Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah mukjizat besar dan tanda kenabian yang sangat jelas. Selain itu ini adalah kekhususan Nabi kita, Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, karena hal ini tidak pernah terjadi pada nabi dan rasul selainnya (sebelumnya). [1]

Peristiwa ini termasuk ayat (mukjizat) makkiyah terjadi pada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sebelum hijrah.

Dalam peristiwa ini, banyak pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Di antaranya adalah:

1-Tidak ada riwayat yang menjelaskan tanggal terjadinya peristiwa Isra dan Mi’raj yang dapat dijadikan sandaran. Oleh karena itu, terjadi perbedaan dalam hal ini dan beragam pendapat. Hal ini menunjukkan, bahwa Isra’ dan Mi’raj bukanlah malam yang istimewa untuk melakukan ibadah. Tidak disyariatkan pada malam tersebut untuk meningkatkan ibadah, baik berupa shalat, umrah, atau pun sedekah. Seandainya malam tersebut memiliki keistimewaan khusus untuk beribadah, pasti akan ada penjelasannya untuk kita yang dapat menghilangkan keraguan dan perbedaan.

Al-Qasthalani berkata, menukil ucapan Syaikh Abu Usamah bin An Naqqasy, “Adapun malam Isra’ dan Mi’raj, tidak ada satu pun riwayat, baik shahih maupun dhaif (lemah) yang menjelaskan keistimewaan beramal pada malam tersebut. Oleh karena itu, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mau pun shahabat tidak menjelaskan hal tersebut dengan sanad yang shahih. Selain itu, tidak pernah ada saat ini hingga hari Kiamat yang menjelaskan hal tersebut. Siapa saja yang mengatakan tentang hal itu, itu hanya pendapat pribadinya saja yang mungkin ada pertimbangan tertentu. Oleh karena itu, banyak sekali pendapat-pendapat dalam hal ini yang bertolak belakang dan tidak ada satu pun yang shahih. Seandainya hal ini memberi manfaat bagi umat sekalipun setitik, niscaya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- akan menjelaskannya.” [2]

Diriwayatkan dari Ibnul Qayyim dari Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada dalil yang jelas tentang malam Isra’ juga bulannya juga kepastiannya. Yang ada adalah riwayat munqothi’ (riwayat yang terputus sanadnya) yang beragam. Tidak ada satu pun yang qoth’i (kuat). Tidak disyariatkan bagi kaum Muslimin yang meyakini malam tersebut mengistimewakan dengan shalat dan lainnya.” [3].

Sedangkan sebagian masyarakat yang meyakini bahwa peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab, syaikh As-Sinqithi berkata, “Tidak ada dalil yang shahih maupun  hasan yang menjelaskan bahwa peristiwa Isra terjadi di bulan Rajab,  yang sesungguhnya semua itu tidak memiliki dasar.” [4]

2-Orang-orang yang mendustakan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada kisah Isra’ dan menganggapnya aneh, mereka lupa tentang sesuatu yang penting yang dikemukakan pada ayat yang Allah ta’ala berfirman,

 سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ

“Maha suci Dzat yang telah meng-isra-kan hamba-Nya.” (Al-Isro: 1)

Allah-lah yang telah meng-isra-kan hamba-Nya, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak pernah mengatakan bahwa ia melakukan isra’ atas kemauannya sendiri. Orang yang mengingkari Isra’ dan menganggap aneh sesungguhnya ia telah menyerang dan menyangkal kekuasaan Allah bukan kekuasaan Rasul -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

3-Peristiwa Isra dan Mi’raj dan sejumlah peristiwa ‘aneh’ (mukjizat), Ibnu Hajar -رَحِمَهُ اللهُ- berkomentar, “Semua peristiwa seperti pembelahan dada, dikeluarkannya hati dan yang lainnya wajib diterima tanpa harus menyangkalnya atau menafsirkannya karena kemampuan (Allah) yang sangat mungkin, tidak ada satu pun yang mustahil dalam hal ini (bagiNya). [5]

4-Di antara hikmah Isra’ sebelum Mi’raj adalah keinginan untuk memperlihatkan kebenaran bagi para penentang yang ingin memadamkannya. Sebab, seandainya di-Mi’raj-kan terlebih dahulu dari Mekah ke langit, maka tidak ada peluang bagi para pembangkang untuk meminta penjelasan. Ketika beliau menceritakan bahwa beliau di-isra-kan ke Baitul Maqdis, mereka pun menanyakan detailnya, karena mereka pernah melihatnya dan mereka mengetahui bahwa beliau belum pernah melihatnya. Namun, ketika beliau menceritakan, terbuktilah kebenaran ceritanya tentang isra’nya ke Baitul Maqdis. Apabila cerita tersebut benar, maka benarlah semua cerita beliau. [6]

5-Isra’nya beliau ke Baitul Maqdis kemudian  Mi’rajnya ke langit merupakan bukti bahwa masjid tersebut memiliki kedudukan yang penting dan stategis yang hal ini harus dipahami oleh umat Islam di mana pun. Jangan sekali-kali menyepelekan keberadaan Masjid Aqsha karena ia juga merupakan kiblat yang pertama di samping tempat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di-isra-kan.

6-Peristiwa Isra’ dan Mi’raj juga mengandung peristiwa-peristiwa ‘aneh’. Sebagian orang berusaha untuk menyanggah orang-orang yang mengingkarinya dengan argumentasi bahwa hal tersebut sesuai dengan hukum alam.

Sebenarnya ketika kita menggunakan cara (metode) tersebut, berarti kita menolak semua itu sebagai mukjizat dan keistimewaan para Nabi. Metode (cara) yang benar adalah memastikan apakah yang mengingkari itu percaya kepada Allah, Rasul dan risalah-Nya atau ia memang tidak percaya semua itu. Kalau ia termasuk kelompok pertama  bagi kita cukup hanya menjelaskan bahwa peristiwa ini bersumber dari sanad yang shahih dari pembawa risalah. Jika ia termasuk kelompok yang kedua, maka ia lebih membutuhkan argumentasi tentang Allah dan Rasul-Nya daripada argumentasi tentang Mi’raj dan berbagai peristiwa ‘aneh’ lainnnya.

Bukanlah merupakan cara yang terbaik bagi kita menyusahkan diri kita sendiri dengan mendatangi orang yang mengingkari Allah, para nabi dan kitab-kitab suci untuk meyakini bahwa peristiwa Mi’raj tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena hal ini tidak akan membawa hasil yang kita inginkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Apabila kita berusaha meyakinkan penentang bahwa isra’ dan mi’raj bukanlah keistimewaan Rasul -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,  melainkan peristiwa alam, maka kita telah merampas nilai kemukjizatan dari peristiwa tersebut. Padahal Rasul tidak dibuktikan sebagai Rasul, kecuali dengan menetapkan mukjizatnya. Pandangan seperti ini yang dilakukan sebagian orang sangat tidak produktif karena tidak memenangkan iman dan tidak pula menghancurkan kekafiran.

Metode yang benar adalah kita mengemukakan dalil-dalil tentang Allah ta’ala yang apabila menginginkan sesuatu, cukup bagi-Nya untuk mengatakan,كُنْ فَيَكُونُ  “jadilah maka jadi”. Kalau mereka sudah meyakininya, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak percaya terhadap agama dan apa yang bersumber dari agama termasuk hal-hal yang membingungkan akal yang sombong. Termasuk di dalamnya tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj dan mukjizat lainnya.” [7]

7-Ketika orang kafir Quraisy mengetahui berita Isra’, ada di antara mereka yang bertepuk tangan dan ada pula yang meletakkan tangannya di atas kepala karena merasa heran dengan kebohongan yang diklaimnya. Bertepuk tangan dalam berbagai perayaan dan pertemuan karena kagum seperti yang dilakukan kaum Muslimin dewasa ini adalah menyerupai kaum Musyrikin yang bertepuk tangan dalam rangka memotivasi dan kagum [8]

Tepuk tangan kadang dalam kerangka ibadah seperti yang dilakukan para sufi dan lainnya, kadang dalam kerangka budaya, seperti bertepuk tangan dalam berbagai perayaan karena kagum dan memberi motivasi dan lainnya. Apabila hal tersebut dalam kerangka ibadah, maka ia termasuk bid’ah yang diharamkan secara syar’i. Karena kita tidak diperintahkan Allah beribadah dengan bertepuk tangan. Seperti yang dilakukan para sufi berdzikir dan berdoa sambil bertepuk tangan.

Apabila dalam kerangka budaya/adat istiadat, maka hal tersebut termasuk kemungkaran yang diharamkan karena hal itu adalah tasyabbuh (menyerupai orang kafir). [9]

8-Sambutan penduduk langit terhadap Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  adalah dalil dianjurkannya menyambut orang yang mulia dengan suka cita, pujian dan doa. [10] Orang yang mulia adalah orang yang memiliki keistimewaan secara khusus seperti kedua orang tua dan yang lainnya atau keistimewaan secara umum seperti para ulama dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang boleh disambut dengan suka cita, gembira, pujian, dan doa sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap mereka.

9-Sikap Musa -عَلَيْهِ السَّلَامُ- yang memberi nasehat kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan umatnya ketika ia menawarkan agar beliau kembali untuk meminta keringanan dapat diambil pelajaran perlunya memberi nasehat kepada orang yang membutuhkannya sekalipun ia tidak memintanya. [11]

10-Ada orang yang berargumentasi dengan dialog yang terjadi antara Musa -عَلَيْهِ السَّلَامُ- dan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dibolehkannya orang yang hidup memanfaatkan orang yang sudah meninggal. Sanggahannya adalah sebagai berikut:

  • Peristiwa Mi’raj-nya Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan peristiwa yang disaksikan dan dialaminya adalah mukjizat, tidak dapat dianalogikan dengan keadaan manusia. Apakah dapat seseorang berdalil bahwa mungkin saja seseorang sampai/mengunjungi langit ke tujuh karena Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di-mi’rajkan hingga ke sana?
  • Apa yang terjadi dalam peristiwa Mi’raj tersebut berupa dialog, musyawarah dan bolak-baliknya adalah peristiwa nyata antara dua manusia. Keduanya saling menyaksikan dan saling bicara sebagaimana dua orang yang tengah berdialog di dunia. Bukan dialog antara orang hidup yang mengharapkan sesuatu kepada orang yang sudah meninggal. Keduanya dalam keadaan hidup dengan kuasa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak pergi ke kuburan Musa -عَلَيْهِ السَّلَامُ- untuk meminta sesuatu. Akan tetapi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menghidupkan kembali para Nabi yang berjumpa Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan di antara mereka adalah Musa -عَلَيْهِ السَّلَامُ-. Keduanya dalam keadaan hidup. Seandainya apa yang terjadi itu sama seperti yang dilakukan sebagian manusia ketika mengunjungi kuburan, maka niscaya peristiwa Mi’raj itu bukan Mukjizat. [11]

11-Keistimewaan shalat dengan disyariatkannya melalui peristiwa Mi’raj menjelaskan tentang kedudukan shalat dalam Islam [12] Ia merupakan pilar dan rukun yang sangat penting dalam Islam. Siapa saja yang menyia-nyiakannya, maka rukun yang lain pun akan lebih disia-siakan. Siapa saja yang  menjaga shalat lima waktu dalam sehari semalam, seakan-akan ia menjaga shalat lima puluh waktu dan ini adalah karunia Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Yang mulia syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Perhatikanlah bagaimana kewajiban shalat itu ditunda hingga pada malam yang mulia itu. Ini adalah untuk menjelaskan betapa pentingnya shalat itu. Karena:

a-Diwajibkan langsung dari Allah  -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada RasulNya -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tanpa perantara.

b-Diwajibkan pada malam yang sangat mulia bagi Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- .

c-Diwajibkan di tempat yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh manusia.

d-Diwajibkan awalnya 50 waktu. Hal ini menunjukkan betapa sukanya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- terhadap shalat dan betapa besar perhatian-Nya terhadap shalat. Namun, kemudian diringankan sehingga menjadi lima waktu yang dikerjakan, tetapi pahalanya tetap lima puluh waktu. Lima puluh di sini bukan berarti satu kebaikan dibalas sepuluh. Sebab, kalau ini yang dimaksud, maka shalat tidak memiliki keistimewaan dibandingkan dengan ibadah yang lainnya. Karena seluruh ibadah akan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Akan tetapi, secara nyata bahwa manusia akan memperoleh pahala lima puluh waktu. Selain itu, ini adalah karunia Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang sangat besar untuk umat ini [14]

12-Perkataan Musa -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- “Demi Allah, sungguh aku telah menguji cobaan kepada manusia sebelummu” adalah bukti bahwa percobaan sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar -رَحِمَهُ اللهُ- adalah cara yang paling baik untuk memperoleh pengetahuan yang  luas.” [15]

13-Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah ujian bagi seorang muslim. Ujian yang selalu dikemukakan oleh musuh-musuh Islam. Selain itu, setiap kali musuh-musuh Islam memunculkan ujian ini selalu saja ada yang termakan oleh propagandanya. Begitulah musuh selalu memunculkan syubhat-syubhat semacam ini terhadap kaum muslimin dalam rangka menggoyang keyakinan kaum muslimin dan menghalangi manusia untuk menerima Islam. Untuk menyanggahnya ilmu syar’i yang dapat mematahkan argumentasi dan sekaligus menjadi bumerang bagi mereka.

14-Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah proses penyeleksian. Siapa saja yang beriman, pasti akan membenarkannya dan semakin mantap karena iman dan keyakinannya semakin bertambah. Siapa saja yang ragu-ragu dan lemah iman, maka ia akan menjauh dan murtad.

Ini membuktikan kepada kita bahwa agama itu bukan dengan akal, melainkan dengan wahyu. Adalah sumber kesalahan ketika mendahulukan akal daripada wahyu, hawa nafsu daripada syariat. Siapa saja yang hatinya mendapatkan limpahan cahaya dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,  maka ia akan berpandangan bahwa apa yang terdapat pada wahyu dan syariat adalah yang benar dan terbaik dan ia wajib tunduk kepada wahyu Rasul -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan syariatnya, bukan menentangnya dengan akal dan hawa nafsunya. [16] Akal tidak akan mampu mengenal kemaslahatan tanpa bimbingan wahyu [17] Siapa saja yang menggunakan akalnya dalam memahami peristiwa Isra’ dan Mi’raj dan mengabaikan wahyu, maka ia akan sesat. Siapa saja yang menerima wahyu dan tunduk kepadanya, maka ia mendapatkan petunjuk dan restu.

Contoh dari kelompok yang kedua adalah Abu Bakar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- yang langsung membenarkan cerita Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tanpa ada keraguan sedikit pun. Hal yang penting adalah kebenaran mengaitkan cerita itu kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Apabila benar dalam mengaitkan dan dapat dipastikan bahwa itu adalah ucapan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, maka tidak ada pilihan, kecuali membenarkan dan  mendukungnya. Oleh karena itu, dengan sikapnya tersebut, beliau sangat pantas untuk mendapatkan gelar yang agung “As Shiddiq” dan sangat pantas untuk dijadikan teladan dalam menghadapi kasus yang sama.

15-Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ- berkata “Ucapan malaikat kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  ; Marhaban bih (selamat datang) adalah asal-usul penggunaan kalimat ini. Adapun ucapan yang dikatakan saat bertemu seperti ahlan wa sahlan wa marhaban wa karomatan wa khairun muqaddam wa aimanun mauridun dan sebagainya atau hanya kalimat marhaban saja kerena pertimbangan situasi dan kondisi. Kata marhaban sangat luas dan menunjukkan tempat yang sangat luas sehingga tidak perlu lagi ditambah kalimat sahlan. Karena maknanya adalah kami telah menampakkan pada tempat yang mudah. Selain itu, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam peristiwa ini dibawa ke langit. [18]

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber:

Fikih Sirah Nabawiyah, Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, hal. 239-245.

 

Catatan :

[1] Lihat Ibnu Taimiyah, al-Jawab Ash-Shahih 4/165, al-Qasthalani, al-Mawahib Al-Laduniyah 3/15 dan an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/221.

[2] al-Qasthalani, al-Mawahib ad-Diniyah 3/14

[3] Ibnul Qayyim, Zaadul Maad 1/58

[4] Muhammad Al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar As-Syinqiti, Manhaj Tasyri Islami Wa Hikamatuhu, al-Madinah, Al-Maktab Al-Ilmiyah, hal. 31

[5] Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/205

[6] Ibid 7/200-201, lihat Ibnu Taimiyah Al-Jawab As-Shahih 4/164-165.

[7] Abdullah al-Qashimi, Musykilat Hadits Nabawiyah wa Bayanuha, hal.186-195

[8] Bakr Abu Zaed, Tashih ad-Du’a, hal, 87.

[9] Ibid, hal. 88

[10] Lihat Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/217

[11] Ibid, hal.218

[12] Lihat Abdullah ibn Mani’; Majmu’ Fatawa wa Buhuts 1/195 dengan sedikit perubahan.

[13] Lihat Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/216

[14] Muhammad bin Shaleh al-utsaimin, Asy-Syarh al-Mumti’ Ala Zaad al-Mustaqni’ 2/6 dan Syarah Riyadhis Shalihin 2/326-327.

[15] Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/218.

[16] Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah 8/411

[17] Syatibi ; al-I’tisham 1/47

[18] Ibnul Qayyim, Bada’i al-Fawaid 3/205