Adalah hal yang mengherankan bahwa para ulama telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam dimana tidak diragukan lagi bahwa hari itu adalah hari yang berkah. Tapi para ulama tidak menemukan bahwa Nabi meminta para Shahabatnya untuk merayakan hari tersebut. Juga telah diteliti hari kemenangan Nabi pada perang Badr, perang yang sangat menentukan, dimana ia adalah awal terbentuknya daulah islamiyah. Tapi tidak ditemukan bahwa Nabi memerintahkan para Shahabatnya untuk menjadikan hari tersebut sebagai hari raya.

Banyak peristiwa penting yang dilalui oleh Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam. Peristiwa terpenting adalah hari Hijrah. Walaupun hari itu adalah hari agung, hari dimulainya kalender Hijriyah, namun Nabi tidak menjadikannya sebagai hari raya. Di sana ada juga hari yang sangat penting, yaitu Fathu Makkah (Kemenangan Makkah), kemenangan yang besar yang dengannya Allah memuliakan kaum muslimin dan menghinakan kaum kafir. Walaupun hari itu adalah hari yang berkah dan monumental, namun Nabi tidak memerintahkan aga hari itu dijadikan sebagai hari raya.

Jadi, sesuatu apakah yang melatarbelakangi adanya hari raya ‘ied?
Hari ‘ied bagi kaum muslmin datang setelah adanya ibadah yang agung untuk Allah Al-Wahid ‘Azza Wajalla.
Ketahuilah, bahwa rukun Islam ada lima. Seorang mukmin, di setiap saatnya dia bersaksi tentang keesaan Allah, ini rukun pertama. Dia juga mendirikan shalat lima kali dalam sehari, dan inilah rukun kedua. Dia juga membayar zakat dan shodaqoh pada setiap waktu tertentu di sepanjang tahun, dan inilah rukun yang ketiga

Tinggal dua rukun yang agung, yang keduanya hanya berulang sekali dalam setiap tahunnya.
Rukun Islam keempat adalah shiyam, yang Allah wajibkan kepada kita sekali dalam setahun. Dan oleh karena agungnya ibadah ini, Allah menganugerahkan pahala yang besar yang tidak diberikan pada ibadah lainnya. Sebagaimana dalam hadits :

إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به

[ i]“Kecuali shiyam, karena dia untukKu (Allah) dan Akulah yang akan membalasnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan Allah menutup ibadah ini dengan hari ‘ied. Apakah hikmah yang terkandung? Ini agar seorang mukmin bergembira dengan fithrinya (berbuka kembalinya) dan juga bergembira dengan ampunan dan rahmat Allah setelah melewati satu bulan penuh berpuasa, shalat malam dan amalan taat.

Subhanallah…
Lihatlah keterkaitan dan hubungan hari ‘ied ini. Dia sama sekali tidak berkaitan dengan pribadi manusia, dia hanya berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Itupun bukan sembarang ibadah, namun ibadah khusus dan termasuk yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza Wajalla.

Yang terakhir adalah rukun Islam yang kelima, yaitu haji, ibadah yang sangat agung. Ibadah ini wajib bagi yang mampu minimal sekali dalam seumur hidup. Dia berulang setiap tahun dan seorang mukmin bila selesai dari ibadah haji, dia terbebas dari segala dosa seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya. Sampai-sampai Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :

الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة

“Haji yang mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan haji adalah ibadah yang khusus untuk Allah Subhanahu Wata’ala.
Dikarenakan sangat agungnya ibadah ini, Allah menjadikan hari raya ‘iedul adha di akhir ibadah ini, yang menunjukkan bahwa ‘ied datang setelah ibadah yang agung dan murni untuk Allah ‘Azza Wajalla. Perayaan ‘iedpun tidak ada unsur maksiatnya kepada Allah, bahkan dia adalah ketaatan kepadaNya. Ini adalah hal indah, dimana hari ‘ied adalah moment untuk saling mengasihi, mempererat hubungan, silaturrahim dan waktu berbagi dengan anak-anak jalanan, para fakir miskin, yatim dan sebagainya.
Perhatikan saja Zakat Fitri, misalnya. Zakat Fitri adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan sebelum hari ‘ied. Di sana ada banyak para fakir miskin dan yang membutuhkan, yang mana sudah selayaknya kita untuk menyisihkan sebagian harta kita untuk mereka. Dan ibadah kita menjadi berkurang bila tidak menunaikan ibadah tersebut.

Di sana juga terdapat ibadah yang khusus dilakukan pada hari ‘ied, yaitu sholat ‘ied. Yang mana hal ini mengisyaratkan bahwa kita harus selalu beribadah dengan khusyu’ disetiap waktu, walaupun waktu tersebut adalah waktu bersuka ria.
Di sini ada yang perlu kita perhatikan. Manusia telah menetapkan banyak hari raya, dan semuanya berhubungan dengan pribadi manusia serta dibarengi dengan foya-foya dan pesta berlebihan. Namun bila kita memperhatikan kaum muslimin, maka hari raya mereka hanya berhubungan dengan ibadah dan ketaatan. Sungguh dengan tidak ada keraguan lagi, ini menunjukkan bahwa hari raya ini adalah datang dari sumber Ilahi, yaitu bahwa agama ini benar-benar datang dari Allah.

Lalu kita perhatikan, apakah ada seorang manusia di bumi ini (selain para Nabi dan Rasul) yang menetapkan bagi pengikutnya suatu hari raya yang datang setelah ibadah yang agung? Dan apakah mungkin bagi Nabi jikalau dia bukan seorang utusan Allah untuk bisa menetapkan ibadah seperti ini?
Mengapa Nabi tidak menjadikan hari-hari kemenangan, atau hari pernikahan beliau sebagai hari raya? Atau mengapa beliau tidak menjadikan hari Fathu Mekkah sebagai hari raya? Bahkan moment terpenting dalam hidup Nabipun, yaitu hari diturunkannya wahyu kepadanya untuk menjadi Nabi, beliau tidak menjadikanya sebagai hari raya. Subhanallah! Itu dikarenakan bahwa beliau ingin mengatakan kepada kita semua hari raya ‘ied adalah hari istimewa untuk seluruh kaum muslimin, bukan moment untuk satu orang saja, walaupun dia manusia terbaik.

Kalau kita pikirkan hari ‘ied dan yang melatarbelakanginya ini, maka sangat jelaslah bagi kita kebenaran Nabi ini, bahwa beliau tidak mengada-ada darinya sendiri, tapi beliau sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu Wata’ala :

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى .إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (An-Najmi : 3-4)
Wallahu A’lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dan diterjemahkan dari tulisan Abdud Da’im di www.kaheel7.com, dengan sedikit perubahan)