Di zaman kontemporer ini, banyak orang meremehkan shalat dan melihatnya sebagai beban yang berat bagi mereka. Bila engkau mengingatkan mereka, sebagian mereka mencari-cari alasan pribadi bahwa ia sekarang ini sedang sibuk dengan urusan-urusan penting. Sebagian mereka ada yang beralasan pakaiannya sudah tidak suci, sehingga tidak sah digunakan untuk shalat. Bila pulang ke rumah, ia harus melepaskan pakaiannya itu terlebih dahulu, setelah itu baru melaksanakan shalat. Ini sebenarnya adalah dusta. Sebagian yang lain mengaku telah berbuat kurang optimal dan mulai mengulang-ulang ucapan, “Semoga Allah Subhaanahu Wata’ala menganugerahi hidayah kepada kita.”

Sementara di sana, ada lagi segolongan orang yang berperilaku buruk dengan terang-terangan melakukan maksiat, menukar nikmat Allah Subhaanahu Wata’ala dengan kekafiran, melecehkan shalat dan orang-orang yang mengerjakannya, kemudian mengaku-aku dirinya seorang Muslim. Bila semata Allah Subhaanahu Wata’ala yang disebut, kenapa hati mereka begitu jijik? Dan bila diajak kembali kepada Allah, kenapa mereka mengatakan, “Kami mendengar tapi kami menentang!”

كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ (50) فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ

“Maka mengapa mereka berpaling dari peringatan (Allah Subhaanahu Wata’ala), seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut. Lari dari seekor singa.” (Al-Muddatstsir: 49-51)

Kemarilah, wahai saudaraku, mari kita kritisi sikap-sikap mereka itu dan kita cari tahu faktor-faktor yang mendorong mereka meninggalkan shalat.
1. Apakah shalat itu denda yang harus dibayar seseorang seperti halnya membayar sebagian pajak secara zhalim?
2. Apakah shalat hanya sekedar membuang-buang waktu, sedang seseorang tidak memiliki sisa waktu dari aktifitasnya hanya sekedar untuk dibuang percuma?
3. Apakah shalat itu prinsip paksaan, yang seseorang dipaksa melakukannya seperti dipaksa menerima prinsip-prinsip politik di negara-negara diktator?
4. Apakah shalat itu mengekang kebebasan mutlak seseorang dan melarang mereka menjalankan kebebasannya?
5.Apakah shalat itu perkara mubah (boleh); sehingga siapa yang mau, boleh melakukannya namun tidak diberi pahala, dan siapa yang mau, boleh pula meninggalkannya namun juga tidak mendapatkan dosa?
6. Apakah shalat merupakan suatu kebutuhan bagi kita, sehingga kita harus melaksanakannya?
7. Apakah Allah Subhaanahu Wata’ala membutuhkan shalat kita?
8. Apa manfaat yang akan diraih seseorang dari shalat? Apa pula kerugian yang dia tanggung jika meninggalkannya? Apakah…? Kenapa…?

Sekian banyak pertanyaan yang terlintas di dalam pikiran manusia, didiktekan oleh hawa nafsu, setan dan syahwatnya. Jika ia tidak mampu untuk menjawabnya, maka hawa nafsunya mengemukakan dan menegakkan argumen kepadanya sehingga ia merasa tenang, namun (sebenarnya ia) terhinakan. Lalu hawa nafsunya melakukan perbuatan busuk berupa suatu pemikiran sehingga membuatnya sesat, menghiasi perbuatan buruknya sehingga ia melihatnya baik, membenarkan pendapatnya yang rusak sehingga ia senantiasa berpegang dengannya, membekalinya dengan perdebatan-perdebatan rumit dan membuainya dengan angan-angan jauh hingga ia tercampak ke dalam api neraka sedalam tujuh puluh tahun tanpa ia sadari. Namun jika ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan baik, mementahkan syubhat-syubhat, menjadikan akal dan logika sebagai pemutus, maka ia telah menegakkan hujjah (berargumen) terhadapnya sehingga membuatnya diam membisu dan bersembunyi.

Kini, mari kita tuntaskan pertanyaan-pertanyaan di atas satu persatu, kemudian menjawabnya dengan jawaban yang tidak menyisakan keraguan bagi si peragu. Maka, siapa saja yang berpaling setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang berbuat zhalim.