Di awal wudhu dianjurkan mengucapkan, “Bismillahir Rahmanir Rahim.” Jika mengucapkan, “bismillah” saja maka itu sudah cukup. (Pada dasarnya cukup mengucapkan bismillah saja di awal wudhu. Inilah yang ditunjukkan dalil-dalil berikut di mana tak satu pun darinya menyebut ar-Rahman ar-Rahim di tempat ini. Peganglah sunnah Nabimu yang shahih, jangan lancang di hadapanNya dengan menambah dan mengurangi. Ingatlah firman Tuhanmu, وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا” Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Maryam: 64). Keselamatan seluruh keselamatan ada padanya, pent.)

Kawan-kawan kami berkata, “Jika dia meninggalkan basmalah di awal wudhu maka dia mengucapkan di tengah-tengahnya, jika dia meninggalkannya sampai selesai wudhu maka waktunya telah berlalu, wudhunya shahih, baik dia meninggalkannya karena sengaja atau karena lupa. Ini adalah madzhab kami dan madzhab jumhur ulama.” (Yang menyelisihi pendapat ini adalah az-Zhahiriyah, Ishaq dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, di mana mereka mewajibkan basmalah dan pendapat inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut. Pendapat ini dinyatakan rajih oleh asy-Syaukani, Shiddiq Khan dan al-Albani. Dari sini, maka barangsiapa meninggalkannya secara sengaja maka wudhunya tidak sah. Barangsiapa lupa maka dia mengucapkannya pada waktu dia ingat, pent.)

Dalam hal basmalah terdapat hadits-hadits yang dhaif. Terbukti secara shahih bahwa Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui hadits yang shahih dalam perkara basmalah dalam wudhu.” (Al-Asqalani berkata seperti yang dinukil oleh Ibnu IAllan darinya dialam al-Futuhat (2/6), “Penafian ilmu tidak mengharuskan terbuktinya ketiadaanTidak mengetahui tidak berarti sesuatu itu tidak ada. Kalaupun demikian maka penafian ketidakadaan tidak mengharuskan terbuktinya kelemahan, karena ada kemungkinan yang dimaksud dengan ketiadaan adalah ketiadaan yang shahihshahih, jadi masih ada yang hasanhasan, kalaupun demikian maka penafian ketiadaan dari setiap pribadi tidak mengharuskan penafian dari keseluruhan, pent.”)

Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.

“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya (baca: yang tidak membaca ,’Bismillah’).”

Takhrij Hadits: (ShahihShahih): Penulis menyebutkannya dari hadits beberapa orang sahabat.
 1. Hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ahmad (2/418;) Ibnu Majah, Kitab ath-Thaharah, Bab at-Tasmiyah Fi al-Wudhu’, 1/140, no. 399; Abu Dawud, Kitab ath-Thaharah, Bab at-Tasmiyah Ala al-Wudhu’, 1/73, no. 101; ath-Thabrani dalam ad-Du’a’ no. 379; ad-Daruquthni 1/79; al-Hakim 1/146; al-Baihaqi 1/43: dari jalan Muhammad bin Musa al-Makhzumi, dari Ya’qub bin Salamah, dari bapaknya, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.
Ibnu Majah ( 1 – Thaharah, 41 – Basmalah pada waktu wudhu, 1/140/399), Abu Dawud (1 – Thaharah, 48 – Basmalah pada wudhu, 1/73/101), at-Thabrani di ad-Dua’ (379), ad-Daruquthni (1/79) dari Ya’qub bin Salamah dari bapaknya dari Abu Hurairah… dengannya. Al-Hakim berkata, “ShahihShahih.” Tetapi adz-Dzahabi dan al-Asqalani tidak menyetujuinya, keduanya mendhaifkannya karena Ya’qub dan bapaknya adalah rawi majhul. Begitu pula al-Bukhari berkata dalam at-Tarikh (4/76), “Salamah tidak diketahui mendengar dari Abu Hurairah dan Ya’qub tidak diketahui mendengar dari bapaknya.” Akan tetapi hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (1/71) dan al-Baihaqi 1/44 dari jalan Mahmud bin Muhammad azh-Zhafari, Ayyub bin an-Najjar menyampaikan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut. Ini adalah sanad dhaif dengan dua illat’illat: Mahmud tidak kuat, Ayyub tidak mendengar hadits ini dari Yahya sebagaimana hal itu tidak oleh seorang imam hadits sajabanyak dinyatakan oleh ulama hadits.
 2. Hadits SaidSa’id bin Zaid: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 15), Ahmad (4/70, 6/382); Ibnu Majah (ibid, 398); at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharaah, Bab at-Tasmiyah Inda al-Wudhu’, 1/37, no. 25 dan 26; ath-Thabrani dalam ad-Du’a’ no. 373-377; ad-Daruquthni 1/72; al-Hakim 4/60; al-Baihaqi 1/43: dari jalan Abu Tsifat al-Murri, dari Rabah bin Abdurrahman dari neneknya dari bapak neneknya dengan hadits tersebut. Al-Bukhari berkata, “Ini adalah hadits terbaik dalam masalah ini.” Aku berkata, “Ia dhaif atau layak sebagai syahid karena Abu Tsifal dan Rabah adalah rawi yang diterima dengan mutaba’ah.”at-Tirmidzi (1 – Thaharah, 20 – Basmalah pada saat wudhu, 1/37/25-26),at-Thabrani
 3. Hadits Abu SaidSa’id al-Khudri diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 14); Ahmad (3/41); Abd bin Humaid ( no. 910 –Mun-takhab😉 ad-Darimi (1/116); Ibnu Majah (ibid, 397); at-Thabraniath-Thabrani didalam ad-Du’a’ no. (380); Ibn as-Sunni (no. 26); Ibnu Adi (3/1034); al-Hakim (1/147); al-Baihaqi (1/43:) dari beberapa jalan, dari Katsir bin Zaid, dari Rabih bin Abdurrahman bin Abu Said Sa’id, dari kakeknya dengan hadits tersebut.
Dikatakan di dalam az-Zawa`id “HasanHasan.” Aku berkata, “HasanHasan dengan syahidsyahid-syahidsyahidnya karena pada Katsir dan Raubaih terdapat kelemahan.” Ahmad berkata, “Ini adalah hadits bab ini yang terbaik dalam masalah ini.” Ishaq berkata, “Ini adalah yang tershahihshahih dalam babmasalah ini.”
 4. Hadits Aisyah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 16), al-Bazzar (no. 159 – Mukhtashar az-Zawa`id) Abu Ya’la, (no. 4687), at-Thabraniath-Thabrani di dalam ad-Du’a’ ( no. 383-384), ad-Daruquthni (1/72) dari jalan Haritsah bin Abur Rijal, dari Amrah, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha … dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Haritsah adalah rawi yang sangat lemah, oleh karenanya Ahmad berkata, “Ini adalah hadits terdahulu paling dhaif dalam bab masalah ini.”
5. Hadits Anas, diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Habib (2/17-Futuhat), Abdul Malik ini adalah rawi dhaif dan haditsnya ringkihlemah.
 6. Hadits SahalSahl bin Sa’ad, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (ibid, no. 400); at-Thabraniath-Thabrani di al-Kabirdalam al-Mu’jam al-Kabir (6/121/ no. 5699) dan ad-Du’a’ (no. 382); al-Hakim (1/269); al-Baihaqi (2/379:) dari jalan Ubay dan Abdul Muhaimin dua anak Abbas bin SahalSahl bin Sa’ad, dari bapak keduanya, dari kakek keduanya dengan hadits tersebut secara marfumarfu’. Aku berkata, “Ubay dan Abdul Muhaimin adalah dua rawi yang dhaif, oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh adz-Dzahabi dan al-Bushiri.”
 Inilah hadits-hadits dari enam orang sahabat, tak satu pun yang selamat dari kelemahan hanya saja padanya tidak ter-dapat rawi yang tertuduh berdusta dan matruk maka hadits seperti ini bisa menjadi kuat dengan mutaba’ah dan syahidsyahidsyawahidnya, jadi hadits di atas adalah shahihshahih tanpa kebimbangan padanya. Para imam berikut cenderung menguatkannya, mereka adalah: Ibnu Abi Syaibah, al-Mundziri, Ibnu Shalah, Ibnul Qayyim, Ibnu Jamaah, Ibnu Katsir, al-Bushiri, al-Hai-tsami, al-Iraqi, al-Asqalani, Ahmad Syakir dan al-Albani.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dan kami meriwayatkannya dari riwa-yat Sa’id bin Zaid, Abu Sa’id, Aisyah, Anas bin Malik, Sahl bin Sa’ad. Semuanya kami riwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi dan lainnya dan semuanya dinyatakan dhaif oleh al-Baihaqi dan lainnya.

Syaikh Abul Fath Nashr al-Maqdisi az-Zahid berkata, “Disunnahkan bagi orang yang berwudhu untuk mengucapkan di awal wudhunya setelah basmalah,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“Aku bersaksi bahwa tidak tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya.

Apa yang dia katakan ini tidak mengapa, hanya saja ia tidak memiliki dasar dari as-sunnah dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kawan-kawan kami dan selain mereka yang mengatakan demikian.” (Jika ia tidak memiliki dasar dari as-Sunnah maka bagaimana bisa dikatakan tidak mengapa? Yang benar ia memiliki dasar sunnah hanya saja ia sangat lemah, tidak dianggap dan tidak disyariatkan. Lihat perinciannya dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyah 2/16, pent.) Wallahu a’lam. Bersambung…

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)