Di antara hukum-hukum yang terkait dengan jenazah anjuran memandikan mayit bagi orang yang mengetahui kematian orang tersebut dan memiliki kemampuan untuk memandikannya.

Nabi saw bersabda tentang orang yang meninggal dunia karena tersepak hewan tunggangannya,

اِغْسِلُوْهُ بِماَءِ وَسِدْرِ

Mandikanlah dengan air dan daun bidara.” Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1265) dan Muslim no. 2883.

Nabi saw sendiri juga dimandikan saat beliau wafat, padahal beliau bersih dan suci. Memandikan jenazah adalah fardhu kifayah atas siapa yang mengetahui keadaannya dari kaum muslimin.

Mayit yang dimandikan adalah:
1- Mayit seorang muslim, selainnya tidak dimandikan.
2- Bukan syahid yang gugur di medang perang.
3- Bukan janin dengan usia di bawah empat bulan.
4- Masih tersisa sebagian jasadnya sehingga ada yang dimandikan.
5- Mungkin dimandikan.

Jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki, dipilih orang yang mengerti hukum-hukum memandikan jenazah. Karena ia adalah hukum syariat yang memiliki tata cara khusus yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang berilmu, sesuai dengan tuntunan syariat, di samping yang bersangkutan adalah orang yang dipercaya, bisa menjaga rahasia mayit.

Diutamakan orang yang dipilih oleh mayit sebelum wafatnya dan yang bersangkutan mengerti hukum-hukumnya,. Kalau sebelum wafat, mayit berpesan agar dimandikan oleh orang tertentu, selama orang tersebut shalih, dapat dipercaya dan mampu maka dia harus didahulukan dari orang lain.

Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh isterinya, Asma binti Umais. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari hadits Aisyah no. 6663, Abdurrazzaaq dalam Mushannafnya no. 6117 dan Ibnu Abi Syaibah no. 10969.

Anas bin Malik pernah berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh Muhammad bin Sirin.

Setelah orang yang ditunjuk oleh mayit sebelum wafatnya, diprioritaskan bapak mayit untuk memandikan jenazahnya. Kemudian setelahnya, prioritas tersebut milik kakeknya.

Setelah itu, diikuti dengan orang yang terdekat setelah ayah dan kakek dari kalangan kerabat laki-lakinya, kemudian baru orang lain.

Semua urutan ini berlaku dalam skala prioritas, apabila mereka semua memang memiliki kemampuan memandikan mayit, dan mereka meminta melakukannya. Kalau tidak, maka yang didahulukan adalah orang berilmu yang mengerti tentang hukum-hukum memandikan mayit.

Jenazah wanita dimandikan oleh wanita juga. Dan yang paling berhak memandikannya adalah yang diwasiatkan oleh mayit sebelum meninggal dunia. Kalau mayit berpesan agar ia dimandikan oleh wanita tertentu, maka wanita tersebut harus didahulukan dari yang lain, bila memang berkemampuan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Setelah yang diberi wasiat, maka prioritas diberikan kepada orang terdekat dengan mayit dari kalangan wanita, ibunya, kemudian neneknya dan seterusnya secara berurutan.

Masing-masing dari pasutri berhak untuk memandikan pasangannya yang meninggal dunia. Seorang suami yang meninggal, berhak dimandikan oleh istrinya. Begitu juga seorang isteri, berhak dimandikan suaminya. Karena Abu Bakar berpesan untuk dimandikan oleh istrinya dan Ali bin Abi Thalib juga memandikan jenazah istrinya, Fathimah. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi no. 6660, Abdurrazzaaq no.6122 dan ad-Daaruquthni no. 1833. Namun memandikan di antara berlainan jenis ini hanya berlaku untuk pasangan suami istri saja.

Pria maupun wanita, boleh saja memandikan anak di bawah usia tujuh tahun, lelaki atau perempuan. Ibnul Mundzir menjelaskan, “Semua ulama yang saya hafal, sependapat bahwa seorang wanita boleh memandikan jenazah bayi laki-laki.” (Al-Ijma’ hal. 50).

Karena pada masa hidupnya sekalipun, ia belum memiliki aurat. Maka, demikian juga saat ia sudah meninggal dunia. Karena Ibrahim bin Rasulullah saw saat meninggal dimandikan oleh kaum wanita. Wallahu a’lam.