Termasuk gambaran sedemikian buruknya sebuah kehinaan adalah ketika pada diri seseorang terdapat keserupaan dangan orang-orang Yahudi, umat yang dimurkai dan telah dilaknat melalui para Rasul yang diutus oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada mereka. Bahkan Allah  -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- melaknatnya di tempat yang cukup banyak di dalam al-Qur’an. Di antaranya firman-Nya,

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

Katakanlah (Muhammad), Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah taghut. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus’.” (al-Maidah: 60).

Yang dimaksud dengan (firman-Nya) مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ “orang yang dilaknat dan dimurkai Allah” yakni orang-orang Yahudi (al-Lubab Fii ‘Ulumi al-Kitab, 7/412).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

Orang-orang kafir dari bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (al-Maidah: 78).

Abdullah bin Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Mereka dilaknat melalui setiap lisan (ucapan) (para utusan); mereka dilaknat di dalam Taurat di zaman Nabi Musa -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, mereka dilaknat di dalam Injil di zaman Nabi Isa       -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, mereka dilaknat di dalam Zabur di masa Nabi Dawud -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, dan mereka pun dilaknat di dalam al-Qur’an di zaman Nabi Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, 5/49).

Qatadah -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- melaknat mereka melalui lisan (ucapan)  Nabi Dawud -عَلَيْهِ السَّلَامُ- di zaman mereka, maka Allah               -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- jadikan mereka kera yang hina. Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-melaknat mereka di dalam Injil melalui lisan (ucapan) Nabi Isa -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- jadikan mereka babi.”(ad-Durru al-Mantsur, 3/126).

Akan tetapi, wahai saudara-saudaraku! Betapa butuhnya kita untuk memeriksa diri kita, apakah dalam diri kita terdapat sifat-sifat umat yang terlaknat ini? Meskipun boleh jadi kita selamat dari tuduhan orang lain kepada kita dengan sifat-sifat ini, namun kita tak akan selamat dari pengaruh buruk sifat-sifat tersebut dan dampak buruknya yang dapat menembus relung hati  dalam kehidupan kita seluruhnya.

Saudaraku…

Untuk itu, berikut ini saya sebutkan kepada Anda sekalian beberapa sifat mereka yang terkenal dan merupakan bagian dari karakter kepribadian mereka. Saya akan sebutkan sifat-sifat tersebut, sehingga ketika seseorang di antara kita mendapati dalam dirinya telah terjatuh ke dalam beberapa sifat di antara sifat-sifat tersebut, maka hendaklah ia bersegara untuk menanggalkannya dari dirinya.

 

Gemar Menutupi Kebenaran

Di antara sifat yang tersemat pada mereka, Orang-orang Yahudi, adalah bahwa mereka gemar menutup-nutupi kebenaran.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kalian sembunyikan kebenaran, sedang kalian mengetahui.” (al-Baqarah: 42).

Al-Hafizh Ibnu Katsir -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman melarang orang-orang Yahudi dari tindakan yang mereka sengaja melakukannya berupa mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan menyamarkanya, serta tindakan mereka berupa menyembunyikan kebenaran dan menampakkan kebatilan,

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah kalian campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kalian sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui.”

Maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- melarang mereka dari melakukan kedua hal tersebut sekaligus, dan memerintahkan mereka agar menampakkan kebenaran dan menyebutkannya dengan jelas. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, 1/245).

Namun, mereka tetap saja melakukan apa yang dilarang oleh Allah                -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tersebut padahal mereka mengetahuinya.

Sebuah contoh praktek nyata terkait kejahatan ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya, bahwa Nabi        -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah didatangi oleh seorang lelaki dan wanita Yahudi yang telah berzina, maka Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian dapati di dalam kitab kalian?”

Mereka pun menjawab, “Sesungguhnya para rahib-rahib  kami biasanya menghukum mereka (para pelaku zina) dengan menghitami wajahnya kemudian dinaikkan ke atas kendaraan dengan punggung saling membelakangi.”

Abdullah bin Abdissalam mengatakan, “Ya Rasulullah, ajaklah mereka untuk melihat Taurat! Lalu, didatangkanlah Taurat, lalu si Yahudi membukanya dan ia menutupkan tangannya pada ayat yang berbicara tentang sangsi hukuman bagi pelaku zina, ia membaca ayat sebelum ayat tersebut dan ayat setelahnya. Melihat hal tersebut, Abdullah bin Abdissalam -seorang yang luas pengetahuannya tentang Taurat- mengatakan kepada si Yahudi, ‘Angkatlah tanganmu!’ Ternyata didapati bahwa ayat yang ditutupinya dengan tangannya tersebut adalah ayat rajam, (ayat yang menjelaskan tentang ketentuan hukuman rajam bagi pelaku zina). Maka, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- perintahkan agar membawa kedua orang tersebut ke tempat tertentu lalu diperintahkan agar kedua orang Yahudi yang berzina tersebut dirajam.” (Shahih al-Bukhari, no. 6819).

Alangkah banyaknya dalil yang menunjukkan kepada keakraban mereka dengan tindakan buruk ini (yakni, gemar menutup-nutupi kebenaran)  sampai merambah kepada tindakan menutup-nutupi ilmu dan menutut-nutupi bukti yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- turunkan kepada para Rasul-Nya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kalian benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya,’ lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan.” ( Ali Imran: 187).

Yakni, Ingatlah wahai Rasul saat Allah mengambil perjanjian yang tegas atas orang yang diberi kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani; orang-orang Yahudi mendapatkan Taurat sedangkan orang-orang Nasrani mendapatkan Injil, agar mereka mengamalkannya dan menjelaskannya kepada manusia tanpa menyembunyikannya dan menyamarkannya di depan mereka. Lalu mereka mencampakkan perjanjian dan tidak memegangnya, mereka mengambil harta yang sedikit sebagai upah atas penyembunyian mereka terhadap kebenaran dan penyelewengan mereka terhadap kitab Allah. Seburuk-buruk jual beli adalah apa yang mereka kerjakan, menyia-nyiakan perjanjian Allah dan mengubah isi kitab Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. (At-Tafsir al-Muyassar, 1/486).

Saudaraku…

Pertanyaannya adalah berapa banyak di kalangan kaum Muslim yang memiliki ilmu atau persaksian terkait dengan hak-hak yang terhinggapi oleh bentuk kejahatan ini (menyembunyikan atau menyamarkan kebenaran), andai ia tidak bersaksi dengan benar niscaya hak-hak itu akan hilang. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfiman,

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?”  (al-Baqarah: 140).

Hasad

Di antara sifat mereka, orang-orang Yahudi yang sangat khusus yang mana mereka dikenal dengannya adalah ‘hasad’. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا

“Banyak di antara ahli kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan  kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali.”

Mengapa?

حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

“Karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka.” (al-Baqarah: 109).

Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Ataukah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya?” (an-Nisa: 54).

Oleh karenanya, maka hendaklah Anda -wahai saudara-saudaraku, kaum Muslimin-, hendaklah Anda memeriksa dengan cermat di dalam hati Anda, apakah Anda termasuk orang yang dengki kepada manusia karena karunia yang telah diberikan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepadanya?

Apakah Anda ketika melihat sebuah nikmat yang terdapat pada diri orang lain Anda dengki terhadapnya, Anda menginginkan kenikmatan atau kebaikan tersebut hilang dari dirinya, ataukah Anda termasuk orang yang bila melihat kebaikan pada diri orang lain dari kalangan kaum Muslimin Anda menginginkan kebaikan bagi mereka dan Anda memohon kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dari karunia-Nya?

Saudaraku…

Bilamana Anda dapati dalam diri Anda bahwa Anda tidak senang kala Anda melihat kenikmatan atau kebaikan pada diri saudara-saudara Anda, Anda menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut, maka segeralah Anda menghindar darinya. Karena, hasad termasuk sifat orang-orang Yahudi yang tidak selayaknya hal tersebut menjangkiti hati Anda.

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda, menegaskan tentang sifat mereka ini dalam sabdanya yang sangat jelas dan tegas,

إِنَّ الْيَهُوْدَ قَوْمُ حَسَدٍ

“Sungguh, orang-orang Yahudi itu adalah kaum pendengki.” (Shahih Ibnu Khuzaimah, no. 1585).

Karenanya, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda, melarang Anda dari hasad, yang merupakan salah satu sifat yang melekat pada kaum Yahudi ini sehingga menjadi bagian dari karakter mereka. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– melarang seorang muslim hasad terhadap saudaranya atas nikmat dan kebaikan yang diberikan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepadanya, seraya bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Jauhilah oleh kalian berprasangka (buruk), karena prangsangka (buruk) merupakan sedusta-dustanya perkataan. Jangan kalian saling mencuri dengar pembicaraan orang lain. Jangan pula kalian mencari-cari aib orang lain. Jangan pula kalian hasad satu sama lain. Jangan pula saling membelakangi satu sama lain. Dan, jangan pula kalian saling memusuhi satu sama lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Shahih al-Bukhari, No. 6064).

Makan Riba

Termasuk sifat mereka, orang-orang Yahudi, yang mana mereka terkenal dengannya adalah bahwa mereka gemar mengonsumsi riba, gemar melakukan beragam praktek ribawi dalam kehidupan mereka, sebagaimana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman tentang mereka,

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا . وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ

“Karena kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang  baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah, dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya.” (an-Nisa: 160-161).

Ayat ini adalah ayat madaniyah (ayat yang diturunkan setelah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hijrah ke Madinah). Dan, ayat ini merupakan sebuah pelajaran berharga bagi kita, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menceritakannya kepada kita (kaum Muslimin) tentang perilaku orang-orang Yahudi, di mana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- haramkan atas mereka melakukan praktek riba namun mereka terus saja melakukannya, mereka tidak berhenti dari mengonsumsi hasil melakukan praktek riba, karenanya mereka layak mendapatkan laknat dan murka dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. (Tafsir Ayat al-Ahkam, 1/173).

Saudaraku, kaum Muslimin…

Betapa banyak di kalangan umat Islam hari ini orang-orang yang menarik laknat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada diri mereka sendiri dengan tindakan mereka makan riba, melakukan praktek riba, bahkan mereka meletakkan dirinya di sebuah parit dalam rangka memerangi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Sungguh, mereka itu adalah para hamba dinar dan dirham, mereka adalah para hamba harta yang mana harta benda dunia telah membutakan pandangan mata orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menyerupai mereka dari melihat dan memikirkan perihal sumber pendapatan mereka, apakah harta yang didapatkan mereka tersebut bersumber dari yang halal ataukah bersumber dari yang haram. Tak ada keinginan pada diri mereka selain mengumpulkan dan menumpuk-numpuk harta benda, mereka sedemikian bersungguh-sungguh dalam upaya mengumpulkan harta dan sedemikian bakhilnya dalam menginfakkannya. Oleh karenanya, jika Anda menelisik sirah perjalanan hidup orang-orang yang dikenal senang memakan riba, hobi melakukan praktek riba, hampir saja Anda tak akan mendapati upaya mereka mendayagunakan hartanya dalam proyek-proyek kebaikan. Dan ini termasuk penyakit yang bertumpuk-tumpak pada diri para hamba harta, sedemikian bersemangat mereka mengumpulkan harta dan bakhil mendayagunakanya di jalan-jalan kebaikan. Kita berlindung kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dari hal tersebut. Mahasuci Dzat yang telah mensifati mereka seraya berfirman,

أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا 

“Ataukah mereka mempunyai bagian dari kerajaan (kekuasan), meskipun mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia.” (an-Nisa: 53).

 

Senang Melakukan Praktek Suap

Termasuk pula sifat mereka, orang-orang Yahudi itu yang mana mereka dikenal dengannya adalah ‘senang melakukan praktek suap’.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil.” (Qs. at-Taubah : 34).

Al-Hafizh Ibnu Katsir -رَحِمَهُ اللهُ- berkata tentang tafsir ayat ini, “Hal itu bahwa mereka memakan (harta) dunia dengan menggunakan agama, sedemikian getol berusaha untuk memiliki bagian terbesar dari harta dunia dan  menjadi pemimpin yang mengatur dan menguasai kehidupan manusia, mereka memakan harta manusia dengan cara itu  sebagaimana dulu para rahib-rahib Yahudi mempunyai kedudukan yang mulia di tangah-tengah masyarakat Jahiliyah, mereka mendapatkan jatah upeti, hadiah dan pajak yang datang kepada mereka.”(Tafsir Ibnu Katsir, 4/138).

Sejumlah ulama telah menafsirkan firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tentang orang-orang Yahudi,

وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan kamu akan melihat banyak di antara mereka (orang Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (al-Maidah: 62).

Demikian pula firman-Nya,

لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

“Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan  memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat” (al-Maidah: 63)

Sejumlah ulama telah menafsirkan firman-Nya, وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ “Memakan yang haram”, bahwa mereka senang melakukan praktek suap menyuap.

Siapa yang merenungkan fakta yang terjadi niscaya ia mendapati hal yang akan menyayat-nyayat hati dan menorehkan luka yang akan menambah rasa sakit, yaitu bahwa tidak sedikit di antara kaum Muslim, pada hari ini, terjangkiti pula oleh sifat Yahudi ini (senang melakukan praktek suap menyuap). Hal ini terjadi di kementerian-kementerian, di kantor-kantor pemerintahan dan di tempat-tempat yang lainnya hingga tersebar luas kerusakan urusan yang bersifat administratif dan lain sebagainya yang sedemikian besar sehingga diibaratkan seperti terlihatnya benda hitam di tengah-tengah gelapnya malam. Sungguh, tindakan seperti ini merupakan pengkhianatan terhadap Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Rasul-Nya -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, kecurangan terhadap waliyul amri dan kecurangan terhadap umat. Juga merupakan tindakan berjalan di atas pijakan kaki orang-orang Yahudi, di mana mereka biasa melakukan tipu muslihat dalam upaya mengumpulkan harta dengan menggunakan sarana apa pun yang mungkin dapat dilakukannya. Termasuk di antaranya adalah dengan melakuan praktek suap menyuap ini. Kita memohon kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- agar diselamatkan dari hal ini.

 

Tipu Muslihat dan Pengelabuan

Termasuk sifat mereka, orang-orang Yahudi yang sedemikian buruk bahkan termasuk sifat mereka yang sangat khusus adalah tipu muslihat dan pengelabuan terhadap perkara yang diharamkan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Di antara contoh yang  sangat kentara  dalam hal ini adalah apa yang kita baca di dalam surat al-A’raf, pada kisah Ashab as-Sabt yang mana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- haramkan atas mereka untuk berburu menangkap ikan pada hari Sabat (hari Sabtu, hari khusus bagi orang-orang Yahudi untuk beribadah), namun kemudian mereka melanggarnya dengan cara melakukan tipu daya.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ. كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

“Dan tanyakanlah kepada bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabat (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf: 163).

Bagaimana tipu daya yang mereka lakukan yang merupakan pelanggaran terhadap aturan tidak bolehnya mereka berburu ikan pada hari Sabat mereka tersebut?

Al-Hafizh Ibnu Katsir -رَحِمَهُ اللهُ- menjelaskan, “Mereka memasang kail-kail ikan, jaring-jaring penangkap ikan, dan tempat-tempat penjerat ikan sebelum hari Sabtu, maka ketika tiba hari Sabtu, seperti biasanya ikan-ikan itu datang bermunculan dalam jumlah yang sangat banyak, ikan-ikan itu pun banyak yang terperangkap dan tidak dapat lepas darinya pada hari itu. Lalu, di malam harinya, mereka pun kemudian mengambil ikan-ikan tersebut setelah selesainya hari Sabtu.”

Maka, ketika mereka tetap saja berulang kali melakukan hal tersebut, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kemudian mengubah rupa mereka menjadi rupa seekor kera, bentuk zhahirnya mirip manusia namun hakikatnya bukan manusia. Demikian pula amal mereka dan tipu daya mereka, ketika menyerupai kebenaran pada zhahirnya dan menyelisihi kebenaran pada batinnya, maka balasan mereka sejenis dengan perbuatan mereka. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, 1/134).

Imam Ahmad – رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, ”Tipu daya ini yang dilakukan oleh mereka (orang-orang Yahudi itu), mereka melakukan tipu daya pada sesuatu yang dikatakan kepada mereka, ‘bahwa hal tersebut haram’, lalu mereka melakukan tipu daya hingga mereka menghalalkannya. Alangkah busuk dan kejinya mereka.”

Ibnu Taimiyyah – رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, ”Sungguh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah mencela orang-orang yang menggugurkan kewajiban-kewajiban dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan dengan cara melakukan tipu daya dan kecurangan seperti Allah sebutkan hal itu di dalam kisah ashab as-sabt dan di dalam hadis, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

لاَ تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَتِ اليَهُودُ فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

“Jangan kalian melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Mereka mencari cara menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan melakukan tipu daya yang paling sederhana.” (HR. Ibnu Baththah di dalam Ibthal al-Khiyal, no. 56 dari hadis Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ–, dan sanadnya dihasankan oleh Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) di dalam Majmu’ al-Fatawa, 29/29).

Karenanya, periksalah apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita hari ini, betapa banyak di antara manusia yang melakukan tipu daya dalam muamalahnya, dalam urusan jual beli, dalam urusan pernikahan, dalam urusan perceraian, hanya karena mereka ingin meraih apa yang menjadi tujuan mereka, bukan bertujuan untuk meraih keridhaan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Rasul-Nya dan apa yang dikehendaki oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Rasul-Nya, walaupun mereka menempuh jalan orang-orang Yahudi yang sedemikian buruk tersebut. Semoga Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- melindungi kita dari jalan yang ditempuh mereka ini dan semoga kita dapat menempuh jalan yang benar, jalannya orang-orang yang bertakwa dan para wali-Nya, orang-orang yang shalih. (Fattisy ‘An Shifati al-Yahud Fii Nafsika, 13 : 05 – 13 : 27).

Tidak Mengamalkan Ilmu

Termasuk sifat mereka, orang-orang Yahudi yang sedemikian buruk adalah tidak mengamalkan ilmu yang telah mereka ketahui. Ini adalah sifat yang mana kita diperintahkan oleh Rabb kita Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,  agar kita berlindung kepada-Nya dari sifat tersebut dan dari orang-orang yang menempuh jalan tersebut siang dan malam, paling sedikit 17 kali. Hal itu ketika kita membaca firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di dalam surat al-Fatihah,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula) jalan mereka yang sesat.” (al-Fatihah: 6-7).

Boleh jadi pula kita pernah atau bahkan sering kali kita mendengar setiap Jum’at bacaan imam dalam shalat di mana ia membaca firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tentang orang-orang yang perbuatannya menyelisihi ilmu yang dimilikinya,

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Jumu’ah: 5).

Sebagian orang yang mendengar ayat ini bisa jadi mereka mengira bahwa ayat ini hanya berlaku untuk kalangan orang-orang yang berilmu. Tentu, orang-orang yang berilmu adalah orang-orang pertama yang masuk ke dalam ayat tersebut. Akan tetapi, sejatinya ayat ini berlaku pula bagi orang-orang yang mengetahui tentang syariat meskipun sedikit namun ia tidak mengamalkannya.

Karenanya, wahai penuntut ilmu, wahai orang yang beriman, periksalah kembali ilmu yang ada pada diri kita, periksa hati dan amal kita. Wahai orang-orang Islam yang mengetahui beberapa hukum syariat, periksalah hati kita, wahai saudaraku yang diberkati, berapa banyak kemaksiatan yang kita lakukan sejak lama yang mana kita tahu hukumnya namun terus saja kita melakukannya. Boleh jadi, betapa banyak kewajiban yang kita tinggalkan padahal kita tahu bahwa hal tersebut wajib hukumnya namun kita pun terus saja meninggalkannya. Demi Allah, wahai hamba-hamba Allah, ini adalah tindakan tidak mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui. Kita memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya. Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita, semoga Allah menerima taubat kita, dan semoga pula Allah memberikan taufik kepada kita untuk secara baik mengamalkan ilmu yang telah diberikan-Nya kepada kita. Amin.

Sengaja Melanggar Perjanjian Berulangkali 

Termasuk pula sifat mereka, orang-orang Yahudi yang sedemikian buruk adalah “Sengaja Melanggar Perjanjian”, “Sengaja Mengkhianati Perjanjian”. Bahkan, mereka melakukannya berulangkali.

Hal ini, sebagaimana firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang terikat perjanjian dengan kamu, kemudian setiap kali berjanji mereka mengkhianati janjinya, sedang mereka tidak takut (kepada Allah).” (al-Anfal: 56).

Yakni, di antara yang paling buruk adalah orang-orang Yahudi yang telah mengadakan perjanjian untuk tidak memerangimu dan memusuhi seorang pun dari (kaum)mu. Akan tetapi, mereka selalu mengkhianati janji dan mereka tidak takut kepada Allah. (at-Tafsir al-Muyassar, 3/224).

Hal inilah (yakni, selalu mengkhinati janji atau sengaja melanggar perjanjian)  yang menjadi salah satu faktor penyebab mereka mendapatkan hukuman dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-  berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِآيَاتِ اللَّهِ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Maka (Kami hukum mereka), karena mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, serta karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar.” (an-Nisa: 155).

Di antara bentuk hukuman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- terhadap mereka tersebut adalah bahwa mereka dilaknat oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-  dan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan hati mereka keras membatu.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

  فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat).”  (al-Maidah: 13).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ, yakni, (disebabkan karena pelanggaran janji yang mereka lakukan Kami hukum mereka dengan beberapa bentuk hukuman); (Dua di antaranya) Pertama, bahwa لَعَنَّاهُمْ  (Kami melaknat mereka), yakni, Kami usir mereka dan Kami jauhkan mereka dari rahmat Kami, di mana pintu-pintu rahmat itu tertutup atas diri mereka. Mereka tidak akan menepati perjanjian yang mereka buat, padahal menepati perjanjian merupakan sebab terbesar yang akan mendatangkan rahmat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.  Kedua, وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً (dan Kami jadikan hati mereka keras membatu) yakni, tidak layak mendapatkan wejangan-wejangan, ayat-ayat dan peringatan-peringatan tak lagi memberikan manfaat kepadanya. Maka, kerinduan (kepada kebaikan) tak lagi memotivasi mereka, dan ancaman tak akan mencemaskan mereka. Ini merupakan bagian dari hukuman yang paling besar terhadap seorang hamba, di mana hatinya terliputi dengan sifat ini yang mana petunjuk dan kebaikan tak lagi memberikan faedah kepadanya melainkan keburukan. (Taisir al-Karimi ar-Rahman Fii Tafsiri Kalami al-Mannan, 1/225).

Adapun contoh bentuk pelanggaran janji atau pengkhianatan terhadap perjanjian yang mereka lakukan banyak sekali. Namun, di sini kami isyaratkan kepada sebuah makna yang mendalam yang disampaikan oleh Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil al-Hanbali -رَحِمَهُ اللهُ- di salah satu wejangan yang beliau sampaikan, beliau -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Wahai orang yang mendapati kekerasan dalam hatinya, waspadalah, jangan sekali Anda melanggar perjanjian dengan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

  فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membat.” (al-Maidah: 13).

Wahai orang yang mendapati kekerasan dalam hatinya yang menghalangi dirinya dari menikmati kelezatan tindakan ketaatan kepada Rabbnya atau menghalanginya dari terpengaruh oleh bacaan-bacaan firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Atau, ia mendapati kekerasan hatinya yang menghalangi dirinya dari meneteskan air mata yang akan menghancurkan kerasnya hatinya. Tinjaulah kembali perjanjianmu dengan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Barangkali engkau berjanji kepada-Nya namun kemudian engkau membatalkannya atau engkau melanggarnya. Sehingga engkau mendapati apa yang engkau dapati pada dirimu berupa kekerasan hati. (Fattisy ‘An Shifati al-Yahud Fii Nafsika, 16 : 20 – 17 : 28).

Ya, Allah, Dzat yang Maha Hidup Yang Senantiasa mengurusi makhluk-Nya, Dzat yang Maha Agung lagi Maha Mulia. Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat.

اللَّهُمَّ آتِ أَنْفُسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah,  Berikanlah kepada jiwa-jiwa kami ketakwaannya, sucikanlah ia, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkaulah yang kuasa melakukannya, tidak ada yang dapat mensucikannya selain Engkau saja.

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari hati yang tidak bisa khusyu’, dan dari jiwa yang tidak pernah bisa merasa kenyang serta dari doa yang tidak diijabah.” Amin. Wallahu A’lam. (Redaksi)

Referensi:

  1. Ad-Durru al-Mantsur, Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi.
  2. Al-Lubab Fii ‘Ulumi al-Kitab, Abu Hafsh Umar bin Ali Ibnu ‘Adil ad-Dimasyqi al-Hanbali.
  3. At-Tafsir al-Muyassar, Hikmat Basyir et.al.
  4. Fattisy ‘An Shifati al-Yahud Fii Nafsika, Dr. Umar bin Abdillah bin Muhamad.
  5. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari
  6. Shahih Ibnu Khuzaemah, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaemah an-Naisaburi.
  7. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi.
  8. Tafsir Ibnu Abi Hatim, Ibnu Abi Hatim ar-Razi.
  9. Taisir al-Karimi ar-Rahman Fii Tafsiri Kalami al-Mannan, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.