Dia adalah Abu al-Hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dengan Abu Turab, dia berkata bijak, memimpin dengan adil, dia selalu berupaya memberikan bagian kesucian, ketakwaan dan keadilan kepada jiwa secara total dan menyeluruh, keadilannya adalah mercusuar yang selalu menjadi petunjuk sepanjang zaman bagi orang-orang yang berakal dan bertindak lurus, loyalitasnya kepada keadilan merupakan tabiat, fitrah dan keyakinan yang tertanam dalam jiwanya.

Dia berkata, “Apakah aku rela dipanggil Amirul Mukminin lalu aku tidak ikut memikul kesulitan zaman bersama orang-orang beriman? Demi Allah. Kalau aku berkenan aku bisa memiliki madu murni, gandum dengan kualitas bagus dan pakaian yang lembut ini, namun tidak mungkin hawa nafsu mengalahkanku, aku tidak mau bermalam dalam keadaan kenyang sementara di sekelilingku ada perut-perut yang keroncongan dan hati yang gelisah.”

Dia berkata, “Wahai para pemimpin, sesungguhnya rakyat kalian mempunyai hak, hukum dengan adil, membagi dengan sama, tiada kebaikan yang paling dicintai Allah melebihi kepemimpinan seorang pemimpin yang adil.”

Dia berkata, “Wahai manusia, demi dzat yang tidak ada Tuhan yang haq selainNya, aku tidak mengambil dari harta kalian apa pun, tidak sedikit, tidak pula banyak kecuali ini.” Lalu dia mengeluarkan botol kecil berisi minyak wangi dari kantongnya.” Ali melanjutkan, “Botol kecil ini adalah hadiah dari seorang pemuka para petani orang-orang Ajam.”

Dari Abdullah bin Zurair berkata, aku datang kepada Ali pada hari raya Idul Adha, lalu dia menyuguhkan Khazirah –daging masak berbalur tepung- kepada kami, kami berkata, “Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepadamu, seandainya engkau memberi makan kepada kami daging bebek, karena Allah telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kita.” Maka Ali menjawab, “Wahai Ibnu Zurair, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi khalifah dari harta Allah selain dua nampan, satu untuk dirinya dan keluarganya dan satu lagi dihidangkan kepada manusia.”

Antarah bin Abdurrahman asy-Syaibani berkata, “Aku datang kepada Ali bin Abu Thalib di Khawarnaq, dia mengunakan selembar kain, dia menggigil kedinginan, maka aku berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian untuku dan untuk keluargamu dari baitul mal, mengapa engkau masih menggigil kedinginan?” Maka Ali menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengambil sedikit pun dari harta kalian, kain ini adalah kain yang aku bawa dari Madinah.”

Dari Ali bin al-Arqam dari bapaknya berkata, aku melihat Ali menjual sebilah pedang di pasar, dia berkata, “Siapa yang membeli pedang ini dariku, demi dzat yang menumbuhkan biji-bijian, aku sering membela wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengannya, seandainya aku mempunyai uang seharga selembar kain sarung niscaya aku tidak menjualnya.”

Ali -semoga Allah meridhainya- berjalan-jalan di pasar Kufah padahal dia adalah khalifah kaum muslimin, dia membimbing orang yang tersesat, membantu orang lemah, dia bertemu dengan laki-laki tua, maka dia membawakan barang untuknya, dia menolak tinggal di istana kepemimpinan, dia berkata, “Ini adalah istana kesombongan, aku tidak akan tinggal di sana selamanya.”

Dia berkata, “Jangan membunuh orang yang berlari dari peperangan, jangan membunuh orang yang sudah terluka, jangan mendekati kaum wanita dengan niat menimpakan gangguan kepada mereka sekali pun mereka mencaci kalian, mencaci pemimpin-pemimpin kalian dan orang-orang baik kalian. Banyak-banyaklah mengingat Allah semoga kalian beruntung.”

Ketika Ali ditikam, pada saat itu dia sedang bersiap-siap untuk shalat, setelah dia berkeliling di jalan-jalan kota Kufah untuk membangunkan penduduknya agar mereka bangun menunaikan shalat Shubuh, Ali berkata kepada anak-anaknya setelah dia mengetahui siapa yang membunuhnya, “Perlakukan dia dengan baik, sikapilah dia dengan mulia, jika aku hidup maka akulah yang paling berhak atas darahnya, mungkin qishash atau maaf, jika aku mati maka susulkan dia denganku, aku akan memperkarakannya di sisi Rabb alam semesta, jangan membunuh selainnya denganku, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Wallahu a’lam.