mu’tazilah mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang terangkum dalam lima dasar:
Pertama: Tauhid.
Kedua: ‘Adl (Keadilan).
Ketiga: Waad dan Waid (Janji pahala dan ancaman siksa).
Keempat: Manzilah baina manzilatain.
Kelima: Amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Penjelasan tentang maksudnya telah berlalu. Sekarang kita akan menelaah lima dasar ini.

Pertama, Tauhid

Penafsiran tauhid ala Mu’tazilah tidak bermasalah, akan tetapi yang bermasalah adalah konsekuensi yang mereka letakkan dari penafsiran tersebut, dengan alasan menetapkan tauhid, mereka menafikan dan meningkari sifat-sifat Allah, karena –menurut mereka- jika sifat-sifat ditetapkam maka Allah memiliki tandingan, dan itu bukan merupakan tauhid.

Ini jelas keliru, karena mengingkari sifat-sifat berarti mengingkari ayat-ayat dan hadits-hadits yang menetapkannya, menafikan sifat-sifat berarti menafikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menetapkannya. Berapa banyak ayat dan hadits yang harus dikorbankan dan dibuang jika penafsiran tauhid seperti ini kita pegang. Klaim bahwa menetapkan sifat berarti menetapkan tandingan bagi Allah adalah keliru karena perkaranya ternyata tidak seperti itu, karena kita menetapkan sifat-sifat tanpa meyakini kesamaan Allah dengan makhlukNya, karena Allah “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” walaupun begitu Dia menetapkan untuk diriNya bahwa Dia, “Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

Penetapan sifat kepada Allah tidak mengharuskan bahwa Allah sama dengan makhlukNya, karena sebagaimana dzat Allah tidak sama dengan dzat makhluk, begitu pula sifatNya, di samping itu kita melihat adanya perbedaan sifat-sifat di antara makhluk dengan sangat jelas, tentunya sifat Khalik dengan makhluk lebih layak untuk berbeda.
Begitu pula penafian ru`yah Allah di akhirat dengan alasan yang mereka katakan adalah keliru, karena ia menabrak ayat dan hadits shahih dari Rasulullah saw.

Firman Allah, ”Wajah orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhan-nyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23).

Firman Allah, ”Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari melihat Tuhan mereka.” (Al-Muthaffifin: 15).

Ibnu Qudamah di dalam Lum’ah al-I’tiqad hal. 86 berkata, “Manakala mereka terhalang dalam kondisi murka, berarti orang-orang mukmin melihatNya dalam kondisi ridha, karena jika tidak, maka tidak ada perbedaan di antara keduanya.”

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bahwa Nabi saw bersabda, ”Sesungguhnya kalian melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat rembulan, kalian tidak terhalang dalam melihatnya.” Yang disamakan di sini adalah melihat bukan yang dilihat.

Hadits-hadits yang menetapkan ru`yah Allah pada Hari Kiamat mencapai derajat mutawatir, hal ini dikatakan oleh penulis Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, Ibnu Abu al-Iz al-Hanafi 1/215 dan Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari 1/203.