Orang yang datang ke Makkah, bisa datang untuk umrah, bisa datang untuk haji, dan haji bisa tamatthu’, bisa qiran dan bisa pula ifrad. Bila tamatthu’ maka perkara pertama yang dilakukan adalah thawaf umrah kemudian sa’i umrah, karena tamatthu’ adalah umrah kemudian haji. Bila qiran atau ifrad maka perkara pertama yang dilakukan adalah thawaf qudum kemudian sa’i untuk haji bila berkenan atau sa’inya nanti setelah thawaf ifadhah. Thawaf umrah dengan thawaf qudum tidak memiliki perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya.

Sifat Umrah

Bila mu’tamir (orang yang berumrah) atau mutamatthi’ (orang yang haji tamatthu’) tiba di Ka’bah, dia menghentikan talbiyahnya sebelum memulai thawaf umrah. Menuju hajar aswad, menghadapkan badannya, memegangnya dengan tangan kanan dan menciumnya bila memungkinkan, bila tidak memungkinkan maka memegangnya dengan tangan kanan dan mencium tangannya, bila tidak memungkinkan maka cukup dengan isyarat dengan tangan kanan dan tidak mencium tangannya, tanpa memaksakan diri berdesak-desakan, karena hal itu mengganggu orang lain. Pada saat memegang hajar aswad mengucapkan, “Bismillah wallahu Akbar.”

Sebelum memulai thawaf, dianjurkan idhthiba’ yaitu bagian tengah kain ihram diselipkan di ketiak kanan lalu kedua ujungnya dicantelkan di pundak kiri sehingga pundak kanannya terbuka, dan ini dianjurkan di seluruh putaran thawaf yang tujuh. Thawaf dimulai dengan memposisikan ka’bah di sebelah kiri, start dan finish setiap putaran adalah hajar aswad. Untuk tiga putaran pertama dianjurkan ramal, berjalan lebih cepat atau lari-lari kecil dengan mendekatkan langkah, empat putaran sisanya berjalan biasa. Ramal dan idhthiba’ hanya sunnah untuk thawaf umrah dan thawaf qudum dan hanya untuk laki-laki saja.

Baik mengucapkan di awal thawaf, “Allahumma imanan bika, wa tashdiqan bi kitaabika, wa wafa`an bi ahdika, wa ittiba’an li sunnati nabiyyika Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam.

Bila tiba di rukun Yamani, menyentuhnya dengan tangan kanan bila memungkinkan dan mengucapkan, “Bismillah wallahu Akbar.” Tanpa menciumnya, bila tidak memungkinkan maka terus berjalan tanpa memberi isyarat dan tanpa bertakbir, karena hal tersebut tidak dilakukan oleh Nabi.

Dianjurkan antara rukun Yamani dan hajar aswad membaca, “Rabbana aatina…sampai…wa qina adzaban naar.”

Setiap kali melewati hajar aswad, dianjurkan menciumnya, memegangnya dan mengucapkan, “Allahu Akbar.” Bila tidak memungkinkan maka cukup dengan isyarat dan bertakbir.

Setelah thawaf, kain ihramnya dikembalikan menutup kedua pundaknya, kemudian shalat dua rakaat sunnah thawaf di belakang maqam Ibrahim bila memungkinkan, bila tidak maka di bagian mana pun dari masjid.

Kemudian menuju shafa melalui pintunya, naik ke puncaknya bila memungkinkan, berdoa mengangkat kedua tangan menghadap kiblat, kemudian berjalan menuju Marwah, bila sudah tiba di lampu hijau pertama, bagi laki-laki disunnahkan berjalan cepat sampai lampu hijau kedua, kemudian berjalan biasa kembali, tiba di Marwah, naik ke puncaknya bila memungkinkan, melakukan apa yang dilakukan di Shafa, kemudian kembali ke Shafa, berjalan biasa di tempatnya (di luar dua lampu hijau) dan berjalan cepat di tempatnya (di antara dua lampu hijau), pulangnya satu putaran, perginya satu putaran, memperbanyak doa dan istighfar.

Rampung dari tujuh putaran, tahallul dengan mencukur atau memendekkan rambut, untuk laki-laki mencukur habis lebih utama kecuali bila waktu haji hampir tiba, memendekkan agar mencukur habisnya untuk tahallul haji. Untuk wanita cukup mengambil dari setiap gelungan rambutnya sepanjang, kurang lebih, ujung jari.

Bila mu’tamir atau mutamatthi’ telah melakukan semua ini maka umrahnya telah usai dan halal baginya segala sesuatu yang sebelumnya haram karena ihram. Adapun untuk qiran atau ifrad, maka keduanya masih dalam keadaan ihram.

Mohon diperhatikan

1- Masuk masjidil haram sama dengan masuk masjid lain, kaki kanan dulu dan membaca doa yang sama dengan doa masuk masjid lain. Untuk masuk masjidil haram tidak ada doa khusus, yang saya tahu, yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam.

2- Hadits saat melihat ka’bah mengangkat kedua tangan dan mengucapkan, “Allahumma zid hadzal baita tasyrifa wa ta’zhima…. dan seterusnya, adalah hadits yang sangat dhaif, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Bin Baz.

3- Suci hadats saat thawaf termasuk perkara yang diperdebatkan, karena hadits Ibnu Abbas, “Thawaf di Ka’bah seperti shalat…” Riwayat marfu’nya kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam dhaif. Imam an-Nawawi berkata, “Riwayat marfu’ dhaif, yang shahih di kalangan para huffazh hadits ia mauquf kepada Ibnu Abbas.” Syarah Shahih Muslim 8/220. Berlanjut insya Allah.

4- Mengusap maqam atau dinding ka’bah lalu menggosokkannya ke seluruh tubuh atau bergelayutan di dinding ka’bah, perbuatan ini tidak berdasar, Nabi tidak melakukannya dan patut ditinggalkan. Abdullah bin az-Zubair melihat orang-orang mengusap maqam Ibrahim, maka dia berkata, “Kalian tidak diperintahkan melakukan hal itu, akan tetapi kalian diperintahkan untuk shalat di sana.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazzaq dengan sanad diterima.

5- Ramal, sunnah dalam thawaf umrah dan qudum untuk laki-laki, wanita tidak, bila suami dibutuhkan oleh istri saat thawaf, maka tidak usah ramal, sebagaimana ia sunnah untuk tiga putaran pertama, bila tiga putaran ini sudah lewat, maka ramal tidak dilakukan di putaran lainnya.

6- Idhthiba’ sunnah untuk thawaf umrah dan qudum di semua putaran, bila selesai thawaf dan ternyata tidak idhthiba’ maka thawafnya sah, tidak mengulangnya karena ia sunnah.

7- Bila saat thawaf iqamat dikumandangkan, maka tha`if (orang yang thawaf) berhenti untuk shalat, kemudian melanjutkannya dari mana dia berhenti, tidak harus kembali ke hajar aswad, bila kembali ke hajar aswad maka hal itu baik untuk menghindari khilaf dalam masalah ini.

8- Saat thawaf dianjurkan memperbanyak dzikir dan doa, membaca ayat-ayat al-Qur`an juga bagus, tidak ada dzikir khusus dari Rasulullah untuk setiap putaran, yang ada hanya saat mencium hajar aswad dan memulai thawaf serta antara rukun Yamani dengan hajar aswad.

9- Sunnah bacaan dua rakaat thawaf setelah al-Fatihah adalah al-Kafirun dan al-Ikhlas, selain keduanya tidak masalah. Setelah shalat disunnahkan kembali ke hajar aswad untuk menciumnya bila memungkinkan.

10- Di awal sa’i, di bukit Shafa, membaca, “Innash Shafa wal Marwata min sya’aairillah…menghadap kiblat, bertahmid dan bertakbir dan membaca,

لاإلهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكبَرُ لاإلهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لهُ المُلكُ وَلهُ الحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ لاإلهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah, Allah Mahabesar, tidak ada Tuhan yang haq selain Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan, bagiNya segala puji, yang menghidupkan dan yang mematikan, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah semata. Dia telah menunaikan janjiNya, memenangkan hambaNya dan mengalahkan sekutu-sekutu sendiri.” Kemudian mengucapkan doa sesuai dengan hajatnnya, mengangkat kedua tangan. Dzikir dan doa diulang tiga kali.

11- Thawaf dan sa’i tidak harus bersambung, boleh dipisah sekalipun dengan hari atau beberapa hari. Bila seorang wanita haid selepas thawaf, maka dia tetap bisa sa’i karena suci hadats termasuk haid bukan syarat sah sa’i.

12- Yang dilakukan di Marwah sama dengan yang dilakukan di Shafa, kecuali bacaan ayat, “Innash Shafa…” Ia tidak dibaca di Marwah. Wallahu a’lam.