اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا


“Beramallah untuk duniamu seolah-olah Anda akan hidup selama-lamanya! Dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah Anda akan meninggal dunia esok hari!”

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitabnya “Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah” jilid pertama halaman 63-65, hadits nomor 8 :

Riwayat Hadits ini secara marfu’ tidak ada asal-usulnya, walaupun hadits ini sangat terkenal di kalangan kaum muslimin terlebih pada zaman terakhir saat ini, sampai-sampai Syaikh Abdul Karim al-Amiri al-Ghazzi tidak mencantumkan hadits ini dalam kitabnya “al-Jadd al-Hatsits fii Bayaani Maa Laisa Bihadits”.

Saya telah menemukan asal hadits ini secara mauquf. Ibnu Qutaibah meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya “Gharibul Hadits” (1/46/2) : “as-Sijistani telah menceritakan sebuah hadits kepadaku, al-Asmu’i telah menceritakan sebuah hadits kepada kami, dari Hammad bin Salamah dari Ubaidillah bin al-‘Iizar dari Abdullah bin ‘Amru, sesungguhnya ia telah berkata : ..(kemudian ia menyebutkan hadits ini secara mauquf sampai kepada Abdullah bin ‘Amru, hanya saja lafadz hadits ini berbunyi, “Tanamlah untuk duniamu…..hingga akhir hadits.)

Adapun Ubaidillah bin al-‘Iizar, maka saya belum mendapatkan biografinya.

Kemudian saya mendapatkan biografinya dalam kitab “Tarikh al-Bukhari” (3/394) dan dalam kitab “al-Jarh wat Ta’dil” (2/330) atas petunjuk beberapa orang ahli ilmu yang tinggal di Mekkah. Mereka menukil komentar al-‘Allamah Syaikh Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani rahimahullah. Ternyata orang ini (Ubaidillah bin al-‘Iizar) dianggap tsiqah oleh Yahya bin Said al-Qaththan, dan ia meriwayatkan hadits dari al-Hasan al-Bashri dan ulama lainnya dari kalangan tabi’in. Dengan demikian maka sanad hadits ini munqathi’ (terputus).

Hal ini diperkuat lagi ketika saya menemukan hadits ini dalam kitab “Zawaid Musnad al-Harits” karya al-Haitsami (Qaf 130/2) dari jalur sanad yang lain dari (Ubaidillah) bin al-‘Iizar, ia berkata, “Saya pernah bertemu dengan seorang syaikh yang sudah tua dari kalangan orang arab badui di suatu tempat yang bernama ar-Raml. Aku bertanya kepadanya, “Apakah Anda pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Siapa?” Ia menjawab, “Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash…”

Kemudian saya mendapati bahwa Ibnu Hibban telah menyebutkan nama Ubaidillah bin al-‘Iizar dalam kelompok “Tsiqat Atba’ut Tabi’in” (7/148).

Ibnul Mubarak juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab “az-Zuhd” dari jalur sanad yang lain. Beliau (Ibnul Mubarak) berkata (2/218), “Muhammad bin ‘Ajlan telah mengabarkan kepada kami bahwa Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash berkata, “….(kemudian beliau menyebutkan hadits ini secara mauquf). Maka sanad hadits ini pun munqathi’ (terputus).

Hadits ini juga diriwayatkan secara marfu. Al-Baihaqi mentakhrij hadits ini dalam kitab “Sunan al-Baihaqi” (3/19) dari jalur sanad Abu Shalih, ia berkata, “al-Laits telah menceritakan suatu hadits kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan dari seorang maula (budak yang telah dimerdekakan) Umar bin Abdul Aziz dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa sesungguhnya beliau pernah bersabda, “…” (kemudian beliau menyebutkan hadits ini dengan redaksi yang lebih sempurna. Bunyi awal hadits ini :

إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق ، و لا تبغض إلى نفسك عبادة ربك ، فإن المنبت لا سفرا قطع و لا ظهرا أبقى ، فاعمل عمل امريء يظن أن لن يموت أبدا ، و احذر حذر ( امريء ) يخشى أن يموت غدا

“Sesungguhnya agama Islam ini adalah agama yang kokoh dan kuat, maka masuklah ke dalamnya dengan kelemahlembutan. Dan janganlah Anda menbenci untuk diri Anda ibadah kepada Allah. Karena sesungguhnya orang yang kekelahan, ia tidak dapat menempuh perjalanan dan tidak pula meninggalkan punggung hewan tunggangannya. Maka beramallah seperti amalnya seseorang yang meyakini bahwa ia tidak akan meninggal dunia untuk selamanya! Dan berhati-hatilah seperti kehati-hatiannya seseorang yang khawatir akan meninggal dunia esok hari.”

Sanad hadits ini juga dha’if (lemah) karena di dalam sanadnya terdapat dua ‘illat (sebab yang dapat melemahkan hadits). (Pertama) kemajhulan maula (budak yang telah dimerdekakan) Umar bin Abdul Aziz dan (ke dua) kelemahan Abu Shalih yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin Shalih juru tulis al-Laits.

Kemudian, redaksi hadits di atas tidak menjadi nash yang menunjukkan bahwa amal yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah amal untuk dunia, bahkan sebaliknya, dhahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah amal untuk akhirat. Tujuan dari hadits ini adalah anjuran untuk senantiasa konsisten dalam beramal shalih secara bertahap sedikit demi sedikit tanpa terputus. Makna hadits ini sesuai dengan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amal yang paling dicintai Allah adalah amalan yang paling konsisten dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus meskipun amal itu sedikit.” Wallahu a’lam.

Bagian pertama dari hadits (Abdullah) Ibnu ‘Amru diriwayatkan oleh al-Bazzar (1/57/74 – Kasyful Astar) dari hadits Jabir. Al-Haitsami berkata dalam kitab “Majma az-Zawa’id” (1/62), “Dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Yahya bin al-Mutawakkil Abu ‘Uqail. Dia adalah seorang pendusta.”

Aku (Syaikh al-Albani) berkata, “Hadits dengan sanad ini diriwayatkan pula oleh Abu asy-Syaikh dalam kitabnya “al-Amtsal” (nomor 229). Akan tetapi hadits (shahih) berikut ini telah cukup (untuk kita pegang daripada hadits di atas), yaitu sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

إن هذا الدين يسر ، ولن يشاد هذا الدين أحد إلا غلبه ، فسددوا وقاربوا وأبشروا ….

“Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah. Dan tidaklah seseorang mempersulit agama ini dengan cara memaksakan dirinya untuk melakukan ibadah-ibadah yang tidak sanggup ia lakukan, melainkan agama ini akan mengembalikannya ke jalan kemudahan dan pertengahan. Maka hendaklah kalian beramal secara proporsional (pertengahan) dan berusahalah menyempurnakan amal ibadah secara optimal dan berikanlah kabar gembira…

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah secara marfu’.