Pertanyaan:

Ustadz bolehkah jika seseorang yang bukan berprofesi sebagai pedagang motor namun punya modal lebih? Kemudian jika ada orang lain yang kebetulan butuh motor meminta padanya untuk membelikan dulu. Adapun pembayarannya (yang butuh motor tesebut), dilakukan secara kredit dan harganya tidak sama dengan harga motor secara kontan…??

Fulan-solo

Jawaban:

Mengenal kehalalan satu transaksi jual beli menjadi satu keharusan sebelum melakukan transaksi tersebut. Hal ini sangat mempengaruhi makanan yang dimakan dan minuman yang diminum serta pakaian yang dibeli dari hasil usaha tersebut.

Karena itu bertanya sebelum berbuat adalah sikap yang terpuji dan bijaksana. Kecerdasan manusia dalam mencari celah usaha yang “menguntungkan” dewasa ini sangat tinggi, hingga bermunculan cara-cara dan rekayasa usaha yang terkadang membuat kita ragu atau bingung menyikapinya.

Pertanyan saudara ada dapat kami pisah dalam beberapa point:
1. Hukum pedagang spekulan, yaitu pedagang yang menjual barang yang bukan menjadi profesinya. Misalnya seorang tidak pernah menjadi pedagang motor lalu karena ada pesanan maka ia menjadi pedagang dadakan. Hal ini tidak mengapa karena tidak ada larangan melakukan hal serupa dalam syariat islam.

2. Sistem jual beli diatas memiliki kemiripan dengan jenis jual beli yang dinamakan jual beli murabahah KPP (karena permintaan pembeli). Dimana pembeli memesan kepada penjual untuk menyediakan barang tertentu dengan sifat dan ukuran tertentu. Lalu penjual mencari barang tersebut dan membelinya untuk dijual secara kredit kepada pembeli.

Nampak dari sini ada dua akad: pertama akad pemesanan dan permintaan barang dan kedua akad jual beli kredit.

3. Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh penjual tersebut, namun akan dibeli dengan dasar janji untuk membelinya. Apabila akad pertama mengikat sehingga pemesan harus membeli barang tersebut maka tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan beberapa argumen diantaranya:

1. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena penjual ketika itu menjual kepada pembeli sesuatu yang belum dimilikinya.

2. Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempo dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.

3. Jual beli jenis ini masuk dalam larangan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang berbunyi:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli.” (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149).

Al-Muwaa’adah (permintaan atau janji membeli) apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli. [1]

Ketentuan diperbolehkannya.

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid hafidzahullah menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:

1.Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.[2]

Demikianlah hukum jual beli ini menurut pendapat ulama syari’at, mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan ini.

Footnotes:

[1] Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk pada kitab al-’Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah, hal 267-284 dan Fikih Nawazil, 2/ 83-96
[2] Fikih Nawazil, 2/97 dengan sedikit perubahan.

Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

[Sumber: www.ekonomisyariat.com]