Rambu-Rambu

3- Memulai dengan diri sendiri

Ibda` bi nafsika.” Mulailah dari diri sendiri. Sudah menjadi sebuah aksioma, siapa yang hendak merubah atau mengarahkan orang lain, dia harus terlebih dahulu merubah diri sendiri atau mengarahkannya, jangan berharap anak menjadi baik jika Anda tidak memperbaiki diri sendiri, mana mungkin seorang anak menjadi anak shalih jika bapaknya tidak mendidiknya di atas keshalihan, mana mungkin bapak mendidiknya di atas keshalihan sementara dirinya sendiri bukan orang shalih? Pepatah Arab berkata, Faqidusy syay` i la yu’thi, orang yang tidak berpunya tidak memberi. Ya benar, apa yang hendak dia berikan sementara dia sendiri tidak memiliki? Kalau orang tua tidak memiliki keshalihan diri, mungkinkah dia akan menularkannya kepada anaknya? Sulit, ibarat berharap air dari api. Hampir mustahil kalau tidak mustahil, ibarat berharap buah anggur dari pohon berduri.

Dari sisi lain keshalihan orang tua dan perbuatan baiknya mempunyai pengaruh baik yang besar terhadap keshalihan anak, sebaliknya juga demikian, kebejatan dan perbuatan buruknya mempunyai pengaruh buruk yang besar terhadap anak. Tidak jarang balasan Allah kepada orang tua yang shalih terlihat pada diri anak, anak tumbuh sebagai anak yang condong kepada kebaikan, mendengar nasihat orang tua, tidak berulah buruk, mudah diarahkan dan dibimbing kepada kebaikan, rizki orang tua dilapangkan oleh Allah karena rizki orang tua juga merupakan rizki bagi anak. Sebaliknya bisa jadi balasan Allah kepada orang tua atas perbuatan buruknya terlihat pada diri anak, anak hidup menyukai kerusakan dan keburukan, memilih kawan bergaul dari anak-anak preman, bengal, nakal, memberontak terhadap orang tua.

Dalam surat al-Kahfi Allah Ta’ala menyebutkan kisah dinding yang hampir roboh yang ditegakkan kembali oleh Khadir dan Musa, ditegakkannya dinding tersebut dalam rangka menjaga harta dua anak yatim yang tersimpan di bawahnya, bapak dua anak yatim ini adalah orang shalih, harta tersebut dia raih dan dia kumpulkan dengan cara yang halal. Dalam kisah ini kita melihat balasan Allah kepada bapak yang shalih tercermin pada diri anak dalam bentuk penjagaan terhadap hartanya.

Allah Ta’ala berfirman tentang kisah ini, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Al-Kahfi: 82).

Dari sisi berbeda, keshalihan orang tua merupakan pendidikan langsung darinya kepada anak, dengan itu orang tua memberikan keteladanan yang merupakan salah satu sarana pendidikan terbaik dan anak akan meneladani. Seorang anak yang melihat bapaknya berangkat ke masjid setiap mendengar adzan akan meneladani dan mengikuti apa yang dilakukan bapaknya tanpa harus disuruh atau diminta dengan alot, bandingkan misalnya dengan anak yang setiap adzan berkumandang, khususnya Maghrib dan Isya`, melihat orang tuanya asyik nongkrong di depan TV, acara TV lebih afdhal daripada panggilan adzan, adakah anak seperti ini bisa diharapkan hadir ke masjid sementara orang tuanya demikian?

Seorang anak gadis dengan ibu yang berhijab, rasa malu menyelimutinya, kelembutan menaunginya, menjaga diri dan kehormatannya akan belajar dari sang bunda hal yang sama, dia akan tumbuh sebagai gadis yang berhijab, pemalu, suci dan bersih. Bandingkan dengan gadis yang beribu seorang wanita yang selalu berhias dan bersolek untuk laki-laki mana saja, berjabat tangan dengan laki-laki mana saja, berciuman pipi dengan laki-laki mana saja, berhaha-hihi dengan si fulan dan si alan, duduk bersama mereka dengan gelak tawa dan hal-hal yang tidak patut bagi seorang muslimah, tentu si gadis akan belajar hal yang sama dari sang bunda.

4- Jangan melarang sesuatu sementara Anda melakukannya

Aib besar manakala Anda melarang anak melakukan perbuatan buruk tetapi justru Anda yang melakukan. Malu jika Anda melarang anak berdusta sedangkan Anda berkata kepadanya manakala seseorang mencari Anda dan pada saat itu Anda sedang di rumah, “Bilang kepadanya, bapak tidak ada.” Mana mungkin Anda mengajari anak menepati janji sedangkan janjimu kepadanya sering kamu langgar sendiri.

Anda menekan anak untuk tidak merokok, tetapi justru Anda sendiri yang merokok, apa yang akan Anda jawab ketika dia menyela, “Mengapa saya tidak boleh merokok wahai ayah?” Adakah perbuatan ini bisa dinalar? “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44). Benar, tidakkah kamu berpikir?

Orang tua yang mengajarkan anaknya agar berbicara santun, lemah lembut dan sopan tetapi dia sendiri berteriak, memaki, mencaci dan berkata kasar adalah orang tua yang tidak berpikir.

Orang tua yang meminta anaknya untuk berbuat jujur di rumah, di sekolah dan di masyarakat, jujur kepada saudara, kepada ibu dan kepada bapak, jujur kepada guru dan kepada diri dengan tidak menyontek dan berbuat curang dalam ujian, jujur kepada siapa pun, namun dia sendiri bertindak curang, berbuat dusta dan tidak jujur adalah orang tua yang tidak berpikir.

Wahai pengajar orang lain
Mengapa kamu tidak mengajar dirimu dulu
Kamu menulis obat untuk orang sakit dan orang sulit
Agar dia sehat, padahal kamu sendiri sakit
Dan kami melihatmu terus memperbaiki akal kami dengan petuah
Sementara kamu sendiri tidak mengindahkan petuah itu
Mulailah dengan dirimu sendiri, cegahlah ia dari keburukan
Jika kamu telah menghentikannya maka kamu bijaksana
Pada saat itu apa yang kamu katakan diterima,
Ucapanmu didengar dan ajaranmu berguna
Jangan melarang sesuatu sementara kamu melakukannya
Aib bagimu, berat perkaranya jika kamu melakukan itu.

“Amat besar kebencian di sisi Allah manakala kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 3).
(Izzudin Karimi)