Kehidupan pedalaman berkultur kebersahajaan, sebersahaja alam sekelilingnya, bersih sebersih air yang mengalir padanya, jernih sejernih udara yang bertiup sejuk di angkasanya, mengalir apa adanya tanpa rekayasa, berjalan lurus tanpa basa-basi, kehidupan yang pernah dienyam oleh Rasulullah saw semasa kecil pada saat ibunya menitipkan beliau pada ibu susu Halimah as-Sa’diyah dari kabilah Saad bin Bakr, kehidupan yang juga pernah dialami oleh Imam asy-Syafi’i demi menghindari virus kehidupan kota dan menimba kebersahajaan pedalamam dalam usia dini.

Kehidupan memberi pengaruh pada orang yang menjalaninya, jika kehidupan pedalaman adalah demikian maka demikianlah orang yang hidup di pedalaman yang dikenal dengan istilah a’rabi, seorang a’rabi dengan cara hidup yang bersahaja, belum mengenal tata-cara kehidupan dengan sentuhan tatanan kemajuan, dia berbicara spontan, lugas, tanpa tedeng aling-aling dan sering mengandung makna yang baik dan mendalam, bahkan tidak jarang memicu senyum orang yang mendengar dan membacanya, dia bertingkah polos, bebas dari unsur mencari muka, dan sering memberi pelajaran dan mengandung sindiran yang memojokkan, bahkan tidak jarang ucapan dan tingkah seorang a’rabi mengisyaratkan kecerdikan dan pemikirannya yang encer.

Al-Ashma’i berkata, Yusuf bin Umar gubernur Irak menugaskan seorang a’rabi mengurusi sebuah pekerjaan, beberapa saat ditemukan indikasi pengkhianatan dari a’rabi ini, Yusuf mencopotnya lalu memanggilnya. Yusuf bertanya, “Musuh Allah, kamu makan harta Allah.” A’rabi menjawab , “Lalu harta siapa yang aku makan jika aku tidak makan harta Allah? Aku telah merayu Iblis agar bersedia memberiku sebagian hartanya, tetapi dia tidak memberiku sepeser pun.” Yusuf tersenyum dan memaafkannya.

Al-Ashma’i berkata, aku mendengar seorang a’rabi berdoa dalam thawaf, “Ya Allah ampunilah ibuku.” Dia mengulang-ulangnya. Aku bertanya kepadanya, “Apakah kamu tidak mempunyai bapak?” Dia menjawab, “Punya.” Aku bertanya, “Mengapa kamu tidak menyebut bapakmu?” Dia menjawab, “Bapakku laki-laki kuat, dia bisa berusaha sendiri, lain dengan ibuku, dia wanita miskin lagi lemah.”

Al-Hajjaj menangkap seorang a’rabi yang mencuri di Madinah, dia memerintahkan agar pencuri itu dicambuk, setiap kali a’rabi tersebut dicambuk dia berkata, “Ya Rabbi, aku bersyukur.” Sampai al-Hajjaj mencambuknya tujuh ratus kali. Setelah itu a’rabi ini bertemu dengan Asy’ab. Asy’ab bertanya kepadanya, “Tahukah kamu mengapa al-Hajjaj mencambukmu sampai tujuh ratus?” A’rabi balik bertanya, “Mengapa?” Asy’ab menjawab, “Karena kamu banyak bersyukur, Allah berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu.” A’rabi berkata, “Apakah ini ada di dalam al-Qur`an?” Asy’ab menjawab, “Ya.” Lalu dia berkata,
Ya Rabbi tidak ada syukur maka janganlah Engkau menambahku
Aku telah bersyukur dengan buruk maka maafkanlah aku
Jauhkanlah pahala orang-orang yang bersyukur dariku

Khalifah Abbasi al-Mahdi pergi berburu, dengan kudanya dia tiba di sebuah lembah, dia melihat sebuah tenda milik seorang a’rabi, dia singgah padanya, dia berkata, “Wahai a’rabi, ada makanan?” A’rabi menghidangkan biji-bijian gandum dan al-Mahdi memakannya, setelah itu a’rabi menyuguhkan segelas susu dan al-Mahdi meminumnya, setelah itu a’rabi menghidangkan nabidz –minuman rendaman buah kurma- dalam sebuah kantong kulit dan al-Mahdi meminumnya.

Setelah minum al-Mahdi berkata, “Tahukah kamu siapa aku?” A’rabi menjawab, “Tidak.” Al-Mahdi menjawab, “Aku adalah pelayan khusus Amirul Mukminin.” A’rabi berkata, “Semoga Allah memberkahimu dalam posisimu.” Kemudian a’rabi memberi minum al-Mahdi sekali lagi dan al-Mahdi meminumnya. Al-Mahdi berkata, “Tahukah kamu siapa aku?” A’rabi menjawab, “Kamu mengaku sebagai pelayan khusus Amirul mikminin.” Al-Mahdi berkata, “Bukan, aku adalah salah satu panglima Amirul Mukminin.” A’rabi berkata, “Semoga Allah memberkahimu dalam posisimu itu.”

Kemudian a’rabi memberi minum al-Mahdi untuk yang ketiga kalinya, setelah itu al-Mahdi bertanya, “Tahukah kamu siapa aku?” A’rabi menjawab, “Kamu mengaku sebagai panglima Amirul Mukminin.” Al-Mahdi berkata, “Bukan, akulah Amirul Mukminin.” Lalu a’rabi tersebut menarik kantong minuman dan mengikatnya, dia berkata kepada al-Mahdi, “Menjauhlah dariku.” Al-Mahdi bertanya dengan heran,” Mengapa?” A’rabi menjawab, “Kalau aku memberimu minum untuk keempat kalinya niscaya kamu akan mengaku sebagai rasulullah.”

Al-Mahdi tertawa dan tidak lama berselang sekelompok pasukan berkuda datang dan hati a’rabi tersebut terbang ketakutan. Al-Mahdi berkata kepadanya, “Tidak mengapa, jangan takut.” Lalu al-Mahdi memberinya hadiah: pakaian dan harta yang besar.

Seorang a’rabi menyaksikan pacuan kuda, ketika seekor kuda keluar sebagai pemenang, dia maju ke depan bersorak bersuka cita, dia ditanya, “Apakah joki kuda itu adalah saudaramu?” Dia menjawab, “Bukan.” Dia ditanya lagi, “Apakah kuda yang menang itu adalah kudamu?” Dia menjawab, “Bukan.” Dia ditanya, “Lalu mengapa kamu bersorak bersuka cita?” Dengan kalem dia menjawab, “Karena tali kekang kuda itu adalah milikku.” Selesai.(Izzudin Karimi)