Dalam sebuah percakapan, Alan berkata keheranan kepada Fulan, “Aneh sekali tingkah lakumu! Terlalu banyak kritikan yang kamu lontarkan. Alangkah tajam sorotanmu!” Alan melanjutkan perkataannya, “Sekarang coba renungkan, apakah aneh bagimu bila ada dua orang saling berbagi, seia sekata, yang satu berandai dapat mencurahkan isi hatinya kepada temannya itu dan yang satu lagi ingin berkorban untuk temannya walau dengan nyawanya sekalipun.”

“Tahukah kamu siapa kedua orang itu? Keduanya tidak lain adalah ayah dan anak. Sang ayah begitu mengasihi sang anak, sementara sang anak begitu berbakti kepada sang ayah. Tidakkah hubungan antara keduanya membuatmu senang?”

Fulan menyahut, “Tentu, demi Rabb-ku! Tiada yang lebih agung dari pada hubungan yang membuat hati saling terkait, kekuatan tergalang dan nikmat serta karunia tersyukuri. Apakah di dalam kehidupan ini, manusia bisa hidup terputus dari kontak dengan kaum kerabat, tetangga, teman dan rekan? Bukankah pada asalnya ia diciptakan sebagai makhluk sosial?”

Alan lantas berkata, “Aku melihat dirimu begitu meyakini akan pentingnya interaksi sosial antar manusia yang dibangun di atas pondasi kasih sayang, saling tolong menolong, pengakuan atas jasa baik dan kebaikan.”

Fulan menimpali, “Benar”

“Bagaimana jika ada orang yang mengingkari kebaikan dan jasa baik?” tanya Alan.

“Apakah ada seorang yang memiliki sedikit rasa malu atau memiliki perasaan akan melakukan tindakan seperti itu?” tanya Fulan keheranan.

“Ya. Itu adalah kamu!” tandas Alan.

Seketika itu juga Fulan marah dan ingin menghajar Alan karena ucapannya itu. Namun kemudian, ia berpikir ulang dan meredam dirinya seraya berkata, “apa maksudmu?”.

Alan menjawab, “Karena kamu mengingkari anugerah dan nikmat Allah Subhaanahu Wata’ala atasmu.”

“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” tanya Fulan.

Alan berkata, “Bukankah Allah Subhaanahu Wata’ala Pemberi karunia dan anugerah?”

“Benar,” jawab Fulan.

“Adakah Dia berhak disyukuri atas hal itu?” tandas Alan.

“Tentu,” jawab Fulan.

“Jika demikian, bagaimana cara bersyukur kepadaNya?” kejar Alan.

Fulan terdiam sejenak seraya memeras otaknya namun tidak menemukan jawaban, lalu berkata dengan lirih, “Aku tidak tahu.”

Tampaknya ia malu, kemudian diam sejenak seraya berkata, “Tolong tunjukkan kepadaku jalan untuk bersyukur kepadaNya!”

Alan berkata, “Untuk merealisasikan rasa syukur, harus melakukan dua hal secara bersama-sama, yaitu: Pertama, Kamu mengakui anugerah dan ihsan (kebaikan)Nya dari lubuk hatimu yang paling dalam, bukan dengan lisanmu saja. Untuk menunjukkan hal itu, harus kamu buktikan dengan meletakkan dahimu di tanah seraya bersujud dan tunduk kepadaNya. Kedua, Kamu menjaga nikmat-nikmat tersebut dengan menempatkannya pada posisi-posisi yang Dia ridhai.”

Fulan menimpali, “Ucapanmu ini benar-benar tulus. Aku berjanji padamu di hadapan Allah Subhaanahu Wata’ala untuk tidak meninggalkan shalat selama hayat di kandung badan. Tetapi aku juga punya teman yang dalam masalah shalat sama seperti kondisiku ini. Sudikah kamu menorehkan untukku untaian kata mengenai hal ini yang akan aku sampaikan kepadanya? Semoga saja Allah Subhaanahu Wata’ala menganugerahinya hidayah melaluimu, sehingga dengan shalatnya itu ia menyambung kembali hubungannya yang terputus dengan Allah Subhaanahu Wata’ala. Dan hal ini adalah lebih baik bagimu daripada unta merah (harta yang paling berharga, pent).

“Dengan senang hati dan merupakan kehormatan serta nikmat tiada tara bagiku (bila memenuhi permintaanmu)”, sambut Alan.

Lalu ia pun menulis kepadanya,
“Saudara tercinta, -semoga Allah Subhaanahu Wata’ala senantiasa memberikan keselamatan untukmu-, Aku pernah mendengar suatu perkataan baik, yang ingin aku rangkai menjadi beberapa kata di atas kertas ini. Harapanku semoga mendapatkan tempat di dalam hatimu sebagaimana ia mendapatkan tempat di dalam hatiku. Salam.”