Hukum penggunaan kalender Hijriyah

Nash-nash (dalil-dalil) syar’i menunjukkan wajibnya menggunakan kalender Qomariyah (berdasarkan peredaran bulan)yang kita kenal dengan kalender Hijriyah, di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ” (البقرة: من الآية189).

” Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)

Sisi pendalilan (wajhu dilalalah):

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Hilal (bulan sabit) sebagai tanda berawal dan dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya Hilal dimulaialah bulan baru dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Maka jadilah Hilal-hilal itu sebagai patokan waktu, dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qomari karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:“Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa Hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia, dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan Hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah, dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukm yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oleh seorang hamba. Maka hukum-hukum yang ditetapkan dengan syari’at atau dengan syarat maka patokan waktunya berdasarkan Hilal, dan masuk ke dalam hal ini puasa, haji, ilaa’ (sumpah dari seorang suami untuk tidak menjima’ (berhubungan badan) istrinya dalam waktu kurang dari 40 hari), dan ‘iddah (masa menunggu setelah dicerai).”

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ” (التوبة: من الآية36).

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi.”(QS. At-Taubah: 36)

Sisi pendalilan (wajhu dilalalah):

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati penghitungan waktu dengan menggunakan peredaran bulan, dan bahwasanya bulan-bulan Qomari apabila sampai pada bilangan ini (12) dinamakan sebagai satu tahun. Dan inilah makna bilangan bulan dalam ayat di atas.

Al-Fakhru ar-Razi berkata:“Para ulama berkata bahwa wajib bagi kaum muslimin berdasarkan ayat ini untuk menghitung dalam perdagangan mereka, waktu jatuh tempo hutang mereka, zakat mereka dan hukum-hukum yang lain dengan peredaran bulan, dan tidak boleh menghitungnya dengan perhitungan tahun selain hijriyah (masehi dan lain-lain).”(at-Tafsir al-Kabir 16/53). Dan beliau rahimahullah menyebutkan bahwa bulan-bulan yang dianggap (diperhitungkan) di dalam syari’at Islam patokanya/landasan adalah dengan melihat bulan, dan tahunnya adalah tahun Qomariyah (hijriyah).(at-Tafsir al-Kabir 17/35-36)

Dalil dari hadits

Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له” رواه البخاري (2/674) ومسلم (2/762).

“Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul fithri). Maka apabila kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh.”(HR. al-Bukhari 2/674, Muslim 2/762)

Sisi pendalilan (wajhu dilalalah):

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhir bulan Sya’ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal, dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.

Dan kesimpulan dari dalil-dalil di atas secara tegas menyatakan bahwa yang dipraktekkan dan dijadikan perhitungan adalah kalender Hijriyah, hal itu yang menguatkan wajibnya berpegang teguh dengannya dan bukan dengan kalender-kalender selainnya. Dan kalender ini cocok dengan keadaan-keadaan manusia, karena ia cocok bagi setiap bangsa karena mudahnya dan gampang dikomunikasikan untuk masing-masing pihak. Dan generasi awal (salaf) umat Islam dari kalangan Shahabat radhiyallahu ‘anhum, dan Tabi’in telah bersepakat dalam penggunaan kalender ini.

Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin rahimahullah berkata:” Perhitungan kalender harian dimulai dari terbenamnya matahari, dan bulan dimulai dengan munculnya hilal, dan tahun dimulai dari hijrah (hijrah Nabi), dan inilah yang dipraktekkan oleh kaum Muslimin, yang mereka ketahui dan dijadikan perhitungan oleh Ahli Fiqih dalam kitab-kitab mereka.”(Adh-Dhiyaa’u al-Laami’ min Khutbatil Jawaami’ halaman 307)

Dan berdasarkan pembahasan yang telah lalu, maka penggunaan kalender Hijriyah dan masehi mempunyai beberapa keadaan:

Pertama: Menggunakan kalender Hijriyah saja

Hukum dari keadaan ini adalah bahwasanya petunjuk Syari’at mengarah pada kewajiban mengamalkan kalender Hiriyah, dan bahwasanya penghitungan waktu-waktu ibadah berdasar padanya dan itu adalah syi’ar dan simbol Islam.

Kedua: Menggunakan kalender Hijriyah dan masehi secara bersamaan

Telah kami sebutkan pada keadaan pertama bahwa pada asalnya perhitungan yang harus digunakan adalah kalender Hiriyah, dan hukum ini mencakup seluruh idividu dan negeri-negeri Islam. Akan tetapi tidak mengapa untuk memanfaatkan kalender masehi, akan tetapi hanya sebagai pembantu kalender Hijriyah, yang dia (kalender masehi) disebutkan di belakang kalender masehi ketika dibutuhkan atau ketika ada maslahat yang kuat. Contohnya kita katakan:” sekarang tanggal 23 Muharram 1432 bertetapatan dengan 29 desember 2010.” Dan tidak mengapa kita mengambil –bukan mengganti- perhitungan (kalender) umat-umat lain yang bermanfaat bagi kita dalam beberapa kesempatan dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan perkara-perkara dunia.

Adapun yang berkaitan dengan musim yang empat, dan penggunaannya dalam mengatur matapencaharian, pekerjaan, dan pendidikan, maka hal ini tidak ada kaitannya dengan pembahasan kita tentang kalender Hijriyah maupun masehi.

Ketiga: Menggunakan kalender masehi saja

Berdasarkan pembahasan yang telah lalu bahwasanya kalender masehi berkaitan dengan agama dan kebudayaan nashrani (kristen), dan ini tampak jelas dari nama-nama bulan yang ada dalam kalender masehi. Maka sebagian besar nama-nama itu adalah nama berhala yang berkaitan tuhan-tuhan nashrani, atau nama-nama kaisar atau nama-nama pendeta mereka. Oleh sebab itu penetapan kalender masehi sebagai simbol bagi suatu Negara dan menggunakan perhitungan tanggal dengannya dalam berbagai hal adalah bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang Nashrani, dan telah banyak nash-nash Syar’iat yang mengharamkan hal tersebut. Di antara nash tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“من تشبه بقوم فهو منهم”

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum itu.” (HR. Imam Ahmad 2/50, 2/92 dengan sanad yang diperbincangkan, dan diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Dan hadits di atas mengandung larangan tasyabbuh dengan simbol-simbol orang kafir, hari raya mereka kebiasaan-kebiasaan dan seragam-seragam mereka serta apa-apa yang menjadi kekhususan mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwa penggunaan kalender masehi masuk kedalam ciri khas orang kafir.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang:

Apakah perhitungan dengan kalender masehi termasuk bentuk loyalitas kepada orang kafir?

Maka beliau hafizhahullah menjawab:“Tidak dianggap sebagai bentuk loyalitas, akan tetapi dianggap sebagai tasyabbuh. Para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu tidak menggunakan kalender masehi, padahal saat itu kalender itu ada,akan tetapi mereka justru beralih ke kalender Hijriyah. Dan penetapan mereka terhadap kalender Hijriyah dan tidak menggunakan kalender masehi padahal dia telah ada di zaman mereka merupakan dalil bahwasanya kaum muslimin wajib untuk mandiri dan berlepas diri dari adat-adat dan kebiasaan orang kafir, lebih-lebih kalender masehi adalah symbol dari agama mereka, karena ia mengisyaratkan pada pengagungan kelahiran al-Masih dan berhari raya dengannya di setiap penghujung tahun. Dan ini adalah bid’ah yang diada-adakan oleh Nashrani, dan kita tidak turut serta dengan mereka dan tidak mendorong (menyemangati) mereka dalam hal ini. Dan jika kita menghitung penanggalan dengan kalender masehi itu berarti kita telah bertasyabbuh dengan mereka, dan kita –Alhamdulillah- memiliki kalender Hiriyah yang telah ditetapkan oleh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu salah seorang Khalifah Rasyidin di hadapan kaum Muhajirin, dan ini sudah cukup bagi kita.”(al-Muntaqa’ min Fatawaa al-Fauzan no. 153)

Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata:“Kaum Muslimin telah bersepakat dan mencukupkan diri dalam penaggalan merak dengan menggunakan kalender Hijriyah sejak zaman ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang mana awal mula penaggalan tersebut dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kaum Muslimin menggunakannya dalam kitab-kitab mereka, dan sejarah mereka, sekalipun mereka telah mengetahui kalender-kalender umat sebelum mereka. Dan hal ini senantiasa berlangsung hingga orang-orang kristen menguasai sebagian besar negeri-negeri Islam, menjajah mereka dan memaksa mereka untuk mempelajari kalender masehi, dan membuat kaum muslimin lupa dengan kalender Hijriyah kecuali apa yang dikehendaki Allah.”

Maka kita katakan:“Sesungguhnya dalam penggunaan kalender Hijriyah mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa Islam dan keadaan-keadaan kaum Muslimin di masa lalu, kemudian juga dia lebih jelas dan gamblang karena dia berdasarkan pada peredaran bulan yang bisa dilihat dengan mata telanjang, dan dengan melihatnya kita bisa mengetahui awal dan akhir dari setiap bulan, tanpa membutuhkan perhitungan dan penulisan. Maka dinasehatkan bagi kaum Muslimin untuk mencukupkan diri dalam penanggalan mereka dengan apa yang digunakan oleh para pendahulu mereka (Salaf), dan untuk meninggalkan penanggalan nashrani yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Akan tetapi dia dibangun di atas nukilan dari Ahli kitab dan mereka tidak meyakinkan, yang mana mereka tidak menetapkan hal itu dengan penukilan yang benar. Dan kapan dibutuhkan pengetahuan terhadap tahun Syamsiah, maka di sana ada penanggalan Syamsiah Hijriyah yang berpatokan pada perhitungan, dan berjalan berdasarkan peredaran bintang yang dua belas yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ بُرُوجاً” (الحجر: من الآية16)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang (nya).”(QS. Al-Hijr: 16)

Dan itu diketahui oleh Ahli Hisab dan ahli Falak, maka dalam pengetahuan tentang hal itu telah mencukupkan kita dari kebutuhan kita terhadap kalender nashrani. Wallahu A’lam.”(Majalah Dakwah edisi 2076)

Adapun berkaitan dengan orang yang tinggal di Negara yang peraturannya menggunakan kalender masehi, maka apabila peraturan di sana membolehkan untuk menggunakan kalender Hijriyah bersamaan dengan kalender masehi, maka wajib bagi setiap individu untuk mengisyaratkan kepada kalender Hijriyah di surat-menyurat dan kegiatan-kegiatan mereka semampu mereka, karena hal itu adalah bentuk pelestarian terhadap kalender Hijriyah sebagai symbol bagi ummat Islam, dan meminimalisir mafsadat yang terjadi yang disebabkan penggunaan kalender masehi. Dan kaidah Syari’at menyatakan bahwa apabila tidak dimungkinkan menghilangkan mafsadat secara total dengan sebab-sebab dan pemicunya, maka meminimalisir dampak yang ditimbulkan dan mengurangi adalah sebuah keharusan dan itu adalah salah satu Maqashid Syari’ah yang suci.(Ahkam wa Fataawaa az-Zakat tahun 1423H yang diterbitkan oleh Baitu az-Zakat di Kuwait).

Adapun kalau peraturan resmi sebuah Negara melarang mengisyaratkan kepada penanggalan Hijriyah, dan mereka memeranginya, maka wajib bagi setiap individu dalam kondisi seperti ini untuk mengerahkan kemampuannya dalam mengingkari dan memberikan nasehat danjuga memperhatikan kondisi dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat yang kemungkinan terjadi. Dan berusaha menghilangkan sebab-sebab mafsadat yang terjadi dan berusaha meminimalisir dampak yang ditimbulkannya, apabila tidak mungkin menghilangkannya. Dan masuk dalam pembahasan ini adalah berinteraksi dengan Negara dan perusahaan dunia yang berpatokan dengan kalender masehi. Dan dalam akhir pembahasan aku wasiatkan kepada umat ini dan pihak yang berwenang di negeri kaum Muslimin di manapun berada untuk berpegang teguh dalam penanggalan mereka dengan kalender Hijriyah, dalam rangka menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam rangka berpegang teguh dengan Sunah Khulafa ar-Rasyidin dan Ijma’ Shahabat, dan sebagai bentuk kebanggaan dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala Alihiwa Shahbihi wasallam, wa Akhiru Da’waanaa anil Hamdulillah Rabbil ‘Alamin

(Sumber: Dinukil dari استخدام التاريخ الميلادي oleh Abdul Latif al-Qorni dari http://www.dorar.net/art/223. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)