tabi'inAl-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata: Tabi’i adalah orang yang menemani shahabat Nabi. Dan dalam perkataan al-Hakim ada ungkapan yang menunjukkan bahwa julukan Tabi’in berlaku bagi siapa saja yang bertemu dengan shahabat Nabi, dan meriwayatkan darinya sekalipun tidak menemaninya.

Saya berkata (Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah):” Para ulama tidak mencukupkan diri dengan syarat melihat shahabat untuk menjuluki seseorang dengan julukan Tabi’in, sebagaimana mereka mencukupkan diri dalam menjuluki seseorang dengan julukan shahabat hanya dengan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dan bedanya adalah keutamaan dan kemuliaan melihat beliau (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Imam al-Hakim membagi Thabaqat (tingkatan) at-Tabi’in menjadi lima belas thabaqat. Beliau menyebutkan bahwa yang paling tinggi adalah mereka yang meriwayatkan dari “sepuluh” (sepuluh shahabat yang dijamin masuk Surga). Mereka (Tabi’in paling tinggi thabaqatnya) adalah:” Sa’id bin al-Musayyib, Qais bin Abi Hazim, Qais bin ‘Abbad, Abu ‘Utsman an-Nahdi, Abu Wa’il, Abu Raja’ al-‘Utharidi, Abu Sasan Hudhain bin al-Mundzir dan yang lainnya”. Namun dalam perkataan ini ada beberapa masukan (kritikan), karena ada yang mengatakan bahwa tidak ada dari kalangan Tabi’in yang meriwayatkan dari “sepuluh” tersebut selain Qais bin Abi Hazim –hal ini dikatakan oleh Ibnu Khirasy-. Abu Bakr Abu Dawud berkata:”Dia (Qasi) tidak mendengar dari Abdurrahman bin ‘Auf.” Wallahu A’lam.

Adapun Sa’id bin al-Musayyib, maka dia tidak bertemu dengan ash-Shiddiq (Abu Bakr) radhiyallahu ‘anhu menurut kesepakatan ulama. Karena dia rahimahullah dilahirkan pada dua tahun setelah berjalannya masa kekhilafahan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu atau diua tahun sebelum berakhirnya. Oleh sebab itu mendengarnya dia dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu diperselisihkan. Al-Hakim rahimahullah berkata:” Dia bertemu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dan orang-orang setelahnya dari “sepuluh” tersebut.” Ada yang mengatakan:” Dia (Sa’id) tidak mendengar hadits dari salah seorang dari “sepuluh” selain Sa’d bin Abi Waqqash, dan dia (Sa’d) radhiyallahu ‘anhu adalah orang terakhir yang wafat dari “sepuluh” tersebut.” Wallahu A’lam

Al-Hakim rahimahullah berkata:”Dan di antara para Tabi’in, ada orang-orang yang dilahirkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan anak-anak para shahabat radhiyallahu ‘anhum, seperti ‘Abdullah bin Abi Thalhah, Abu Umamah bin As’ad bin Sahl bin Hunaif, dan Abu Idris al-Khaulani.”

Dan Imam al-Hakim rahimahullah telah menyebutkan an-Nu’man dan Suwaid, keduanya putera dari Muqarrin sebagi Tab’in, padahal keduanya adalah shahabat radhiyallahu ‘anhuma.

Adapun al-Mukhadhramun mereka adalah orang-orang yang masuk Islam pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun mereka tidak melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Siapakah Tabi’in Terbaik?

Dan mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang siapakah Tabi’in terbaik? Maka yang masyhur adalah Sa’id bin al-Musayyib, hal ini dikatakan oleh Imam Ahmd rahimahullah dan selainnya. Penduduk Bashrah berkata:” Ia (Tabi’in terbaik) adalah al-Hasan. Penduduk Kufah berkata:” Ia (Tabi’in terbaik) adalah ‘Alqamah. Dan sebagian mereka berkata:” Ia (Tabi’in terbaik) adalah Uwais al-Qarani. Penduduk Mekah berkata:” Ia (Tabi’in terbaik) adalah ‘Atha bin Abi Rabah.”

Dan pemuka wanita dari para Tabi’in adalah:” Hafshah bintu Sirin, ‘Amrah bintu ‘Abdurrahman, dan Ummu ad-Darda ash-Shugra radhiyallahu ‘anhum ajma’in.”

Dan di antara pemuka para Tabi’in adalah al-Fuqahaa’ as-Sab’ah (tujuh Ahli Fikih) di Hijaz, mereka adalah Sa’id bin al-Musayyib, al-Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, ‘Urwah bin az-Zubair, Sulaiman bin Yasaar, ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah (bin Mas’ud), dan yang ketujuh: Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, ada yang mengatakan ia (yang ketujuh) adalah Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan yang mengatakan bahwa ia adalah Abu Bakr bin ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.”

‘Ali bin al-Madini telah memasukkan seseorang yang bukan Tabi’in ke dalam golongan Tabi’in, sebagaimana para ulama lain ada yang mengeluarkan seorang Tabi’in dari golongan Tabi’in.

Demikian juga mereka menyebutkan orang-orang yang bukan shahabat Nabi ke dalam golongan shahabat, sebagaimana mereka menganggap sejumlah shahabat Nabi ke dalam gologan yang mereka kira sebagai Tabi’in. Dan hal itu sesuai dengan tingkatan ilmu mereka. Wallahu al-Muwaffiq lish shawaab.

(Sumber:الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث karya Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah, hal. 181-184 dengan sedikit ringkasan. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)