Jamak berarti mengumpulkan dan menggabungkan, yakni mengumpulkan dan menggabungkan dua shalat dengan melaksanakan keduanya di salah satu waktunya.

Jamak adalah rukhshah (keringanan) yang boleh diambil dalam beberapa kondisi berikut:

1- Safar (perjalanan) dengan syarat dan ketentuan yang berlaku untuk mengqashar shalat, Muadz bin Jabal berkata, “Dalam perang Tabuk, jika Nabi saw berangkat sesudah matahari tergelincir maka beliau menjamak antara Zhuhur dengan Ashar, jika beliau berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau menunda Zhuhur dan menjamaknya dengan Ashar.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

2- Jamak di Arafah dan Muzdalifah bagi jamaah haji, yang pertama untuk Zhuhur dengan Ashar jamak taqdim (Ashar dilaksanakan di waktu Zhuhur) dan yang kedua untuk Maghrib dengan Isya` jamak ta`khir (Maghrib dilaksanakan di waktu Isya`). Dalam hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim tentang sifat haji Nabi saw, “…Kemudian Nabi saw memerintahkan supaya adzan dikumandangkan yang dilanjutkan dengan iqamat, lalu beliau shalat Zhuhur kemudian beliau memerintahkan agar iqamat dikumandangkan lalu beliau shalat Ashar, beliau tidak shalat apa pun di antara keduanya….Beliau datang di Muzdalifah, di sana beliau shalat Maghrib dan Isya` dengan satu adzan dan dua iqamat…”

3- Jamak karena hujan, hujan yang membasahi baju, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan Allah tidak menjadikan suatu kesempitan bagimu dalam agama.” (Al-Haj: 78). Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan bahwa Aban bin Usman menjamak antara Maghrib dengan Isya` dalam malam yang hujan dan hal itu diikuti oleh para ulama tabiin besar, sehingga ia merupakan ijma’ (kesepakatan dari mereka).

4- Jamak karena hajat, Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw menjamak antara Zhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya` di Madinah bukan karena takut, bukan pula karena hujan.” Waki’, rawi dari Ibnu Abbas berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa Rasulullah saw melakukan hal itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Agar tidak menyulitkan umatnya.” Dalam riwayat Abu Mu’awiyah, Ibnu Abbas ditanya, “Apa maksud Nabi saw dengan melakukan itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Beliau tidak ingin menyulitkan umatnya.” Diriwayatkan oleh Muslim.

5- Jamak karena sakit berdasarkan izin Nabi saw kepada Hamnah binti Jahsy, seorang wanita mustahadhah untuk menjamak dua shalat karena istihadhah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Baihaqi dan al-Hakim.

Masa`il Jamak

1- Apakah jamak taqdim lebih utama daripada jamak ta`khir atau sebaliknya? Jawabannya, tidak. Taqdim tidak lebih utama daripada ta`khir dan tidak pula sebaliknya, karena jamak dilakukan berdasarkan hajat maka yang lebih utama adalah yang lebih mudah, jika taqdim lebih mudah maka ia lebih utama, jika ta`khir lebih mudah maka ia lebih utama, oleh karena itu dalam perang Tabuk jika Nabi saw berangkat sesudah matahari tergelincir maka beliau menjamak antara Zhuhur dengan Ashar, jika beliau berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau menunda Zhuhur dan menjamaknya dengan Ashar, hal ini beliau lakukan demi mencari yang lebih mudah.

2- Jika jamak dilakukan maka adzan cukup dikumandangkan satu kali sebelum shalat yang pertama untuk kedua shalat, sedangkan iqamat tetap dua kali untuk masing-masing shalat, dan sunnah di antara kedua shalat tersebut adalah tidak ada shalat apa pun, hal ini berdasarkan ucapan Jabir dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, “…Kemudian Nabi saw memerintahkan supaya adzan dikumandangkan yang dilanjutkan dengan iqamat, lalu beliau shalat Zhuhur kemudian beliau memerintahkan agar iqamat dikumandangkan lalu beliau shalat Ashar, beliau tidak shalat apa pun di antara keduanya…”

3- Jika jamak ta`khir yang dipilih maka shalat yang pertama dilakukan adalah shalat sebelumnya bukan shalat di mana jamak tersebut hendak dilakukan, misalnya jamak ta`khir antara Zhuhur dan Ashar, shalat yang pertama dilakukan adalah Zhuhur kemudian Ashar, hal yang sama berlaku untuk Maghrib dengan Isya`, hal ini karena shalat Zhuhur sebelum shalat Ashar, maka haknya harus didahulukan.

4- Jika jamak taqdim dilakukan di antara Maghrib dengan Isya` di masjid karena hujan, maka setelahnya boleh melakukan shalat Witir atau shalat Tarawih, jika hal ini terjadi di bulan Ramadhan, karena pelaksanaan shalat Witir atau Tarawih adalah ba’da shalat Isya` dan dalam kondisi ini shalat Isya` sudah dilaksanakan.

5- Tidak ada keterkaitan langsung antara jamak dengan qashar, dalam arti orang yang menjamak tidak harus mengqashar dan orang yang mengqashar tidak harus menjamak, orang yang boleh menjamak belum tentu boleh mengqashar, karena sebab qashar adalah safar sedangkan sebab jamak adalah hajat dan ia mungkin terjadi tanpa safar, sebaliknya orang yang boleh mengqashar boleh menjamak sekali pun tidak harus, buktinya Nabi saw shalat lima waktu di Mina di hari Tarwiyah dengan qashar tanpa jamak sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir.
(Izzudin Karimi)