Rasulullah saw sebagai teladan mutlak dan menyeluruh tidak diperdebatkan oleh dua orang muslim, termasuk dalam perkara rumah tangga. Tidak sedikit pelajaran, nasihat dan input positif yang bisa di ambil darinya. Sebagai seorang suami pemimpin rumah tangga, di samping tugas-tugas penting lainnya, beliau adalah suami dengan tanggung jawab paling berat, membawahi, mengayomi dan bertanggung jawab kepada sebelas orang istri, dua orang dari mereka meninggal semasa beliau hidup, yaitu Khadijah binti Khuwailid dan Zaenab binti Khuzaimah yang berjuluk Ummul Masakin, sisanya yang sembilan orang ditinggal wafat oleh beliau.

Dengan tanggung jawab besar ini beliau menjalani dan memimpin rumah tangganya dengan sangat baik dan bijaksana sehingga rumah tangga beliau terbentuk menjadi rumah tangga yang menurut ungkapan orang-orang sekarang, sakinah mawaddah wa rahmah, beliau sebagai suami menjadi teladan bagi para suami, karena suami terbaik secara mutlak adalah beliau, “Wa ana khairukum li ahli.” Dan aku adalah yang terbaik dari kalian untuk keluargaku. Dan rumah tangga beliau sebagai cermin dan kiblat bagi rumah tangga kaum muslimin.

Semua itu tidak berarti bahwa rumah beliau bersih dan bebas dari problem dan rintangan. Benar, beliau adalah seorang nabi dan rasul, namun istri-istri beliau adalah manusia biasa yang tidak lepas dari tabiat manusia pada umunya secara umum, tidak luput dari tabiat para wanita secara khusus dan tidak steril dari tabiat para istri secara lebih khusus. Dari sini muncul masyakil, persoalan-persoalan di dalam rumah tangga beliau yang berawal dari tarik ulur atau gesekan antara beliau dengan para istri atau antara sebagian istri dengan sebagian yang lain, lumrah dan biasa. Namun justru dari sini kita bisa memetik buah pelajaran berumah tangga pada saat kita menghadapi problem yang serupa atau yang mirip dengannya. Walaupun pelaku rumah tangga berbeda namun tidak jarang problemnya sama atau mirip atau tidak berbeda jauh.

Ada beberapa peristiwa dan kejadian dalam rumah tangga Rasulullah saw yang dicatat oleh kitab-kitab sunnah. Penulis akan menyebutkannya dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut, setelahnya penulis akan mengurai pelajaran yang bisa kita petik darinya. Semoga bermanfaat.

Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitabul Jana`iz Bab at-Taslim ala Ahlil Qubur wat Tarahhum Alaihim wad Du’a` Lahum dari Muhammad bin Qais bahwa pada suatu hari dia berkata, “Maukah kalian aku beritahu tentang diriku dan ibuku?” Dia –rawi dari Muhammad bin Qais, seorang laki-laki dari Quraisy- berkata, kami mengira maksudnya adalah ibu yang melahirkannya. Muhammad bin Qais melanjutkan, Aisyah berkata, “Maukah kalian aku beritahu tentang diriku dan Rasulullah saw?” Kami menjawab, “Ya.” Dia berkata, pada malam di mana ia merupakan giliran Rasulullah saw untuk menginap padaku, beliau pulang kepadaku, beliau melepas pakaiannya, melepas sepasang sandalnya dan meletakkan keduanya di sisi kakinya, beliau menggelar kainnya lalu berbaring. Tidak lama berselang, hanya sebatas beliau mengira aku telah tidur, beliau bangun mengambil pakaiannya pelan-pelan, memakai sandal pelan-pelan, membuka pintu pelan-pelan, lalu beliau keluar, kemudian menutup pintu pelan-pelan, maka aku meletakkan kainku di kepala, aku berkerudung dan aku memakai kain sarungku, kemudian aku keluar mengikuti beliau sampai beliau tiba di (kuburan) Baqi’. Beliau berdiri, berdirinya lama lalu mengangkat kedua tangannya tiga kali, kemudian beliau berbalik maka aku pun berbalik, beliau berjalan sedikit cepat maka aku pun berjalan sedikit cepat, beliau berjalan lebih cepat lagi maka aku pun berjalan lebih cepat lagi, beliau berlari maka aku pun berlari, aku berhasil mendahuli beliau maka aku langsung masuk, begitu aku berbaring beliau sudah masuk, beliau bertanya, “Ada apa dengan dirimu wahai Aisyah? Mengapa nafasmu naik turun?” Aku menjawab, “Tidak ada.” Nabi saw berkata, “Katakanlah atau Yang Mahalembut lagi Maha mengenal yang akan mengatakan.” Aisyah berkata, aku berkata, “Ya Rasulullah, aku korbankan bapak dan ibuku.” Maka Aisyah mengatakan apa yang baru saja dia lakukan. Rasulullah saw bersabda, “Jadi bayangan hitam yang aku lihat di depanku tadi adalah kamu?” Aku menjawab, “Benar.” Maka Rasulullah saw mendorong dadaku dengan satu dorongan yang membuatku terasa sakit. Kemudian beliau bertanya, “Apakah kamu mengira Allah dan rasulNya akan menzhalimimu?” Aisyah menjawab, “Apa pun yang disembunyikan oleh manusia pasti Allah menegetahui. Benar.” Nabi saw bersabda, “Jibril datang kepadaku pada saat kamu melihat, dia memanggilku, dia memelankannya darimu, maka aku menjawab panggilannya dan aku pun memelankannya, Jibril tidak akan masuk kepadamu sementara kamu telah meletakkan pakaianmu, aku mengiramu telah tidur, aku tidak ingin membangunkanmu, aku khawatir kamu akan ketakutan. Jibril berkata kepadaku, “Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu agar datang kepada penghuni Baqi’ dan beristighfar untuk mereka.” Aisyah berkata, “Bagaimana aku berkata untuk mereka ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Semoga keselamatan atas penghuni kubur dari orang-orang mukmin dan orang-orang muslim, semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului dan yang masih tertinggal, insya Allah kami benar-benar akan menyusul.”

Pelajaran

Hadits ini sarat dengan pelajaran, penulis hanya membatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan prilaku rumah tangga antara suami dan istri, karena inilah maksud dari dikutipnya hadits ini di sini.

1- Kebaikan akhlak Rasulullah saw sebagai suami kepada keluarganya, beliau tidak ingin mengganggu keluarganya pada saat dia sedang mengambil hak istirahat walaupun itu demi melaksanakan perintah Allah untuk pergi ke kuburan Baqi’ dan memohon ampunan untuk kaum muslimin di sana. Bahkan untuk menjawab panggilan Jibril, beliau menjawabnya dengan pelan, beliau tidak ingin membuat keluarganya terkejut atau takut.

Bisa saja Rasulullah saw membangunkan keluarganya dan memintanya menunggu kepulangan beliau dalam keadaan terjaga atau tertidur, tetapi ini tidak beliau lakukan, sebab hajat yang akan beliau laksanakan belum diketahui apakah akan membutuhkan waktu lama atau sebentar. Menunggu pada waktu yang semestinya untuk istirahat tentu sangat memberatkan, lebih-lebih menunggu dalam keadaan terjaga untuk sesuatu yang belum diketahui selesainya. Dari sini Rasulullah saw memilih keluar diam-diam karena beliau tidak ingin merepotkan keluarga pada waktu yang seharusnya dia tidak direpotkan.

2- Kelembutan beliau dalam bersikap kepada keluarga, beliau tidak marah kepada keluarganya setelah mengetahui bahwa dia membuntutinya, beliau hanya bertanya apa yang sebenarnya terjadi, meminta kejelasan, karena dalam kasus seperti ini bukan kemarahan yang diperlukan, kemarahan justru memicu masalah baru, yang diperlukan adalah ketenangan dan keterbukaan selanjutnya adalah saling memahami. Selesai.

3- Keluarga Rasulullah saw yang satu ini melakukan hal ini karena didorong rasa cemburu, dia khawatir Rasulullah saw mendatangi istrinya yang lain pada malam di mana ia merupakan haknya. Dalam riwayat Ahmad, Aisyah berkata, “Maka aku cemburu kepadanya, aku khawatir beliau datang kepada salah seorang istrinya, lalu beliau pulang melihat apa yang aku lakukan, beliau bertanya, “Apakah kamu cemburu?” Aku menjawab, “Apakah orang sepertiku tidak cemburu kepada orang sepertimu?” Kecemburuan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang wajar, orang yang cemburu akan melakukan apa yang merupakan ungkapan dari kecemburuannya tersebut. Dalam kasus ini Rasulullah saw tidak menampakkan kekesalannya kepada keluarganya atas perbuatannya yang terdorong oleh rasa cemburu, beliau juga tidak mempersoalkan kecemburuannya.

4- Kasus ini boleh dibilang timbul karena kesalahan presepsi dan ia selesai dengan sangat mudah, karena yang dibutuhkan hanyalah konfirmasi, saling percaya dan menjaga kepercayaan.

5- Terakhir, penulis membayangkan kejar-kejaran antara Rasulullah saw dengan keluarganya pada malam hari. Ketika Rasulullah saw selesai berdoa dan berbalik untuk pulang, keluarganya yang mengetahui hendak pulang, karena tidak ingin diketahui, langsung mengambil langkah, begitu Rasulullah saw mempercepat langkahnya, dia pun mempercepat langkahnya, semakin cepat Rasulullah saw melangkah, semakin cepat dia melangkah, sehingga dia tiba di rumah dengan nafas tersengal-sengal karena berlari. Dan Rasulullah saw mengetahui ada bayangan di depan beliau tetapi beliau belum mengetahui bahwa ia adalah keluraganya, beliau baru mengetahui ternyata bayangan yang berjalan mengkuti irama jalan beliau itu adalah keluarganya setelah tiba di rumah dan pemilik bayangan mengaku. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)