Oleh: Abdurrahman Nuryaman
KHUTBAH PERTAMA

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Kita semua pasti mengetahui apa saja yang dapat membatalkan wudhu, yang membatalkan shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dari segi hukum fikih pelaksanaan. Akan tetapi barangkali sedikit di antara kita yang mengetahui apa saja yang dapat membatalkan amal ibadah seorang Muslim secara umum.

Membatalkan yang kita maksud adalah gugurnya atau terhapusnya pahala amal, sebagian atau keseluruhan, atau amal ibadah dan segala kebajikan itu sendiri tidak ada gunanya sama sekali, ka-rena pemiliknya telah dihukumi keluar dari Islam oleh Allah.
Membatalkan, yang dalam bahasa Arab adalah أَبْطَلَ, sering diungkapkan dengan kata أَحْبَطَ yang bermakna, menggugurkan atau menghapus.

Ibnul Atsir di dalam An-Nihayah Fi Gharib al-Hadits mengatakan, “أَحْبَطَ اللّهُ عَمَلَهُ” (Allah menggugurkan amalnya), maknanya adalah, أَبْطَلَهُ (Allah membatalkannya).
Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab lebih jelas menerangkan hakikat makna ini dengan mengatakan, “Kata kerja حَبَطَ (gugur), bentuk ketiganya adalah حَبْطٌ dan bisa juga حُبُوْطٌ maknanya adalah, seseorang mengerjakan suatu amal lalu dia merusaknya sendiri.”

Ini mengisyaratkan bahwa ada hal-hal tertentu yang apabila dilakukan oleh seorang Muslim, maka amal ibadahnya bisa menjadi sia-sia dan gugur tak berguna, tidak diterima Allah dan tidak mendapatkan pahala. Dengan menyadari ini, setiap Muslim wajib untuk mengetahui apa saja yang dapat merusak amal ibadahnya; tidak untuk melakukannya, akan tetapi demi menjauhi dan senan-tiasa berhati-hati terhadapnya. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim terdapat riwayat dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِيْ.

“Para sahabat bertanya kepada Rasulullah a tentang kebaikan, se-dangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan; karena saya takut akan mendapatinya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3338; dan Muslim, no. 3434).

Artinya, sebagaimana seorang Muslim wajib mengetahui tauhid, dia juga wajib mengetahui syirik; tidak untuk melakukan syirik, tetapi demi membersihkan tauhidnya dari syirik tersebut dan demi senantiasa membentengi dirinya secara sangat kokoh.

Demikian juga, sebagaimana setiap Muslim wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban pokok yang telah Allah tetapkan atas setiap Muslim, dia juga wajib menghindari apa saja yang dapat menggugurkan amal-amal wajib tersebut. Dan begitu seterusnya.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Hal-hal yang membatalkan amal ibadah (Muhbithat al-A’mal) ada dua kategori: pertama, yang membatalkan dan menggugurkan amal ibadah secara keseluruhan (atau Al-Muhbithat al-Kubra), dan kedua, yang membatalkan pahala amal yang bersangkutan saja (atau Al-Muhbithat ash-Shughra).

Berikut ini adalah apa saja yang membatalkan amal ibadah seorang Muslim secara keseluruhan, yang wajib kita ketahui dan senantiasa wajib kita hindari.

Pertama: Syirik (mempersekutukan Allah)
Tentu saja syirik ini adalah syirik besar (asy-Syirk al-Akbar), yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sujud kepada ber-hala, meminta hujan kepada bintang, berdoa meminta sesuatu kepada kuburan, menyembelih hewan untuk jin dan roh-roh, berkeya-kinan bahwa keris anu dan tombak empu fulan memiliki kekuatan hebat, dan hal-hal semacamnya; semua itu adalah syirik besar yang membatalkan semua amal ibadah yang dilakukan seseorang. Shalat, puasa, haji dan sebagainya adalah sia-sia apabila disertai dengan perbuatan syirik seperti ini. Bahkan lebih dari itu pelakunya dianggap keluar dari Islam, bila yang bersangkutan tidak bertaubat dan kembali kepada Islam.
Perhatikan Firman Allah Ta’ala, yang secara tersurat dialamat-kan kepada para nabi, tapi sebenarnya adalah kepada kita semua,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’.” (Az-Zumar: 65).

Alamat Firman ini adalah para nabi, termasuk Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam; artinya, apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja yang telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, menjadi batal amal ibadahnya kalau melakukan syirik, maka umat biasa seperti kita pastilah akan lebih parah lagi.

Dalam Zubdah at-Tafsir yang merupakan intisari dari tafsir Fathul Qadir karya asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat ini dikatakan, “Syirik, apabila merupakan sesuatu yang pasti menggugurkan amal para nabi, maka syirik akan menggugurkan amal selain mereka, dari umat-umat mereka adalah lebih pasti.”

Dalam surat al-An’am ayat 88, setelah Allah mengisahkan tentang sejumlah para nabi; tentang dakwah mereka, kebaikan, keshalihan, keutamaan dan hidayah Allah kepada mereka, Allah mempertegas suatu pesan yang besar dengan FirmanNya,

ذَلِكَ هُدَى اللّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Dan (tetapi) seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88).

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Kedua
(dari yang membatalkan amal secara keseluruhan) adalah: Kufur.
Yang dimaksud di sini, juga Kufur Akbar dan tidak termasuk di dalamnya Kufur Ashghar. Mengenai kufur Akbar, perhatikan Firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amal-amalnya dan dia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Al-Ma`idah: 5).

Berikut ini sebagian dari jenis Kufur Akbar yang wajib diwaspadai setiap Muslim:
Pertama, kufur karena mengingkari atau mendustakan, yang dalam istilah para ulama disebut Kufr al-Inkar wa at-Takdzib.

Persisnya, adalah apabila seorang Muslim yang mukallaf mengingkari atau mendustakan dengan hatinya atau lisannya suatu pokok agama, atau suatu hukum dari hukum-hukumnya, atau suatu berita wahyu yang dibawa al-Qur`an atau As-Sunnah yang telah disepakati keshahihannya oleh para ulama, maka dia adalah kafir berdasarkan ijma’ para ulama. Maka mengingkari sesuatu dari rukun Islam, atau rukun Iman, mengingkari uluhiyah atau rububiyah Allah atau mengingkari salah satu dari nama-nama dan sifat-sifatNya, mengingkari haramnya zina atau riba, atau bahkan mengingkari halalnya poligami dan lain sebagainya; semua ini dapat mengantarkan seseorang kepada Kufur Akbar yang mengha-pus dan menggugurkan semua amal ibadahnya. Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang selama ini suka mengutak-atik Agama Allah, atas nama kebebasan berpendapat, atas nama demokrasi, atas nama hak individu, atau atas nama dan atas nama lainnya yang terkadang menimbulkan kekhawatiran besar di hati seorang da’i; bagaimana seorang Muslim bisa bersikap lancang seperti itu kepada Agama Allah.

Kedua, kufur karena sikap sombong, yang diistilahkan dengan Kufr al-Istikbar. Maksudnya, seseorang membenarkan pokok-pokok Islam dengan hati dan pernyataan lisannya, akan tetapi menolak untuk tunduk dengan anggota badannya kepada hukum-hukum-nya, karena rasa sombong dan angkuhnya. Orang seperti ini adalah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.

Contoh yang paling jelas adalah sikap iblis -la’natullah Alaihi-ketika Allah memerintahkannya untuk sujud kepada Nabi Adam ’alaihis Salam. Iblis tidak mengingkari Allah sebagai Tuhan alam semesta, tidak mengingkari Allah sebagai pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam raya ini, tidak mengingkari bahwa Allah-lah yang berhak disembah, akan tetapi iblis hanya enggan dan bersikap sombong menyikapi perintah Allah, agar dia sujud kepada Adam ’alaihis Salam. Sikap sombong itu digambarkan Allah di dalam al-Qur`an, kata iblis -sebagaimana diabadikan Allah Ta’ala-,

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu’. Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12).

Dalam ayat lain kesan angkuhnya lebih jelas,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إَلاَّ إِبْلِيسَ قَالَ أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِيناً

“Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (Al-Isra`: 61).

Pertanyaan, tetapi sesungguhnya merupakan penolakan dan sikap sombong yang tidak pantas dilakukan oleh seorang makhluk kepada Rabbnya. Dan karena sikap sombongnya itulah Allah berfir-man dalam surat al-Baqarah ayat 34 dan surat Shad ayat 74 mem-beritakan tentangnya yang lalu menetapkan vonis atasnya,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“…kecuali iblis; ia enggan dan sombong dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34).

Ketiga, kufur karena mencela dan mengolok-olok, yang dalam kitab-kitab akidah diistilahkan dengan Kufr as-Sabb wa al-Istihza`. Ialah bahwa seorang Muslim mengolok-olok atau mencela sesuatu dari Agama Allah, baik dengan perbuatan atau dengan perkataan.

Maka mencela Allah; mencela suatu nama dari nama-nama-Nya atau suatu sifat dari sifat-sifatNya, mengolok-olok atau men-cela Rasulullah a atau sesuatu dari sunnah beliau, seperti mengo-lok poligami yang beliau lakukan atau bahkan syariat poligami itu sendiri, mengolok kewajiban memendekkan pakaian agar tidak menutupi mata kaki, mengolok-olok sunnah memanjangkan jenggot, mengolok-olok kaum Muslimin yang melaksanakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mencela Agama Allah atau bahkan sesuatu dari padanya; semua itu adalah bentuk-bentuk Kufr al-Istihza` yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam dan membatalkan semua amal ibadahnya.
Perhatikan peringatan Allah di dalam surat at-Taubah ayat 65-66,

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ{65} لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apa-kah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah ber-iman.” (At-Taubah: 65 – 66).

Merupakan sebuah penegasan yang amat mengerikan bagi orang-orang Mukmin dan peringatan yang sangat menggetarkan bagi hati orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala.

Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah
Yang Ketiga
(Dari Yang Membatalkan Amal Seorang Muslim) adalah: Murtad dari Islam.
Allah Ta’ala dengan sangat gamblang menegaskan masalah ini di dalam FirmanNya,

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu terhapus amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217).

Yang ketiga ini tidak perlu kita perjelas karena sudah sangat jelas; menjelaskan suatu yang jelas adalah sulit.

Yang Kempat: Kemunafikan (An-Nifaq).
Ialah kemunafikan akbar yang dapat mengeluarkan pelaku-nya dari Islam. Dan ini juga masalah yang sangat jelas dalam akidah Islam. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada ting-katan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa’: 145)

Kelima: Lancang dengan bersumpah (memastikan hukuman) atas Nama Allah Ta’ala.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya dari sahabat Jundab bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ حَدَّثَ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ: وَ اللّهِ لَا يَغْفِرُ اللّهُ لِفُلَانٍ، وَإِنَّ اللّهَ قَالَ: مَنْ ذَا الَّذِيْ يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ؛ فَإِنِّيْ قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ .

“Bahwasanya Rasulullah a menceritakan, ‘Bahwa ada seseorang berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan’, sedang-kan Allah justru berfirman, ‘Siapa yang lancang mengatakan (atas namaKu) bahwa Aku tidak akan mengampuni fulan? Aku telah mengampuni si fulan dan Aku telah menggugurkan amalmu’.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 4753)

Kemudian perhatikan hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan,

كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ مُتَوَاخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ، فَيَقُولُ: أَقْصِرْ، فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ، فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ، فَقَالَ: خَلِّنِيْ وَرَبِّيْ، أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيْبًا؟ فَقَالَ: وَاللّهِ لَا يَغْفِرُ اللّهُ لَكَ -أَوْ: لَا يُدْخِلُكَ اللّهُ الْجَنَّةَ- فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، فَقَالَ لِهٰذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِيْ عَالِمًا؟ أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟ وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اِذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِيْ، وَقَالَ لِلْآخَرِ: اِذْهَبُوْا بِهِ إِلَى النَّارِ.

“Dahulu ada dua orang laki-laki bersaudara di tengah Bani Israil, salah seorang dari keduanya suka berbuat dosa, sedangkan yang seorang lagi rajin beribadah. Yang rajin beribadah tersebut terus melihat yang satunya lagi suka berbuat dosa, sehingga dia sering berkata (menasihatinya), ‘Berhentilah (melakukan dosa)’, dan suatu hari dia mendapatkannya tengah melakukan dosa, dan dia berkata kepadanya, ‘Berhentilah (melakukan dosa)’. Akan tetapi (orang yang ditegur) menimpalinya dengan mengatakan, ‘Biarkan aku (ini adalah urusanku) dengan Rabbku, apakah kamu diutus sebagai pengawas bagi diriku?’ Maka (karena kesal) yang rajin beribadah itu berkata kepadanya, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengam-punimu’-atau dia mengatakan, ‘Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga’-. Maka Allah mengambil nyawa mereka berdua lalu (kelak) akan bersama menghadap kepada Allah Rabb semesta alam. Firman Allah kepada yang rajin beribadah itu, ‘Apakah kamu tahu tentang Aku? Ataukah kamu punya kuasa terhadap apa yang ada di TanganKu?’ Kepada yang suka berbuat dosa itu Allah berfirman, ‘Pergilah dan masuk ke dalam surga dengan rahmatKu’, sedangkan untuk yang rajin beribadah itu (karena kelancangannya tersebut) Allah firmankan (kepada para malaikat), ‘Bawalah dia masuk ke dalam neraka’.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 8093 dan Abu Dawud, no. 4901, serta dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud).

Keenam: Lancang terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan meninggikan suara melebihi suara beliau.
Mengenai ini Allah memberikan peringatan yang keras di dalam KitabNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepa-danya dengan suara keras seperti kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya amalmu tidak terhapus sedang-kan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2).

Mengangkat suara saja di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi suara beliau dapat membatalkan dan menggugurkan amal ibadah seseorang, apalagi lebih dari itu.

Mungkin seseorang akan berkata, “Itu kan dulu, di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup dan bagi orang-orang yang hidup bersama beliau. Apakah itu masih relevan untuk kita sekarang?”

Masalah ini dijawab oleh seorang ulama besar, Imam al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi. Kata beliau, “Kehormatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafatnya adalah seperti kehormatan beliau ketika masih hidup, dan kemuliaan sabda beliau yang diriwayatkan (al-Hadits) sama dengan kemuliaan sabda beliau yang didengar melalui ucapan beliau secara langsung. Maka apabila sabda beliau disampaikan (dibacakan), setiap orang yang ada (yang hadir) wajib untuk tidak mengangkat suaranya dan tidak berpaling daripadanya, sebagai-mana yang mesti dia lakukan di tengah majelis beliau ketika beliau mengucapkannya secara langsung.” (Dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau 8/200, cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

Camkan baik-baik perkataan agung dari Imam Ibnul Arabi ini. Perkataan yang harus senantiasa kita ingat agar kita senantiasa menempatkan sabda-sabda Nabi kita a di tempat yang mulia dan terhormat, kemudian menyikapinya sebagaimana seorang sahabat menyikapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau bersabda, berikut menerimanya sebagaimana seharusnya seorang Muslim menerima wahyu, menjadikannya sebagai sumber hukum, dan bahkan sebagai tolok ukur dan hakim di dalam perbedaan pandangan di kalangan umat.

Imam al-Qurthubi kemudian menjelaskan, “Mengangkat suara di hadapan Nabi shallallah ‘alaihi wasallam yang dimaksud, bukan dimaksud untuk meremehkan atau mengolok-olok; karena itu sudah jelas merupakan kekufuran.”

Karena itu, hendaklah berhati-hati orang-orang yang selama ini meremehkan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itu adalah suatu kekufuran dan paling tidak dapat menggugurkan pahala ibadah.

Adalah tidak pantas bagi seorang Muslim, yang beriman kepada Allah dan RasulNya menyikapi sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sebagai isu, hanya sebagai bahan pelengkap, hanya sebagai penghias makalah-makalah batil, hanya sebagai pembenaran pandangan kita. Maka jangan heran, misalnya, kalau kita pernah men-dengar ada orang yang mengatakan, “Hadits ‘Semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan adalah di neraka’ tidak sesuai untuk disampaikan di hadapan masyarakat Indonesia, karena ini akan memecah belah umat dan esensi yang kontra produktif.”
Ini adalah kelancangan yang sangat berbahaya yang seharusnya kita senantiasa berhati-hati daripadanya. Semua itu agar kita tidak termasuk di antara orang-orang yang amal ibadahnya gugur dan sia-sia.

Kaum Muslimin Rahimakumullah
Poin ini perlu kita perlebar, agar menjadi lebih jelas bagaimana seharusnya seorang Muslim menyikapi sabda-sabda Nabi atau dengan ungkapan yang lebih tepat, hadits-hadits-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pertama, tidak diperkenankan bagi seseorang, ketika mendengar suatu hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menolaknya; dengan anggapan bahwa itu adalah konsep kontra produktif, atau tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, atau dengan alasan apa pun.

Kedua, tidak diperkenankan bagi seseorang untuk mendahu-lukan atau lebih memilih perkataan seseorang dari pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sekalipun orang tersebut adalah salah seorang di antara imam-imam ahli ilmu.

Perhatikan perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata,
“Kaum Muslimin telah ijma’ bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena mengambil pendapat seseorang.”

Imam Ahmad rahimahullah juga berkata,
“Barangsiapa menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia sedang berada di tebing jurang kebinasaan.”

Dua perkataan agung ini dan perkataan-perkataan serupa, bahkan juga dari Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah, dapat kita lihat secara rinci dengan takhrij dan penjelasannya di dalam mukadimah kitab Shifatu Shalat an-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karya al-Imam al-Muhaddits, al-Albani rahimahullah.

Ketiga, barangsiapa yang berani lancang terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa itu adalah tanda yang sangat jelas bahwa orang tersebut telah binasa, yang di dalam hatinya telah terjangkit penyakit yang sangat berbahaya, bahkan boleh jadi telah digerogoti oleh kekufuran.

Keempat, kelima dan seterusnya tentu saja tidak urgen untuk disebutkan secara detail di dalam khutbah Jum’at yang sunnahnya memang dipendekkan seringkas dan sepadat mungkin.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Semua itu tadi harus kita usahakan untuk dihindari, agar kita menjadi orang-orang yang senantiasa disayang Allah, diberkati dan mendapat ampunanNya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذا، وَأَسْتَغْفِرُ اللّهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ, إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah yang kedua

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَلَّى اللَّّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Hadirin Jamaah Jum’at Rahimakumullah
Perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak didasari oleh Agama kami, maka amal tersebut tertolak.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafazh Muslim).

Kedua: Mendatangi dan bertanya tentang sesuatu kepada tukang ramal atau dukun.
Tentang ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.

“Barangsiapa yang datang kepada tukang ramal (dukun) lalu ber-tanya tentang sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam (dan hari).” (Diriwayatkan oleh Mus-lim, no. 2230).
Dan tentu masih banyak lagi yang lainnya.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah

Jangan lupa untuk bershalawat atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai Hari Kiamat nanti.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ تَسْلِيمًا كَثِيرًا وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ اْلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالمَِينَ.

(Dikutib dari Buku Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi ke-2, Darul Haq Jakarta. Telp. 021-84998039. Diposting oleh: Abu Nabiel).