REDAKSI HADITS

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللّهِ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ رضي الله عنها: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Dan dalam riwayat lain milik Muslim,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” [1]

Kosa kata

Mengada-ada, menciptakan : أَحْدَثَ
Dalam urusan kami, mengenai agama kami. : فِيْ أَمْرِنَا
Tertolak, tidak diterima. Disebutkan dalam bentuk masdar tapi yang dikehendaki ialah isim maf’ul. : رَدٌّ

SYARAH

Imam an-Nawawi berkata:

Sabda Nabi,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.”

Di dalamnya berisikan dalil bahwa peribadatan, seperti mandi, wudhu, puasa dan shalat, jika dilakukan dengan menyelisihi syariat, maka tertolak atas pelakunya. Kemudian sesuatu yang diambil dengan akad yang rusak, maka wajib dikembalikan pada pemiliknya dan tidak boleh dimilikinya.

Nabi bersabda kepada orang yang mengadu kepadanya, “Se-sungguhnya anakku menjadi buruh pada orang ini lalu ia berzina dengan istrinya. Aku mendapatkan kabar bahwa anakku harus dirajam, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang sahaya wanita.” Maka beliau mengatakan,

اَلْوَلِيْدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ.

“Sahaya wanita dan kambing dikembalikan kepadamu.” [2]

Dalam hadits tersebut juga berisikan dalil bahwa orang yang mengada-adakan dalam agama, suatu bid’ah yang tidak sejalan dengan syariat, maka dosanya ditimpakan padanya, amalnya tertolak, dan ia mendapatkan ancaman, sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللّهِ.

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu bid’ah atau melindungi pelaku bid’ah, maka ia mendapatkan laknat Allah.” [3]

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Menurut ahli bahasa, اَلرَّدُّ di sini bermakna اَلْمَرْدُوْدُ (tertolak), yaitu sesuatu yang batil dan tidak dianggap.
Sabdanya, لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا (Tidak kami perintahkan). Yakni, hukum kami.

Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dari kaidah-kaidah agama. Ini termasuk jawami’ al-Kalim (kalimat yang ringkas tapi padat makna-ed) yang diberikan kepada al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena ini menegaskan penolakan terhadap segala bid’ah [4], dan segala yang diada-adakan. Hadits ini menjadi dasar atas dibatalkannnya semua akad yang terlarang dan tiada manfaatnya. Hadits ini dijadikan argumen oleh sebagian ahli ushul bahwa larangan itu menunjukkan kerusakan.

Riwayat yang lainnya, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan maka tertolak), menegaskan untuk meninggalkan segala perbuatan yang mengada-ada, baik pelakunya yang mengada-adakan atau dia ikut-ikutan melakukannya. Sebab, inilah yang dijadikan dalil oleh sebagian penentang, ketika melakukan perbuatan bid’ah, ia mengatakan, “Aku tidak mengada-adakan sesuatu.” Maka dibantah dengan riwayat ini.

Hadits ini merupakan perkara yang semestinya dihafal, disebarkan dan dipergunakan untuk membatalkan berbagai kemungkaran, karena ia mencakup semua itu. Adapun pencabangan ushul yang tidak keluar dari Sunnah maka tidak dicakup oleh penolakan ini, seperti menulis al-Qur`an dalam mushaf, seperti madzhab-madzhab tentang pandangan cermat fuqaha’ mujtahidin yang mengembalikan furu’ kepada ushul yang notabene adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga seperti buku-buku yang disusun dalam nahwu, hisab, fara’idh dan ilmu-ilmu lainnya yang dirujukkan dan dibangun berdasarkan sabda-sabda dan perintah-perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, semua itu tidak masuk dalam kategori hadits ini.

Syaikh as-Sa’di berkata:

Adapun hadits Aisyah maka sabdanya,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، أَوْ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara (agama) kami ini apa yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak, atau barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak,” maka hadits ini menunjukkan dengan manthuq (teks) dan mafhum (konteks)nya.

Menurut manthuqnya, hadits ini menunjukkan bahwa semua bid’ah yang diada-adakan dalam agama yang tiada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, baik bid’ah qauliyyah kalamiyyah, seperti Tajahhum (berpaham Jahmiyyah), Rafdh (berpaham Rafidhah/ Syi’ah), I’tizal (berpaham Mu’tazilah) dan selainnya, maupun bid’ah amaliyyah, seperti beribadah kepada Allah dengan peribadatan-peribadatan yang tidak disyariatkan oleh Allah dan RasulNya, maka semua itu tertolak atas pelakunya, dan pelakunya dicela sesuai kadar kebid’ahannya dan kejauhannya dari agama. Barangsiapa yang memberitakan selain apa yang diberitakan Allah dan RasulNya, atau melakukan peribadatan dengan sesuatu yang tidak diizinkan Allah dan RasulNya serta beliau tidak mensyariatkannya, maka ia pelaku bid’ah. Barangsiapa yang mengharamkan perkara-perkara mubah atau beribadah dengan tanpa berdasarkan syariat, maka ia ahli bid’ah.

Adapun mafhum hadits ini maka barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang diperintahkan Allah dan RasulNya -yaitu beribadah kepada Allah dengan akidah yang benar dan amal yang shalih, baik wajib maupun sunnah- maka amalnya diterima dan usahanya disyukuri.

Hadits ini menjadi argumen bahwa semua peribadatan yang dilakukan dengan cara yang dilarang adalah rusak (batal, tidak diterima), karena tidak diperintahkan oleh Syari’ (Allah dan RasulNya), dan bahwa larangan itu menunjukkan kerusakan. Semua muamalah yang dilarang oleh Syari’ adalah sia-sia, tidak dinilai.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:

Hadits ini, menurut ulama, adalah timbangan amal-amal lahiriyah, sedangkan hadits Umar di awal buku ini: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ (Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung niatnya) adalah timbangan amal-amal batin. Karena amal itu memiliki niat dan memiliki bentuk. Bentuknya ialah perbuatan zahirnya, sedangkan niat ialah perbuatan batinnya.

Dalam hadits ini terdapat sejumlah faidah:

1. Siapa yang mengada-adakan perkara dalam Islam, apa yang bukan termasuk darinya, maka amalnya tertolak, walaupun dengan niat yang baik. Berdasarkan kaidah ini bahwa semua bid’ah adalah tertolak atas pelakunya, walaupun dengan niat yang baik.

2. Siapa yang melakukan amal shalih, walaupun pada dasarnya disyariatkan, tetapi amalnya tidak berdasarkan cara yang diperintahkan, maka ia tertolak, berdasarkan riwayat kedua dalam Shahih Muslim. Atas dasar hal ini, barangsiapa yang menjual suatu yang diharamkan maka jual belinya batil, siapa yang shalat sunnah dengan tanpa sebab pada waktu yang dilarang maka shalatnya batil, siapa yang berpuasa pada hari raya maka puasanya batil, dan demikian seterusnya; karena ini semua tidak diperintahkan Allah dan RasulNya. Jadi, semua ini batil lagi tertolak. [Redaksi]

[Sumber: Ad-Durrah as-Salafiyah al-Arba’in an-Nawawiyah, Oleh al-Imam an-Nawai, al-Imam Ibnu Daqi al-‘Id, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di dan Syaikh Muhammad al-Utsaimin, Edisi Indonesia: Sayarah Arbain an-Nawawi, Pent. Darul Haq Jakarta]

Footnote:
[1] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 2697; dan Muslim, no. 1718.
[2] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 2724; dan Muslim, no. 1697.
[3] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 1870; dan Muslim, no. 1370.

[4] Al-Albani mengatakan, “Bid’ah yang dinashkan kesesatannya oleh syariat ialah sebagai berikut:
1. Segala yang bertentangan dengan sunnah, baik ucapan, perbuatan, maupun keyakinan, walaupun itu berasal dari ijtihad.
2. Segala perkara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
3. Segala perkara yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan nash atau tauqif, sedangkan tidak ada nash atasnya, maka itu adalah bid’ah, kecuali yang berasal dari sahabat.
4. Segala yang diembel-embeli dengan ibadah dari kebiasaan-kebiasaan kaum kafir.
5. Apa yang dinashkan atas dianjurkannya oleh sebagian ulama, terutama ulama muta’akhkhirin, padahal tidak ada dalilnya.
6. Semua peribadatan yang tidak disebutkan tata caranya kecuali dalam hadits dha’if atau maudhu’.
7. Berlebih-lebihan dalam ibadah.
8. Semua ibadah yang dimutlakkan oleh Syari’, dan manusia membatasinya dengan suatu batasan, semisal tempat, waktu, cara atau bilangan.”
Syaikh Wahid Bali mengatakan, “Ini adalah kaidah-kaidah yang layak ditulis dengan tinta emas, dan ini berasal dari pengalaman, penalaran, kecemerlangan pikiran, dan buah menelaah.” (Al-Kalimat an-Nafi’ah, hal. 18).