Kebahagiaan tidak hadir hanya dengan menginginkannya, tidak hadir hanya dengan memeluk prinsip-prinsipnya, harus ada usaha serius lagi teguh dalam berpegang kepada prinsip-prinsipnya secara terus menerus tiada henti, berjalan di atas relnya, merealisasikan syarat-syaratnya.

Apabila kita melihat pengertian bahagia menurut manusia, maka kita melihat mereka berbeda pendapat tentang apa itu bahagia? Perbedaan mereka di bidang ini besar, masing-masing dengan pandangan dan pertimbangannya. Akan sangat melelahkan jika semua itu kita paparkan. Penulis merasa cukup membatasi pada pengertian yang merupakan hasil dari pengamatan dan perasaan sendiri. Sah-sah saja kalau Anda, pembaca, tidak setuju. Silakan, ma fi musykilah. Bahagia adalah perasaan bangga, tenang, tenteram dan gembira secara terus menerus.

Bahagia dimulai saat seseorang merasakan kebaikan diri, saat dia meyakini bahwa dirinya mempunyai kebaikan yang pertama kali untuk dirinya sendiri, lalu orang-orang dekatnya dan selanjutnya lingkungan dan masyarakatnya.

Diperlukan beberapa syarat dalam rangka mewujudkan kebaikan diri, di antaranya adalah:

Pertama: Hendaknya niat dan seluruh tujuan seseorang dalam seluruh hidupnya adalah kebaikan, karena siapa yang berniat buruk atau menginginkan keburukan maka tidak mungkin dia dihampiri perasaan bahwa dia adalah orang baik, kemudian niat buruk ini tidak hanya memperkeruh jernihnya kehidupan jiwa dan batinnya semata, lebih dari itu ia juga berpengaruh terhadap kehidupan riil, lahir batin. Inilah yang ditetapkan oleh ilmu modern. Para ahli berkata, agar kita bisa menjamin untuk diri kita perangkat emosi yang lurus dan jasmani yang sehat dan selamat kita wajib melatih pikiran kita di atas pemikiran-pemikiran yang baik lagi bebas dari dosa karena pemikiran buruk lagi kotor melemahkan akal, merusaknya dan membuatnya gila.

Kedua: Menahan diri dari segala keburukan dan kerendahan akhlak. Jika sekedar ingin melakukan keburukan memberi pengaruh yang demikian maka melakukan keburukan dan kerendahan lebih buruk dan lebih pahit.

Oleh karena itu kita melihat ahli hikmah dan ahli ilmu jiwa selalu mewasiatkan agar seseorang menjauhi segala keburukan dan kerendahan jika dia ingin membebaskan dirinya dari penyakit-penyakit jiwa yang mengakibatkan siksa perasaan yang dirasakan oleh seseorang akibat dia melakukan keburukan. Seseorang menjadi sengsara karena dia melakukan keburukan, karena keburukan tersebut akan selalu menghantuinya dan menjadi bayangannya, sehingga pikiran dan hatinya sibuk olehnya dan menjadi sengsara karenanya.

Kebaikan tidak akan pernah usang, dosa tidak akan pernah dilupakan, pemilik balasan tidak mati. Jadilah apa yang kamu ingin, sebagaimana kamu berbuat kamu dibalas, kebaikan menghadirkan ketenangan dan keburukan menyeret kesengsaraan.

Ketiga: Melakukan kebaikan dengan niat yang baik. Perasaan terhadap kebaikan diri tidak hadir kecuali jika seseorang melakukan kebaikan pertama kali dan dengan niat baik. Sekedar melakukan kebaikan belum memadahi, harus ditambah dengan dorongan dan tendensi kebaikan pula dalam melaksanakannya. Hati seseorang tidak mungkin berkata kepadanya dari dalam lubuknya, “Kamu adalah orang baik jika kamu melakukan kebaikan dengan niat buruk atau karena mencari muka atau untuk mencari tujuan dunia.”

Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat –dalam riwayat lain dengan niat-niat-, dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” Ini artinya niat baik diperlukan dalam melakukan kebaikan, bila seseorang mendapatkan apa yang diniatkannya dari sesuatu yang dilakukannya, maka bila niatnya adalah kebaikan maka dia akan mendapatkannya dan begitu pula sebaliknya.

Lebih dari itu Allah akan memberi taufik kepada orang-orang yang berbuat baik dengan niat baik dalam menegakkan kehidupan yang baik dan memudahkan perkara mereka padanya.

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97).

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10). Wallahu a’lam.