Kedua: Dalil-dalil dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun dalil-dalil yang berasal dari sunnah Rasulullah sangat bervariasi dan banyak. Ada yang secara jelas menyatakan perintah untuk menutup muka. Ada yang memerintahkan agar mengenakan jilbab setiap kali keluar rumah. Ada yang memerintahkan untuk menutup kedua telapak kaki dan melonggarkan pakaian supaya dapat menutupinya. Ada yang menyatakan bahwasanya wanita adalah aurat dan oleh karenanya maka harus ditutupi. Ada yang menjelaskan larangan khalwat (berduaan) dan menemui wanita. Dan, ada pula yang membahas tentang rukhsah atau keringanan bagi seorang yang meminang untuk melihat wanita pinangannya. Begitulah, berbagai sudut pembahasan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam, yang bertujuan menjaga dan melindungi kesucian, sifat malu, ghaîrah dan kesopanan bagi para wanita yang beriman.

Sedang rangkaian petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam tersebut antara lain, adalah:

1. عن أم المؤمنين عائشة x قالت: كان الركبان يمرّون بنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم محرمات فإذا حاذوا بنا سدلت إحدانا جلبابها من رأسها على وجهها فإذا جاوزنا كشفناه

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Terdapat rombongan yang melewati kami, sementara kami kala itu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam. sedang melaksanakan ihram. Jika mereka berpapasan dengan kami, maka salah satu di antara kami menutupkan jilbabnya dari kepalanya ke mukanya. Lalu jika mereka telah melewati kami, kami pun membukanya kembali.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Daruquthni dan Baihaqi).

Hadis ini sebagai penjelasan sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha, yang menceritakan keadaan wanita-wanita sahabat Rasulullah radhiyallâhu’anhunna yang sedang menunaikan ibadah ihram bersama Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam, khususnya yang berkenaan dengan adanya dua kewajiban yang saling bertentangan. Kewajiban-kewajiban tersebut di antaranya adalah kewajiban bagi seorang wanita yang beriman untuk menutup muka, dan kewajiban membuka muka bagi wanita yang sedang menunaikan ibadah ihram. Jika wanita yang sedang ihram tersebut terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, maka pada saat itu, ia wajib menutupi mukanya. Namun, jika bersamanya tidak terdapat laki-laki yang bukan muhrimnya, maka ia pun wajib membuka mukanya, sebagai keharusan yang mesti dilakukannya ketika menunaikan ibadah ihram. Dan, Alhamdulillah, hadis ini dengan sangat jelas menyatakan kewajiban bagi semua wanita yang beriman, untuk memakai hijab.

Ayat ini berlaku untuk umum, sebagaimana yang ada dalam tafsir ayat ke-53 dari surat al-Ahzâb. Kemudian, dikuatkan pula oleh hadis berikut ini.

2. عن أسماء بنت أبي بكر x قالت: كناّ نغطّي وجوهنا من الرّجال وكنّا نمتشط قبل ذلك في الإحرام

Diriwayatkan dari Asma binti Abibakar radhiallahu ’anha, ia berkata, “Kami menutup muka-muka kami dari penglihatan kaum laki-laki, dan kami menyisir rambut kami terlebih dahulu ketika hendak melakukan ibadah ihram”. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Hakim, lalu Hakim berkata, “Hadis ini sahih berdasarkan syarat imam Bukhari dan Muslim”, dan diperkuat oleh imam Dzahabi).

3. عن أم المؤمنين عائشة x قالت: يرحم الله نسآء المهاجرات الأول, لما نزلت: (وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ) شققن مروطهن فاختمرن بها

Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Semoga Allah merahmati para wanita generasi pertama yang ikut melakukan hijrah, manakala turun ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka”, mereka segera merobek baju mantel mereka, untuk kemudian menjadikannya sebagai penutup muka mereka”. (HR. imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya, Hakim, Baihaqi dan yang lainnya).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya “Fath al-Bârî” (8/490) berkata, “Makna ucapan Aisyah “fakhtamarna” di sini adalah, mereka menutup muka-muka mereka”.

Syeikh Muhammad Amin rahimahullah di dalam kitabnya “Adhwâ’ al- Bayân” berkata, “Hadis sahih ini sangat jelas menyatakan, bahwa para wanita sahabat Rasulullah radhiyallâhu’anhunna tersebut memahami benar, bahwasanya makna firman Allah Ta’ala, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka” di sini, adalah mereka wajib menutupi muka-muka mereka, dan mereka pun merobek kain sarung mereka untuk dijadikan sebagai kerudung. Artinya, mereka menggunakan sarung mereka itu untuk menutupi muka-muka mereka. Hal itu dilakukan tiada lain, sebagai bentuk pengabdian terhadap perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, yang di dalamnya terkandung perintah bagi para wanita itu, agar menutupi muka-muka mereka.

Dengan demikian, seorang yang adil akan merasa yakin, bahwa berhijab dan menutup muka bagi wanita, terhadap penglihatan laki-laki yang bukan muhrimnya, adalah berdasarkan hadis sahih yang menjelaskan ayat al-Qur’an tentang masalah hijab ini. Dan, sungguh sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha telah memuji para wanita yang dengan bergegas melaksanakan perintah-perintah Allah Ta’ala yang termuat dalam kitab-Nya: al-Qur’an al-Karim.

Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa para wanita tersebut tidak memahami cara menutup muka sesuai perintah ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, kecuali setelah mendapat penjelasan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu, mengingat pada waktu itu, beliau masih hidup, dan para wanita tersebut dapat menanyakan kepada beliau semua permasalahan yang pelik bagi mereka dalam agama mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.(QS. an-Nahl:44)

Maka, tidak mungkin bagi para wanita tersebut menafsirkan ayat tentang hijab ini menurut pemikiran mereka sendiri. Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya “Fath al-Bârî” berkata,”Ibnu Abi Hatim melalui jalur Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan tentang hal ini dari Shafiyah radhiallahu ‘anha. Lafazh hadis tersebut:

ذَكَرْنَا عِنْدَ عَائِشَة نِسآءَ قُرَيْشٍ وَفَضْلَهُنَّ فَقَالَتْ: إِنَّ نِسآءَ قُرَيْشٍ لَفُضَلآءُ, وَلَكنِّيْ وَاللهِ ما رأيت أفضل من نسآء الأنصار: أشدّ تصديقاً بكتاب الله ولا إيماناً بالتنـزيل, لقد أنزلت سورة النور: (وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ), فانقلب رجالهن إليهن يتلون عليهن ما أنزل فيها, ما منهنّ امرأة إلاّ قامت إلى مرطها فأصبحن يصلين الصبح معتجرات كأن على رؤوسهن الغربان

“Kami telah menuturkan kepada Aisyah radhiallahu ‘anha mengenai keadaan dan keutamaan wanita-wanita suku Quraisy, lalu ia berkata, “Sungguh wanita-wanita Quraisy itu sangat mulia. Namun, demi Allah, aku belum pernah melihat yang lebih mulia dari padapada wanita kaum Anshar. Mereka sangat membenarkan dan meyakini kebenaran al-Qur’an. Sungguh tatkala diturunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, lalu para suami mereka pulang menemui mereka untuk membacakan ayat ini, maka semua wanita itu pun bergegas meraih kain mantelnya masing-masing, lalu menunaikan shalat subuh dalam keadaan berkerudung seolah di atas kepala mereka terdapat burung gagak”.

Sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari terdahulu. Oleh karenanya, Aisyah radhiallhu ‘anha dengan segudang ilmu, pemahaman agama dan ketakwaan yang dimilikinya, seketika memuji para wanita kalangan Anshar tersebut dengan pujian yang maha agung ini. Lalu, Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwasanya dirinya belum pernah melihat wanita yang membenarkan dan meyakini kebenaran al-Qur’an melebihi mereka.

Hadis ini juga merupakan dalil yang sangat jelas yang menyatakan, bahwa pemahaman wanita Anshar mengenai keharusan menutup muka, yang bersumber dari pemahaman terhadap firman Allah ta’ala, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, adalah sebagai bentuk keyakinan dan keimanan mereka terhadap al-Qur’an. Hal semacam itu bisa dengan mudah diketahui, karena ketika mereka menutup tubuh dan muka mereka dari penglihatan laki-laki lain, berarti pada saat itu, mereka telah membenarkan dan meyakini kebenaran al-Qur’an.

Hanya saja yang paling mengherankan dari perkataan orang yang mengklaim diri sebagai orang pintar dan intelek, bahwasanya tidak ada satu pun dalil dalam al-Qur’an maupun sunnah, yang menyatakan tentang kewajiban wanita untuk menutup muka dari penglihatan laki-laki lain. Padahal, para sahabat wanita telah melakukan hal itu sebagai bentuk implementasi dan keimanan mereka terhadap perintah Allah ta’ala, yang tertera di dalam kitab al-Qur’an. Artinya, kewajiban wanita untuk menutup mukanya dari penglihatan laki-laki lain itu, telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yang telah disebutkan oleh imam Bukhari rahimahullah pada pembahasan terdahulu. Dan, hadis ini merupakan dalil teragung dan paling jelas, yang mengungkapkan tentang keharusan atau kewajiban hijab bagi semua wanita muslimah”. (Lihat kitab “Adhwâ’ al-Bayân”: 6/ 594-595)

4. حديث عائشة x في قصة الإفك, وفيه: (( وكان صفوان –يراني قبل الحجاب, فاستيقظت باسترجاعه حين عرفني, فخمرت وجهي عنه بجلبابي ))

Hadis diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha yang menceritakan tentang sebuah kisah yang lebih dikenal dengan qishshah al-ifk (cerita bohong). Ceritanya, “Ketika Shafwan melihatku —yaitu sebelum turun perintah hijab—, maka aku pun segera bangkit karena ucapannya “Innâ lillâhi wainnâ ilaihi râji’ûn” begitu ia melihatku. Lalu, aku menutup mukaku dengan jilbabku”. Kedudukan hadis ini sahih berdasarkan kesepakatan ulama hadis. Dan di dalam tafsir surat al-Ahzâb ayat 53 telah dipaparkan, bahwa kewajiban mengenakan jilbab ini, berlaku bagi istri-istri Rasulullah dan seluruh wanita yang beriman.

5. عن عائشة x حديث قصتها مع عمها من الرضاعة- وهو أفلح أخو أبي القعيس- لما جاء يستأذن عليها بعد نزول الحجاب, فلم تأذن له حتى أذن له النبي صلى الله عليه وسلم؛ لأنه عمها من الرضاعة

Aisyah radhiallahu ‘anha meriwayatkan sebuah hadis yang menceritakan tentang dirinya dan paman sesusu dengannya, Aflah, suadara Abulqu’ais, yaitu ketika Aflah datang meminta izin menemuinya pasca turunnya ayat hijab, lalu Aisyah tidak mengizinkannya, sehingga Rasulullahlah yang memberinya izin, mengingat ia adalah paman sepupu Aisyah sendiri. Kedudukan hadis ini sahih berdasarkan pada kesepakatan para ulama hadis.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya “Fath al-Bârî” (9/152) berkata, “Di dalam hadis ini terdapat kewajiban bagi wanita untuk menutup tubuhnya dari penglihatan laki-laki yang bukan muhrimnya”. Pendapat mengenai keumuman dalil hijab ini merupakan pilihan al-Hafizh Ibnu Hajar, dan pendapat inilah yang benar.

6. عن عائشة xقالت: كن نسآء المؤمنات يشهدن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر متلفعات بمروطهن ثم ينقلن إلى بيوتهن حين يقضين الصلاة لا يعرفهن أحد من الغلس

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Pernah di antara para wanita yang beriman melakukan shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan tertutup atau terbungkus oleh mantel-mantel mereka. Lalu, setelah selesai shalat mereka pulang ke rumah mereka masing-masing tanpa ada seorang pun yang bisa mengenali mereka, dikarenakan situasi yang masih gelap saat itu”. Hadis dinyatakan sahih berdasarkan kesepakatan ulama hadis.

7. حديث أم عطية x أن النبي صلى الله عليه وسلم لما أمر بإخراج النسآء إلى مصلى العيد, قلن: يا رسول الله, إحدانا لايكون لها جلباب, فقال النبي صلى الله عليه وسلم:( لتلبسهاأختها من جلبابها)

Diriwayatkan dari Ummu Athiyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyuruh untuk mengajak keluar para wanita ke tempat dilaksanakannya shalat ‘ied, maka para wanita tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah satu di antara kami tidak memiliki jilbab? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Hendaknya saudara perempuannya memakaikan dari jilbabnya kepadanya”. Hadis dinyatakan sahih berdasarkan kesepakatan ulama hadis.

Dalil yang terdapat dalam hadis ini terlihat sangat jelas, yaitu bahwa seorang wanita tidak diperkenankan keluar rumah, kecuali dalam keadaan ia menutupi seluruh tubuhnya dengan jilbab; dan sesungguhnya yang demikian ini, adalah amalan yang dilakukan para wanita yang beriman pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

8. عن ابن عمر c قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ( من جرّ ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة, فقالت أم سلمة: فكيف يصنع النسآء بذيولهن؟ قال: يرخين شبرا, فقالت: إذاً تنكشف أقدامهن؟ قال: يرخينه ذراعاً لا يزدن عليه

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya karena sombong atau congkak, maka Allah Ta’ala tidak akan pernah melihat dirinya pada hari kiamat nanti”. Lalu, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bertanya, “Bagaimana yang harus dilakukan para wanita dengan ujung pakaian mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Mereka cukup mengulurkannya sejengkal”. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bertanya kembali, “Jika demikian, apakah berarti telapak kaki mereka kelihatan?” Rasulullah pun menjawab, “Mereka cukup mengulurkannya sehasta tak lebih dari itu”. (HR. imam Ahmad, para penulis kitab sunan dan yang lainnya. Imam Tirmizi berkata, “ Kedudukan hadis ini hasan sahih”.

Dari hadis ini dapat diambil dua kesimpulan,yaitu:

  • Pertama, bahwa semua wanita itu aurat bagi laki-laki yang bukan muhrimnya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan para wanita, agar menutup kedua telapak kaki mereka, dan dikecualikannya larangan menjulurkan pakaian dan jilbab bagi mereka oleh karena tujuan yang sangat urgen ini.

  • Kedua, kewajiban untuk menjalankan perintah menutup seluruh tubuh wanita yang terkandung dalam hadis ini, merupakan hukum berdasarkan qiyas al-aulâ (analogi prioritas). Karena, wajah bisa menimbulkan fitnah yang lebih besar daripada fitnah yang ditimbulkan kedua telapak kaki. Sehingga, menutupinya lebih wajib daripada menutup kedua telapak kaki. Dan, hikmah Allah yang Maha Tahu lagi Maha Mengetahui tidak membenarkan untuk menutupi anggota tubuh yang paling minim bahaya fitnahnya, sementara anggota tubuh yang paling menyulut timbulnya fitnah boleh dibiarkan tidak tertutup.

9. عن ابن مسعود z قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ( اْلمَرْأَةُ عَوْرَةٌ, فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ, وَأَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهَا وَهِيَ فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar rumah maka setan pun bergegas melihat atau mendekatinya. Padahal, wanita dalam keadaan paling dekat dari rahmat Tuhannya adalah ketika berada di dalam rumahnya”. (HR. Tirmizi, Ibnu Hibban dan Thabrani dalam kitabnya “al-Kabîr”).

Dalilnya, adalah jika wanita tersebut dikatakan sebagai aurat, maka konsekwensinya, semua yang dinamakan aurat wajib ditutupi dan dikerudungi.

Di dalam riwayat Abu Thalib, dari imam Ahmad rahimahullah disebutkan, “Kuku wanita adalah aurat. Jika ia keluar rumah, maka janganlah ia menampakkan sedikit pun dari tubuhnya dan tidak pula sepatu (alas kakinya)”. Riwayat lain, dari imam Ahmad rahimahullah adalah, “Setiap anggota tubuh wanita adalah aurat, bahkan sampai kukunya sekalipun”. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan hal ini dan mengatakan, “Pendapat ini adalah perkataan imam Malik rahimahullah”.

10. عن عقبة بن عامر الجهني z أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسآءِ, فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: اْلحَمْوُ اْلمَوْتُ

Diriwayatkan Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah oleh kalian memasuki tempat para wanita”, lalu seorang pemuda dari kalangan Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan al-hamw (masuk ke tempat ipar)? Beliau seraya menjawab, “Al-Hamw adalah al-maut (kematian)”. Hadis dinyatakan sahih berdasarkan kesepakatan ulama hadis.

Hadis ini menunjukkan kewajiban memakai hijab bagi wanita, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang memasuki tempat para wanita, dan menyamakan atau menyerupakan kerabat suaminya dengan kematian. Ini adalah ungkapan untuk menyatakan suatu larangan yang sangat mendalam. Jika para lelaki dilarang memasuki tempat para wanita dan dilarang berduaan dengan mereka dengan cara yang utama, sebagaimana hal itu juga dinyatakan oleh beberapa hadis lain, maka tentunya meminta sesuatu kepada mereka haruslah dari balik tabir penutup. Sebab, barangsiapa yang menemui mereka, pasti ia telah mengoyak tabir penutup, dan yang demikian ini merupakan perintah bagi seluruh wanita yang ada. Sehingga, hukum masalah ini seperti firman Allah Ta’ala:

فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ

“maka mintailah mereka dari belakang tabir”, yaitu berlaku umum bagi semua wanita.

Beberapa hadis yang membahas tentang diberikannya rukhsah atau keringanan kepada seorang laki-laki yang sedang meminang untuk melihat wanita yang dipinangnya. Hadis yang membahas masalah ini telah banyak diriwayatkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara mereka yang meriwayatkannya terdapat Abu Hurairah, Jabir, Mughirah, Muhammad bin Muslamah serta Abu Humaid radhiallahu ‘anhu.

Cukuplah bagi kita dengan hadis Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا خطب أحدكم المرأة, فإن استطاع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل

“Jika seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka jika ia mampu melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi wanita itu, maka lakukanlah!” Lalu, aku meminang seorang budak wanita dan secara sembunyi-sembunyi aku berusaha mengintainya sampai akhirnya aku melihat sesuatu darinya yang membuatku semakin tertarik untuk menikahinya dan aku pun menikahinya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim, lalu Hakim berkata, “Hadis ini sahih berdasarkan syarat Muslim.”).

Petunjuk atau dalil yang bisa diambil dari hadis di atas sangat jelas melalui beberapa aspek berikut ini:

  • Pertama, bahwa hukum asal bagi para wanita adalah menutup tubuh mereka dari penglihatan laki-laki yang bukan muhrim mereka.

  • Kedua, adanya rukhsah atau keringanan bagi seorang laki-laki yang ingin meminang, untuk melihat wanita pinangannya. Hal ini membuktikan akan keberadaan prinsip ‘azîmah, yaitu: memakai hijab. Sebab, jika para wanita itu telah terbuka wajah-wajah mereka, maka tentunya rukhsah tersebut tidak pernah ada.

  • Ketiga, usaha Jabir radhiallahu ‘anhu secara sembunyi-sembunyi mengintai wanita yang akan dipinangnya, agar ia bisa melihat sesuatu darinya yang membuat dirinya semakin tertarik untuk menikahinya. Seandainya para wanita itu keluar masuk rumah dalam keadaan telah terbuka wajah-wajah mereka, maka tentunya Jabir radhiallahu ‘anhu tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk melihat wanita yang dipinangnya. Wallâhu ‘alam.

Syeikh Ahmad Syakir rahimahullah ketika men-tahqîq hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, yang berkenaan dengan pembahasan melihat muka wanita pinangan ini, yaitu yang terdapat dalam kitab al-Musnad (14/236), ia berkata, “Hadis ini dan yang semakna dengannya, termasuk hadis yang biasa dijadikan barang mainan oleh para pembangkang dan penyeleweng masa kini. Mereka tiada lain adalah antek-antek barat, penyempah kaum wanita dan budak nafsu. Mereka berhujjah dengan menempatkan hadis ini tidak pada tempatnya, dan menyelewengkan maknanya yang sebenarnya, yaitu bahwa seorang laki-laki boleh melihat seluruh tubuh wanita tanpa terbatas. Orang-orang kafir pembangkang ini membolehkan melihat tubuh wanita seluruhnya. Mereka membolehkan melihat bagian anggota tubuh wanita yang tidak boleh dilihat sekalipun. Mereka membolehkan berduaan dengan wanita yang semestinya diharamkan. Bahkan, mereka tidak menganggap berteman dan bergaul dengan wanita sebagai perbuatan dosa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menimpakan keburukan kepada mereka, wanita-wanita mereka dan sekawanan mereka yang meridhai dan membiarkan tindakan mereka. Dan di antara mereka yang paling berdosa, adalah orang-orang yang menyandarkan semua itu pada agama, padahal agama terbebas dari tindakan mereka tersebut. Semoga Allah Ta’ala memaafkan dan mengampuni kita semua, dan menuntun kita menuju jalan yang lurus”.