Secara etimologi, iftiraq berasal dari kata al-mufaraqah (saling berpisah), dan al-mubayanah (saling berjauhan), dan al-mufashalah (saling terpisah) serta al-inqitha’ (terputus). Diambil juga dari kata al-insyi’ab (bergolong-golong) dan asy-syudzudz (menyempal dari barisan). Bisa juga bermakna memisahkan diri dari induk, keluar dari jalur dan keluar dari jama’ah.

Secara terminologi, perpecahan adalah keluar dari As-Sunnah dan Al-Jama’ah dalam masalah ushuluddin yang qath’i, baik secara total maupun parsial. Baik dalam masalah i’tiqad ataupun masalah amaliyah yang berkaitan dengan ushuluddin atau berkaitan dengan maslahat umat atau berkaitan dengan keduanya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ اْلجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عَمِيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُوْ إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ خَرَجَ عَلىَ أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّها وَفَاجِرَهَا وَلاَ يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِي بِذِي عَهْدٍ عَهْدَهَا فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ.

“Barangsiapa keluar dari ketaatan serta memisahkan diri dari jama’ah lalu mati, maka kematiannya adalah kematian secara jahiliyah. Barangsiapa berperang di bawah panji ashabiyah, emosi karena ashabiyah serta menyeru kepadanya atau membela demi ashabiyah lalu terbunuh, maka mayatnya adalah mayat jahiliyah. Barangsiapa memisahkan diri dari umatku (kaum muslimin) lalu membunuhi mereka, baik yang shalih maupun yang fajir dan tidak menahan tangan mereka terhadap kaum mukminin serta tidak menyempurnakan perjanjian mereka kepada orang lain, maka ia bukan termasuk golonganku dan aku juga bukan golongannya.” (HR. Muslim)

Menyelisihi salah satu pedoman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam aqidah terhitung perpecahan dan memisahkan diri dari jama’ah. Demikian pula melanggar ijma’, mengeluarkan diri dari jama’ah serta imam yang mereka sepakati dalam hal-hal yang berkaitan dengan maslahat umum terhitung perpecahan dan memisahkan diri dari jama’ah.

Siapa saja yang melanggar amalan sunnah yang disepakati kaum muslimin termasuk perpecahan. Sebab ia telah memisah dari jama’ah.

Semua perkara kekufuran akbar termasuk perpecahan, namun bukan setiap perpecahan tergolong kekufuran.

Maksudnya, setiap amalan ataupun keyakinan yang bisa mengeluarkan seseorang dari pokok ajaran Islam, dan dari hal yang qath’i dalam agama ini juga dari sunnah dan jama’ah, dan hal ini semua dapat menggiringnya kepada kekufuran, maka perbuatannya itu disebut iftiraq (memisahkan diri). Namun tidak semua perpecahan itu tergolong kekufuran. Yakni, mungkin saja suatu kelompok atau sekumpulan manusia atau sebuah jama’ah keluar dari Ahlus Sunnah, namun tidak dihukumi kafir. Sekalipun memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin dalam prinsip-prinsip tertentu, seperti kelompok Khawarij. Khawarij generasi pertama telah memisahkan diri dari kaum muslimin. Bahkan mereka mengangkat senjata terhadap umat ini. Mereka memisahkan diri dari jama’ah serta membangkang terhadap imam kaum muslimin. Walaupun begitu, para sahabat tidak menghukumi mereka kafir, bahkan mereka berbeda pendapat dalam masalah ini. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ditanya status mereka, beliau tidak memvonis mereka kafir. Demikian pula Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu serta beberapa sahabat lainnya. Mereka juga bersedia shalat di belakang tokoh Khawarij bernama Najdah Al-Haruriy. Begitu pula Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau membalas surat seorang tokoh Khawarij bernama Nafi’ bin Al-Azraq dan mendebatnya dengan Al-Qur’an, sebagaimana hal itu lumrah dilakukan terhadap sesama kaum muslimin. (Lihat Minhajus Sunnah karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah V/247-248)