Seorang ayah baru saja kehilangan salah seorang anak lelakinya yang masih kecil. Ia sudah berusaha mencarinya di berbagai tempat, namun tak berhasil menemukannya. Ia merasa putus asa untuk dapat menemukan anaknya dan menduga anaknya tersebut telah diculik oleh seseorang atau dimakan oleh binatang buas.

Ia pun segera menyewa beberapa orang wanita yang biasa dibayar untuk menangis dan meratap di kediaman orang yang baru saja tertimpa musibah kematian orang yang dicintainya untuk beberapa hari lamanya.

Setelah para wanita peratap itu bekumpul di kediamannya, ia menyuruh beberapa orang untuk menampari para wanita tersebut agar mereka menangis dan meratap.

Beberapa hari kemudian, ketika sang ayah naik ke atas atap rumahnya, ia melihat sang anak sedang duduk di salah satu sudut atap rumahnya.. Sang ayah pun bersorak gembira, “Wahai anakku, engkau masih hidup? Tidakkah kau tahu bahwa kami mengira engkau telah tiada, sehingga kami sangat bersedih karenanya?”

Sang anak menjawab : “Aku tahu itu ayah. Aku diam di sini karena aku sedang mengerami sebutir telur burung ini sebagaimana induknya mengeraminya, sehingga aku tidak bisa ke mana-mana. Aku sangat ingin memelihara seekor anak burung, Yah. Aku sangat menyayangi burung.”

Sang ayah pun segera turun dari atap rumahnya dan segera memberitakan kabar gembira ini kepada keluarganya dan berkata, “Aku telah menemukan anakku yang hilang, Ia masih hidup dan keadaanya baik-baik saja. Tapi janganlah kalian berhenti memukuli para wanita peratap itu karena aku sudah membayarnya sampai beberapa hari yang akan datang.”

(Qashashul Arab, karya Ibrahim Syamsuddin)