Abu al-Fadhl Ahmad al-Hamadzani pernah berkata, “Suatu hari, pernah ada seorang wanita datang ke pengadilan menemui al-Qadhi (hakim) untuk mengadukan perceraian yang baru saja terjadi antara ia dengan suaminya.

Al-Qadhi : “Apakah Anda mempunyai saksi atas kejadian ini?”

Sang Wanita : “Ya, tentu. Ada seorang tetanggaku yang mengetahui kejadian ini.”

Maka didatangkanlah tetangga wanita tersebut ke hadapan hakim untuk dimintai keterangannya.

al-Qadhi : “Apakah Anda mendengar perceraian yang terjadi pada wanita ini?”

Sang Tetangga : “Wahai Tuan Hakim, waktu itu saya keluar dari rumah menuju ke pasar untuk membeli daging, roti, minyak wangi, …”

al-Qadhi : “Bukan itu yang saya tanyakan. Saya bertanya kepada Anda, apakah Anda mendengar perceraian yang terjadi pada wanita ini?”

Sang Tetangga : Sepulang dari pasar, saya meletakkan barang belanjaan saya di rumah. Kemudian saya kembali ke pasar untuk membeli kayu bakar, cuka dan…..”

Al-Qadhi : “Hentikanlah ceritamu!”

Sang Tetangga : “Setibanya saya dari pasar untuk kali kedua, saya berjalan mengeliling rumahku, pada saat itulah saya mendengar keributan di rumah tetanggaku ini, dan aku mendengar salah seorang diantara mereka menyebutkan talak tiga. Tapi akau tidak tahu siapa yang mentalak dan siapa yang ditalak? Apakah suaminya yang mentalaknya? Atau dia yang mentalak suaminya?”