RENUNGAN KE-2

Sikap Manusia Dalam Menyambut Ramadhan

Dalam hal ini ada dua golongan:

Golongan Pertama, berbahagia dan merasa senang dengan kedatangannya. Hal tersebut karena beberapa faktor:

  • Mereka telah terbiasa melaksanakan puasa dan mereka melakukannya dengan lapang dada, oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan puasa sunnah Senin & Kamis, puasa Arafah, puasa Asyura’, Ayyamul Baidh (Tgl. 13,14,15) di setiap bulan, dan sebagainya, agar umat terbiasa dan berbekal dengan ketakwaan.

    Pengaruhnya sangat jelas. Kita lihat orang yang biasa melaksanakan puasa sunnah Ayyamul Baidh, dia tidak merasa berat, capek dan lelah di saat melaksanakan puasa Ramadhan. Berbeda halnya dengan orang yang tidak pernah sama sekali melaksanakan puasa sunnah.

    Berikut ini, kisah nyata para Salafus Shalih akan semangatnya dalam melaksanakan nawafil (ibadah sunnah).

    • Diceritakan ada seorang salaf menjual hamba sahaya perempuan kepada seseorang, ketika tiba bulan Ramadhan ia (majikan baru) menyambutnya dengan aneka makanan dan minuman sebagaimana lazimnya orang, ketika hamba sahaya melihat hal tersebut ia bertanya, “Kenapa tuan lakukan seperti ini?” keluarganya menjawab, “Untuk menyambut Ramadhan.” Seketika ia berkata, “Tidakkah kalian berpuasa selain di bulan Ramadhan? Demi Allah saya datang dari suatu kaum yang hari-harinya penuh dengan puasa laksana bulan Ramadhan, saya tidak butuh kalian, kembalikan saya kepada mereka.” Akhirnya dikembalikan ke majikan yang pertama.

    • Diriwayatkan bahwa Al-Hasan bin Shalih seorang ahli zuhd, ahli wara’ dan orang yang bertaqwa, ia senantiasa bangun malam, dan membaginya kepada tiga, untuk dia, saudaranya dan ibunya. Ketika ibunya meninggal ia membaginya kepada dua waktu dia dan saudaranya, ia melaksanakan shalat malam di waktu ini, dan saudaranya melakukannya di waktu yang berbeda. Ketika saudaranya meninggal maka ia melakukannya di sepanjang malam.

    • Diriwayatkan pula bahwa Al-Hasan bin Shalih ini memiliki seorang hamba sahaya perempuan, satu saat ia menjualnya kepada orang lain, tatkala tengah malam ia berteriak, “Hai kaum, ayo shalat malam.. ayo shalat malam..” maka bangunlah mereka sambil bertanya, “Sudahkah tiba shalat Fajar?” “Apakah kalian hanya melakukan shalat wajib saja?” jawabnya. Di pagi harinya ia kembali ke Al-Hasan bin Shalih sambil berkata, “Tuan telah menjual saya ke satu kaum yang jelek yang tak pernah shalat dan puasa kecuali yang wajib saja. Ambillah saya!”, maka tuannya mengambilnya kembali.

  • Mereka meyakini bahwa menahan diri dari segala kenikmatan dunia adalah salah satu faktor untuk meraih kenikmatan akhirat. Tidak makan dan minumnya orang yang berpuasa serta berhubungan suami istri sepanjang Ramadhan karena ketaatannya kepada Allah, akan menjadi sebab untuk meraih kenikmatan yang abadi di surga. Dengan keyakinan inilah mereka berbahagia dengan kedatangan bulan yang mulia ini.

    Sebaliknya, mereka yang terlena dengan kenikmatan dunia yang tidak memperdulikan halal dan haramnya, itu akan menjadi faktor tidak dapatnya kenikmatan yang hakiki nanti di akhirat. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

    مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْهَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ أَنْ يَتُوْبَ.

    “Barangsiapa yang di dunianya biasa meminum khamer, dia tidak akan meminumnya kelak di akhirat, kecuali dia bertaubat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

    Haram bagi dia minum khamer di akhirat sekalipun masuk surga sebagai sangsi dan mempertegas akan haramnya khamer.

    Di dalam hadits lain dikatakan,

    مَنْ لَبِسَ الْحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي اْلآخِرَةِ.

    “Barangsiapa yang di dunianya biasa memakai baju sutera dia tidak akan memakainya kelak di akhirat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

  • Mereka memahami bahwa Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk mewujudkan ketaatannya kepada Allah, dan berpacu dalam kebaikan, mereka juga mengetahui bahwa pahala yang Allah sediakan di bulan mulia ini lebih besar dari bulan lainnya. Maka tidak ada kebahagiaan yang mereka rasakan di saat datangnya bulan yang mulia ini, sebagaimana datangnya kekasih yang telah lama pergi, atau lebih dari itu.

    Demikianlah golongan pertama dalam menyambut Ra-madhan.

Golongan kedua: Merasa berat dan tersiksa dengan kedatangan Ramadhan, seperti kedatangan tamu yang tidak ia cintai, menghitung jam, hari dan malamnya. Menunggu-nunggu berakhirnya Ramadhan dengan keluh kesah, merasa senang dengan hari-hari yang telah dilaluinya, terutama menjelang Idul Fitri, karena tak lama lagi ia akan meninggalkannya. Hal tersebut karena beberapa faktor di antaranya:

  • Mereka telah terbiasa dengan kenikmatan dunia dan syahwatnya, berfoya-foya dengan makanan dan minuman serta lainnya, bahkan dengan hal-hal yang dilarang, maka di saat datang bulan Ramadhan terhalanglah keinginan hawa nafsunya dan kebiasaannya.

  • Mereka terbiasa santai dan taqsir (menganggap sepele) dalam taat kepada Allah. Ada yang menyepelekan kewajibannya seperti shalat, maka ketika di bulan Ramadhan tidak ada yang mereka lakukan kecuali hanya sebagiannya saja, kalaupun mereka pulang pergi ke mesjid untuk melaksanakan shalat dan berpuasa bersama orang-orang lain, mereka melakukannya dengan berat dan keluh kesah.

Berkata budak milik Harun Ar-Rasyid di saat menghadapi bulan Ramadhan:

Bulan puasa memanggilku –bukan sembarang bulan–
Aku tidak berpuasa selama sebulan.
Seandainya manusia memusuhiku untuk melawan bulan.
Maka aku mengajak kaumku untuk memusuhi bulan puasa.

Pada saat Ramadhan tiba, ia kena penyakit ayan, setiap harinya ia pingsan, sampai akhirnya ia meninggal sebelum menyelesaikan bulan Ramadhan.

Demikianlah keadaannya orang-orang yang merasa sesak dan berat dengan Ramadhan, mereka akan terus dihantui dengan kenikmatan dunia yang selama ini mereka dapatkan, dan akan beriltizam (melaksanakan) dengan sebagian ibadahnya saja. Hal tersebut karena lemahnya keyakinan mereka terhadap apa yang Allah janjikan untuk orang-orang yang beriman, dan tidak adanya sambutan mereka terhadap keutamaan bulan yang mulia ini; pahala yang banyak dan juga yang lainnya. Maka tidaklah heran bila mereka tidak bergembira dengan tamu Allah yang agung ini, sebagaimana kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang mukmin yang benar.