Ini adalah penjelasan khusus setelah sebelumnya penulis telah memberikan penjelasan umum, penjelasan khusus ini berupa ulasan terkait dengan alasan mengapa sebagian orang tidak atau kurang menyukai anak perempuan. Penulis telah mengira-ngira bahwa dalam hal ini ada dua alasan, pertama karena anak perempuan tidak membawa nasab, kedua karena membesarkan anak perempuan lebih sulit.

Sebelum penulis menguraikan dua alasan di atas, penulis ingin menyuguhkan sebuah kisah yang mempunyai keterkaitan dengan masalah kita ini. Kisah ini disebutkan dalam buku Bingkisan Istimewa Bagi Muslimah yang diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta.

Diceritakan ada seorang pemimpin bagi kaumnya yang dipanggil Abu Hamzah, dia menikahi seorang wanita dengan harapan mendapatkan anak laki-laki, akan tetapi anak yang lahir ternyata tidak seperti yang diharapkan, anaknya lahir perempuan, Abu Hamzah yang masih memegang kebiasaan sebagian bangsa Arab pada saat itu, kecewa berat terhadap anaknya, dia langsung meninggalkan rumah karena kekecewaannya yang sedemikian berat, dia tidak pulang.

Pada suatu hari dia melewati rumahnya, dia melihat istrinya bercanda dengan anak perempuannya, istrinya mengucapkan beberapa bait syair,

Apa yang menjadikan Abu Hamzah tidak datang kepada kami
Dia selalu berada di rumah yang ada di samping kami
Dia marah karena kami tidak melahirkan anak laki-laki
Padahal kami tidak memiliki kehendak sedikit pun dalam hal ini
Kami hanya mengambil apa yang diberikan kepada kami
Dan kami ibarat bumi bagi siapa yang menanaminya
Kami tumbuhkan apa yang telah ditanam pada kami.

Begitu Abu Hamzah mendengar bait-bait ungkapan istrinya tersebut, dia langsung terpanggil oleh fitrah kasih sayang seorang suami sekaligus ayah, dia pulang dan mencium istri dan anaknya.

Pelajarannya, sekali pun seseorang itu tidak menyukai anaknya yang lahir karena jenis kelaminnya yang tidak sesuai dengan harapannya, namun dia tidak kuasa melawan seruan fitrah kasih sayang seorang bapak kepada anak yang bercokol demikian kuat dalam hati sanubarinya, sesaat mungkin dia kecewa namun tidak untuk seterusnya, kecuali jika fitrah yang bersangkutan telah mati.

Sekarang kita kembali kepada persoalan, menjawab dua alasan mengapa orang kurang respek dengan lahirnya anak perempuan. Pertama, karena anak perempuan tidak menyambung nasab. Kedua, membesarkannya lebih sulit.

Penulis katakan, apa ruginya seseorang jika namanya tidak dibawa oleh anaknya, bukankah seseorang itu bukan dengan namanya, bukan dengan nasabnya, akan tetapi dengan apa yang dilakukannya? Jika perbuatan seseorang itu lamban maka nasab tidak mempercepat. Apa artinya nasab dari Bani Hasyim jika perbuatannya adalah perbuatan Abu Lahab? Nabi saw sendiri tidak mempunyai anak yang membawa namanya, karena tiga anak laki-laki beliau wafat sewaktu masih kecil, anak beliau yang hidup sampai dewasa dan menikah adalah anak-anak perempuan, maka tidak seorang pun yang memiliki nasab “Fulan bin Muhammad bin Abdullah.” Benar Nabi saw mempunyai al-Hasan dan al-Husain, tetapi nasab keduanya adalah bin Ali bin Abu Thalib, bukan bin Muhammad bin Abdullah, sekali pun begitu beliau tidak risau, tidak kecewa dan tidak gunda gulana.

Di sisi lain, Anda boleh berbangga manakala nama Anda dibawa oleh anak atau cucu Anda, namun perlu Anda ingat bahwa hal itu kalau perbuatan anak atau cucu Anda tersebut adalah perbuatan mulia yang memang membanggakan, coba pikir jika sebaliknya, perbuatannya adalah perbuatan durhaka dan menyengsarakan, melakukan tindak tidak terpuji dan menjadi kriminil, sana-sini menyumpahinya dengan sumpah serapah, orang-orang mengutuknya dan mendoakannya tidak baik. Bagaimana? Anda masih berharap nama Anda dibawa oleh anak atau cucu yang demikian? Tidak dan seratus tidak, kalau bisa mungkin Anda berharap tidak melahirkannya ke bumi ini atau Anda berharap dia segera mati.

Yang kedua, alasan bahwa membesarkan anak perempuan lebih sulit. Penulis katakan, hal ini relatif, bukan merupakan harga mati yang tidak mungkin ditawar lagi, penulis mengenal beberapa orang tua yang justru mengeluhkan sulitnya membesarkan anak laki-laki, bahkan beberapa di antaranya harus menghadapi persoalan rumit dan cukup berat karena ulah anak laki-lakinya, penulis berkata demikian tidak berarti menafikan atau menutup mata terhadap kenyataan bahwa membesarkan anak perempuan juga tidak mudah, namun penulis tidak sependapat kalau dipastikan bahwa membesarkan anak perempuan lebih sulit, karena faktanya memang tidak demikian.

Alhasil, anak laki atau perempuan sama saja, yang penting adalah bagaimana membesarkan dan mendidiknya sehingga menjadi anak yang baik, berguna bagi agamanya. Amin. (Izzudin Karimi)