Jama’ah Ahlu Hadits adalah gerakan Islam yang paling tua di dataran semenanjung India yang berpijak di atas dakwah kepada al-Qur`an dan sunnah dengan pemahaman salaf shalih dari para sahabat, tabiin dan para ulama yang mengikuti jalan mereka, mendahulukan keduanya di atas ucapan dan petunjuk selain keduanya dalam akidah, ibadah, akhlak, muamalah bahkan politik, membuang syirik, khurafat dan perkara-perkara yang mengotori kebersihan Islam.

Sejarah Ahlu Hadits di Semenanjung India

Sejarah Ahlu Hadits di semenanjung India kembali kepada zaman Islam pertama, saat itu sebagian wilayah India telah dinaungi oleh cahaya Islam melalui usaha-usaha para saudagar dan para mujahidin Arab yang tiba di perbatasan Sind, Maltan, Malabar, Gujarat dan daerah pesisir India, maka terbentuklah di sana pusat-pusat kajian hadits di wilayah Sind dan Maltan yang dihadiri oleh para ahli hadits dari kalangan Arab maupun non Arab.

Abu al-Qasim al-Maqdisi seorang petualang terkenal telah mengunjunginya di tahun 375 H, dia memaparkan keadaan Ahli Hadits di daerah tersebut dalam bukunya Ahsan at-Taqasim, dia berkata, “Kebanyakan dari mereka adalah Ashab Hadits, tidak ada wilayah darinya kecuali di sana ada fuqaha` dengan madzhab Abu Hanifah…Mereka di atas jalan yang lurus, aliran yang terpuji, keshalihan dan kesucian, Allah Ta’ala telah menjauhkan mereka dari sikap berlebih-lebihan, fanatisme dan fitnah.”

Di akhir abad keempat hijriah, kelemahan mulai menyusup ke dalam gerakan Ahlu Hadits dan puncaknya adalah abad sembilan hijriah, saat itu perselisihan dan fanatisme meruncing, muncul fitnah Ismailiyah batiniyah yang menyerang Ahlus Sunnah dengan berbagai fitnah dan persoalan, akibatnya perhatian terhadap hadits menurun, taklid mewabah, ta’ashshub kepada madzhab menyebar, sikap jumud meluas dan ilmu-ilmu Yunani mendominasi.

Sekalipun demikian di semenanjung India saat itu masih tersisa para ulama hadits murid-murid Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam as-Sakhawi, Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dan lainnya yang senantiasa berpijak kepada manhaj Ahlu Hadits.

Ahlu Hadits di Semenanjung India di Zaman ini

Bersama hadirnya abad sebelas hijriah, peran baru dari Ahlu Hadits mulai terlihat di tangan Syaikh Ahmad as-Sarhindi, wafat tahun 1034 H dan ia menguat di zaman Imam Syah Waliyullah ad-Dahlawi al-Muhaddits yang wafat tahun 1175 yang terus dilanjutkan oleh putra tertuanya Syah Abdul Aziz bin Waliyullah ad-Dahlawi, 1159 – 1239 H, di mana mereka mengambil manhaj kakek mereka dalam berdakwah, membimbing, mengajar dan menyusun, membuang fanatisme madzhab dan sikap jumud, mereka semakin kuat dan menyebar di zaman cucunya Imam Ismail bin Abdul Ghani ad-Dahlawi, wafat tahun 1243 H, penulis kitab Taqwiyah al-Iman, seorang panglima jihad dan pelopor dakwah yang akhirnya gugur sebagai syahid di perang Balakut tahun 1243 H.

Setelah Imam Ismail gugur, Ahlus Hadits memikul tugas meneruskan dakwah dan jihad dengan penuh amanah dan keikhlasan tinggi. Gerakan mereka terfokus kepada tiga medan utama:

1-Medan jihad

Gerakan Imam Ismail ad-Dahlawi tidak terbatas pada upaya menghidupkan kembali semangat beramal sesuai dengan al-Qur`an dan sunnah, menegakkan khilafah di atas manhaj nubuwwah, membasmi fanatisme madzhab, bid’ah dan akidah-akidah sesat, lebih dari itu gerakan Imam merambah medan jihad melawan penjajah Inggris khususnya di perbatasan utara India sehingga Inggris harus angkat kaki dari sama tahun 1947 M.

Setelah India dan Pakistan berpisah, para mujahidin tetap meneruskan jihad mereka sehingga salah satu pasukan mereka berhasil membuka kota Muzhaffar Abad dan di bawah kepemimpinan Syaikh Fadhl Ilahi al-Wazir Abadi, wilayah-wilayah lainnya ditaklukan yang sekarang membentuk negara Kashmir.

Di antara tokoh mereka yang menonjol di bidang ini adalah Syaikh Wilayat Ali ash-Shadaqfuri yang wafat tahun 1269 H dan saudaranya Syaikh Inayat Ali ash-Shadaqfuri yang wafat tahun 1274 H. keluarga Shadaqfur adalah orang-orang yang memikul tugas jihad dan mengangkat panjinya, mereka memperlihatkan kepahlawanan yang luar biasa.

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah, isyraf Dr. Mani’ al-Juhani.