Fatwa Penting Tentang Hukum Pergaulan Bebas Antara Laki-laki dan Perempuan

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh rahimahullah ditanya, “Bolehkah pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan?”

Jawab beliau: Pergaulan antara laki-laki dan perempuan ada tiga macam:

  • Pertama: Pergaulan antara laki-laki dengan perempuan mahramnya, yang demikian ini jelas dibolehkan.

  • Kedua: Pergaulan antara laki-laki dengan perempuan lain untuk tujuan merusak, maka hal ini jelas diharamkan.

  • Ketiga: Campur baur antara laki-laki dengan perempuan di lembaga pendidikan, kedai-kedai, perkantoran dan rumah sakit-rumah sakit serta pada acara-acara resepsi. Sebagian orang menyangka bahwa hal tersebut tidak mengundang fitnah baik bagi laki-laki maupun perempuan. Untuk mendudukkan masalah dalam poin ini maka perlu saya beri jawaban secara global dan rinci.

Secara global saya katakan bahwa setiap laki-laki memiliki naluri kuat untuk condong kepada perempuan, begitu juga wanita diberi naluri condong kepada laki-laki dan kelembutan serta sikap lemahnya. Apabila terjadi pergaulan bebas maka akan timbul dampak negatif, karena nafsu manusia cenderung mengajak kepada keburukan dan hawa nafsu cenderung membabi buta dan membisu, dan syaithan selalu menyuruh kepada perbuatan keji dan munkar.

Adapun jawaban secara rinci antara lain bahwa syariat Islam mengandung tujuan dan sarana, dan setiap sarana selalu mengikuti hukum tujuan. Perempuan menjadi sarana bagi kaum laki-laki untuk memenuhi hajat seksual. Maka agama berusaha menutup rapat-rapat pintu ketergantungan antara satu sama lain. Lebih jelasnya kita uraikan dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.

Dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits Sebagai Berikut:

  • Dalil pertama: Allah berfirman:

    وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُون

    “Dan wanita (Zulaiha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya perkata, “Marilah ke sini.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tiada akan beruntung.” (Yusuf: 23).

    Ayat tersebut menunjukkan tatkala terjadi campur baur antara isteri raja Aziz dengan Yusuf ‘alaihis salam maka Zulaiha menampakkan keinginannya dan minta kepada Yusuf untuk memenuhi hasratnya, tetapi Allah melindunginya dengan rahmat dan penjagaan-Nya sehingga Yusuf selamat, sebagaimana Firman Allah:

    فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

    “Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34).

    Begitu pula bila terjadi campur baur dan pergaulan bebas maka masing-masing melampiaskan keinginan hawa nafsu kepada lawan jenisnya lalu mengerahkan setiap sarana untuk sampai kepada kepuasan hawa nafsunya.

  • Dalil kedua: Allah memerintahkan kaum laki-laki dan kaum perempuan untuk menahan pandangan, sebagaimana Firman Allah:

    قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

    “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada perempuan yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An Nuur: 30-31).

    Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah memerintahkan laki-laki mukmin dan perempuan mukminah agar menahan pandangannya. Hakikat perintah ini mengandung hukum wajib. Lalu Allah menjelaskan bahwa yang demikian itu lebih suci dan lebih bersih bagi kehidupan mereka.

    Maka ajaran Islam tidak mentolerir kecuali pandangan pertama yang tidak disengaja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    يَا عَلِيُّ، لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّمَا لَكَ اْلأُوْلَي وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ

    “Wahai Ali, janganlah kamu meneruskan suatu pandangan kepada pandangan lain, sesungguhnya bagimu hanya pandangan yang pertama dan kamu tidak punya hak untuk pandangan selanjutnya.” (al-Hakim berkata bahwa hadits ini shahih memenuhi syarat Muslim, dan Imam adz-Dzahabi menyetujuinya).

    Allah memerintahkan untuk menahan pandangan karena memandang kepada orang yang diharamkan termasuk bagian dari zina, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

    كُتِبَ عَلَى ابْنِيْ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا الَّنَظْرُ وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعِ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوِيْ وَيَتَمَّنَي وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ.

    “Setiap anak Adam pasti mendapat bagian dari zina yang tidak terelakkan, kedua mata berzina dan zinanya adalah memandang, kedua telinga berzina dan zinanya adalah mendengar, lisan berzina dan zinanya adalah berbicara, tangan berzina dan zinanya adalah memegang kaki berzina dan zinanya adalah berjalan dan hati yang menarik dan berangan-angan lalu kemaluan membenarkan atau mendustakan itu.” (Muttafaqun ‘alaih dan lafazh hadits dari riwayat Muslim).

    Disebut zina karena laki-laki merasakan nikmatnya memandang keindahan tubuh wanita. Pandangan itu masuk ke dalam hati orang yang memandang sehingga hati seorang laki-laki terpikat dan membayangkannya. Maka timbul keinginan dan berusaha untuk melampiaskan keinginan syahwat kepadanya. Oleh karena itu Allah melarang seorang laki-laki memandang wanita karena hal tersebut menimbulkan bahaya dan kerusakan sebagai dampak pergaulan bebas dan pergaulan bebas dilarang karena menyebabkan terjadinya perbuatan yang tidak terpuji bahkan akan berakhir dengan suatu yang lebih buruk.

  • Dalil ketiga: Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa wanita adalah aurat yang wajib ditutupi seluruh tubuhnya, sebab membuka sebagian tubuh berarti memberi kesempatan laki-laki untuk memandangnya dan pandangannya akan menimbulkan ketergantungan sehingga berusaha dengan segala macam cara untuk memperoleh apa yang diinginkan.

  • Dalil keempat: Allah berfirman:

    وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنّ

    “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (an-Nuur: 31).

    Dalam ayat di atas, Allah melarang wanita untuk memukulkan kakinya meskipun hukum asalnya adalah boleh, karena dikhawatirkan suara gelang kaki akibat hentakan kaki menimbulkan fitnah yang bisa membangkitkan syahwat orang laki-laki begitu juga pergaulan bebas maka kedua perkara tersebut dilarang.

  • Dalil kelima: Firman Allah:

    يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُور

    “Dan mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Ghafir: 19).

    Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan ulama lain menafsiri ayat di atas bahwa seorang laki-laki masuk ke sebuah keluarga yang di antara mereka terdapat perempuan cantik yang lalu lalang di depannya. Tatkala keluarga perempuan memperhatikan sang laki-laki, ia menahan pandangan. Namun tatkala keluarga wanita lalai maka laki-laki tersebut melirik perempuan tersebut. Tatkala keluarganya memperhatikan maka sang laki-laki menahan pandangannya dan setelah lalai iapun memandangnya lagi dan begitulah seterusnya.

    Allah menyebut mata yang suka mencuri pandangan yang diharamkan dengan sebutan pandangan khianat, terlebih lagi pergaulan bebas.

  • Dalil keenam: Firman Allah:

    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى

    “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Al Ahzab: 33).

    Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang suci lagi bersih dan baik untuk tetap tinggal di rumah, dan perintah ini umum untuk setiap wanita muslimah. Sudah menjadi ketentuan kaidah usul fikih bahwa hukum umum mencakup seluruh jenisnya kecuali ada dalil yang mengkhususkan, sementara dalam dalil ini tidak ditemukan dalil yang menunjukkan pengkhususan hukum. Bila mereka dilarang untuk keluar rumah kecuali untuk suatu keperluan maka bagaimana dengan ikhtilath atau pergaulan bebas. Apalagi sekarang banyak wanita menjadi rusak dan melepas jilbab dan hilangnya rasa malu serta mengikuti hawa nafsu ber-tabarruj (berhias), pamer perhiasan dan keindahan tubuh di hadapan kaum laki-laki bahkan telanjang di depan mereka. Sangat sedikit kesadaran para wali yang bertanggung jawab terhadap perkara wanita.

Adapun dalil-dalil dari as-Sunnah, kami cukup menunjukkan sepuluh dalil, yaitu:

  • Pertama:Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Ummu Humaid isteri Abu Humaid as-Saidi bahwa dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, saya sangat senang melakukan shalat bersamamu.” Beliau bersabda,

    قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ حُجْرَتِكِ وصَلاَتُكِ فِيْ حُجْرَتُكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ مَسْجِدِيْ .

    “Aku telah mengerti kamu sangat senang shalat bersamaku, tetapi shalatmu di ruanganmu lebih baik daripada shalatmu di beranda dan shalatmu di berandamu lebih baik dari pada shalatmu di rumahmu, dan shalatmu di rumah lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”

    Maka dia meminta untuk dibangunkan masjid di tengah rumahnya yang paling dalam dan tempat itu digelapkan lalu dia shalat di tempat tersebut hingga meninggal dunia.

    Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam shahihnya dari Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    إِنَّ أَحَبَّ صَلاَةِ اْلمَرْأَة إِلىَ اللهِ فيِ أَشَدِّ مَكَانٍ مِنْ بَيْتِهَا ظُلْمَةً.

    “Sesungguhnya shalatnya wanita yang paling dicintai adalah shalat di tempat dalam rumahnya yang paling gelap.”

    Dari dua hadits di atas menunjukkan bahwa shalatnya wanita di rumah lebih baik daripada shalatnya di masjid. Jadi dianjurkan bagi wanita untuk shalat di rumah karena demikian itu lebih utama daripada shalat di masjid meskipun shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika demikian maka larangan ikhtilath lebih utama.

  • Kedua:Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Tirmidzi dan yang lainnya dengan sanad masing-masing dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النَّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا.

    “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang terdepan dan sejelek-jelek shaf mereka adalah yang terakhir, dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan yang sejelek-jelek shaf mereka adalah yang terdepan.” (Imam at-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini adalah hasan shahih).

    Dari hadits di atas dibolehkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat jamaah di masjid dengan menempati shaf yang terpisah dengan laki-laki. Shaf yang terjelek bagi wanita adalah yang terdepan dan shaf yang terbaik adalah yang paling belakang. Hal ini karena shaf yang terbelakang jauh dari ikhtilath dan pandangan kaum laki-laki. Shaf terjelek bagi wanita adalah yang terdepan karena akan menimbulkan fitnah di hati tatkala gerak-gerik dan terdengar suaranya oleh laki laki. Begitu juga shaf yang terjelek bagi laki-laki adalah yang paling belakang bila shalat berjamaah bersama kaum wanita karena dia kehilangan posisi yang dekat dengan imam dan dekat dengan shaf wanita sehingga hati dan perasaan terganggu dan boleh jadi merusak ibadah dan mengotori niat dan khusyuk dalam shalat.

    Ajaran Islam menganggap bahwa dalam ibadah saja yang tidak terdapat ikhtilath tetap dikhawatirkan terjadi fitnah, lalu bagaimana dengan ikhtilath dan pergaulan bebas maka semua kekhawatiran fitnah akan sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, larangan ikhtilath lebih utama daripada larangan wanita menempati shaf yang terdepan dan larangan laki-laki menempati shaf yang paling belakang.

  • Ketiga: Hadits riwayat Muslim dalam shahihnya dari Zainab isteri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami,

    إِذَا شَهِدَتْ إحْدَاكُنَّ اْلمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا.

    “Jika di antara kalian menghadiri masjid maka janganlah mengenakan wewangian.”

    Hadits riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Imam Ahmad dan asy-Syafi’i dalam Musnad mereka dengan sanad mereka masing-masing dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنََّ تَفِلاَتٌ.

    “Janganlah kamu menghalangi kaum wanita dari masjid Allah tetapi hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak mengenakan parfum.”

    Ibnu Daqiq al-Ied berkata bahwa dalam hadits di atas terdapat larangan mengenakan parfum bagi wanita yang ingin keluar ke masjid untuk shalat. Hal ini karena mengenakan parfum akan mengundang fitnah dan menggerakkan syahwat serta boleh jadi dapat menjadi faktor tergeraknya syahwat wanita itu sendiri. Lalu beliau berkata, “Di antara yang disamakan dengan parfum adalah mengenakan pakaian bagus dan perhiasan menarik serta penampilan yang glamor dan berlebihan.”

    Ibnu Hajar berkata, “Begitu juga pergaulan bebas antara laki-laki dengan wanita.” Imam al-Khaththabi berkata bahwa yang dimaksud dengan tafilaat adalah bau apek karena tidak mengenakan parfum.

  • Dalil keempat: Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النَّسَاءِ.

    “Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang ia lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada perempuan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

    Hadits di atas menjelaskan bahwa wanita sebagai sumber fitnah, maka bagaimana bila berkumpul antara sumber fitnah dengan yang terfitnah.

  • Dalil kelima: Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فاتَّقُوْا الدَّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ.

    “Sesungguhnya dunia itu kenikmatan yang menggoda dan Allah menjadikan kalian sebagai pengatur di dalamnya maka Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena sesungguhnya fitnah pertama kali Bani Israil bersumber dari wanita.” (HR. Muslim)

    Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh agar berhati-hati terhadap fitnah wanita dan perintah selalu mengandung makna wajib. Bagaimana bisa menghindar dari fitnah bila terjadi pergaulan bebas.

  • Dalil keenam: Hadits riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Imam al-Bukhari dalam al-Kuna dengan sanadnya masing-masing dari Hamzah bin Abu Usaid al-Anshari dari bapaknya bahwa dia mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang keluar dari masjid sementara di jalan sedang terjadi ikhtilath antara kaum laki-laki dan kaum wanita, maka beliau bersabda:

    اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتٍ مِنْ لُصُوْقِهِنَّ.

    “Ambillah posisi yang paling akhir, sesungguhnya kamu tidak berhak mengambil posisi di tengah jalan dan ambillah yang paling pinggir.”

    Lafazh hadits milik Abu Daud, Ibnu Atsir berkata dalam kitab Nihayah berkata, “Yahquq tariq artinya mengambil posisi tengah jalan.”

    Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang ikhtilath di jalan maka bagaimana boleh ikhtilath pada tempat-tempat lain?

  • Dalil ketujuh: Hadits riwayat Abu Daud at-Thayalisi dalam Sunannya dan yang lainnya dari Nafi’ yang meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala membangun masjid, beliau membuat pintu khusus untuk wanita lalu bersabda,

    لاَ يَلِجُ مِنْ هَذَا البَابِ مِنَ الرِّجَالِ أَحَدٌ.

    “Tidak boleh masuk dari pintu ini seorangpun dari kaum laki-laki. “

    Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam at-Tarikhul Kabir dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    لاَ تَدْخُلُوْا الْمَسْجِدَ مِنْ بَابِ النِّسَاءِ.

    “Janganlah kalian (kaum laki-laki) masuk masjid dari pintu wanita”

    Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam pintu masjid baik saat masuk atau keluar, larangan itu hanya sekedar menjaga agar tidak membuka peluang ikhtilath, maka bila pada tempat seperti itu saja dilarang maka pada tempat yang lain tentu lebih dilarang lagi.

  • Dalil kedelapan:Hadits riwayat Imam al-Bukhari dalam shahihnya dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salam dari shalatnya maka kaum wanita beranjak pulang, sementara beliau menunggu sejenak di tempatnya. Dalam riyawat kedua bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salam dari shalat maka kaum wanita langsung pulang hingga mereka memasuki rumah sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pulang. Adapun dalam riwayat ketiga bahwa bila kaum wanita selesai salam dari shalat fardhu langsung berdiri lalu pulang, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama kaum laki-laki tetap berada di masjid sampai dikehendaki Allah dan bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri maka kaum laki-lakipun berdiri.

    Dalam kondisi tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang ikhtilath maka demikian itu sebagai peringatan bahwa di tempat lain lebih dilarang.

  • Dalil kesembilan dan kesepuluh: Hadits riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    لأَنْ يَطْعَنَ فِيْ رَاْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ.

    “Andaikata kepala seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi maka lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawa’id bahwa perawi hadits adalah perawi hadits shahih. Dan Imam al-Mundziri dalam kitab at-Targhib Wat Tarhib berkata bahwa perawi hadits ini terpercaya).

    Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

    لأَنْ يَزْحَمَ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِّخًا بِطِيْنٍ وَحَمْأَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأةٍ لا تَحِلُّ لَهُ.

    “Andaikata seorang laki-laki berdesak-desakan dengan babi yang berlumuran lumpur dan kotoran maka itu lebih baik daripada berdesaknya bahunya dengan bahu perempuan yang tidak halal baginya.”

Bila kita renungkan dalil-dalil yang telah dipaparkan di atas maka menjadi jelaslah bahwa ikhtilath adalah sumber fitnah dan bila ada orang yang menyatakan bahwa ikhtilath tidak menimbulkan fitnah hanyalah bualan belaka. Agama secara tegas melarang pergaulan bebas atau campur baur antara laki-laki dengan wanita dalam rangka memangkas benalu kehancuran dan kerusakan.

Tidak termasuk ikhtilath bila dalam keadaan darurat atau sangat diperlukan pada tempat-tempat ibadah seperti yang terjadi di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Semoga Allah menunjukkan orang-orang yang tersesat dari kaum muslimin dan menambah hidayah bagi orang yang telah mendapat hidayah dan semoga Allah memberi taufik kepada para pemimpin untuk menunaikan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta memberi sanksi kepada orang-orang yang ceroboh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mengabulkan permohonan. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat.