Masalah ini termasuk masalah yang rumit dalam ilmu Musthalah Hadits, dan salah satu masalah yang di dalamnya terjadi perbedaan Ijtihad dari salah seorang imam ahli hadits, dan tentunya lebih berbeda lagi antara Ijtihadnya dengan Ijtihad imam-imam yang lain.

Dan seperti hadits-hadits yang dikatakan memiliki ‘Ilat (cacat) oleh imam ad-Daruquthni rahimahullah, maka itu termasuk hadits-hadits syadz, akan tetapi imam al-Bukhari rahimahullah menganggapnya ziyadatu ats-tsiqah (tambahan dari perawi yang tsiqah). Maka jika perbedaan pendapat seperti ini terjadi antara dua imam besar seperti mereka berdua (al-Bukhari dan ad-Daruquthni rahimahumallah), maka lebih pantas lagi terjadi antara orang-orang lain selain mereka berdua (yang kapasitas ilmunya tentunya di bawah mereka rahimahumallah). Bahkan, engkau dapati seorang imam kadang-kadang menganggap sebuah hadits syadz dan pada kesempatan lain dia tidak menganggapnya syadz, dan semua ini termasuk maslah ijtihad.

Sebenarnya masalah ini termasuk salah satu masalah yang sulit dalam ilmu Musthalah Hadits –sekalipun bukan yang paling sulit- dan itu termasuk masalah Ijtihadiyah. Akan tetapi di sana ada perkara-perkara yang jelas, seandainya ada –sebagai contoh- sebuah hadits diriwayatkan oleh beberapa orang perawi dengan sebuah lafazh, lalu ada perawi lain meriwayatkan hadits tersebut dengan lafazh yang menyelisihi lafazh pertama, sedangkan syaikh (guru) mereka satu, maka itu pertanda bahwa perawi yang kedua telah melakukan kesalahan. Dan perbedaan yang ada tampak jelas sekali, dan ini memungkinkan kita untuk menghukumi riwayat yang kedua sebagai riwayat yang syadz.

Sebagaimana –kebalikan dari hal di atas- mungkin untuk diterima, apabila datang kepada kita hadits dari hadits-hadits yang di dalamnya ada sebagian jalur -atau seluruh jalurnya- berkisar pada satu orang syaikh, dan syaikh ini meriwayatkan hadits dari syaikh tertentu. Sebagai contoh misalnya Syu’bah, Syu’bah meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq as-Sabi’i dan Abu Ishaq meriwayatkan dari syaikh lain. Kemudian datang salah seorang perawi meriwayatkan hadits dari Syu’bah dari syaikh lain selain Abu Ishaq dari syaikh yang diambil riwayatnya oleh Abu Ishaq (guru Abu Ishaq). Maka mungkin kita katakan pada kondisi seperti ini:“bahwa perawi ini telah menyelisihi perawi-perawi yang lain. Perawi-perawi yang lain meriwayatkan dari Syu’bah dari Abu Ishaq, sedangkan perawi ini mengganti Abu Ishaq dengan syaikh lain, jadi dia telah menyelisihi”

Akan tetapi kalau datang kepada kita perawi lain atau perawi yang kedua tadi (yang menyelisihi), kemudian berkata:“Dari Syu’bah dari Abu Ishaq.’ Lalu dia menambahkan ke dalamnya perawi lain (di samping Abu Ishaq), maka pada kondisi seperti ini kita bisa memastikan sepenuhnya bahwa ziyadah (tambahan) perawi ini (yaitu tambahan syaikh selain Abu Ishaq) adalah ziyadatu ats-tsiqah, dan ia diterima, dan tidak bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi-perawi lainnya, bahkan ini adalah ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif), bukan ikhtilaf tadhaad (perbedaan yang bertolak belakang).

Adapun ziyadah yang mereka (para ulama Ahli Hadits) berbeda pendapat di dalamnya, yaitu yang mereka katakan di dalamnya ada kontradiksi, hal itu seperti perbedaan antara washl (bersambung) atau irsal (terputus) dalam sanad hadits, atau antara mauquf (ucapan Shahabat) atau marfu’ (disandarkan kepada Nabi) atau perbedaan-perbedaan lain, maka ini yang saya katakan mengenai hal ini:“Ini masalah Ijtihadiyah.”

(Sumber: Fataawaa Hadiitsiyyah oleh Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid rahimahullah. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)