Tanya :

Sebagian Ulama mengatakan bahwa ada beberapa hadits tentang keutamaan pertengahan (tanggal 15) Sya’ban, puasa pada hari tersebut, dan menghidupkan malamnya, apakah hadits-hadits tersebut shahihah atau tidak ? jika ada hadits shahih, hendaklah diterangkan dengan keterangan yang cukup, jika tidak, maka saya berharap mendapatkan penjelasan, semoga Allah membalas kebaikan para masya’ikh.

Jawab :

Terdapat beberapa hadits shahih tentang keutamaan puasa pada hari-hari yang banyak di bulan Sya’ban, tetapi hadits-hadits itu tidak mengkhususkan satu hari dari yang lainnya, di antara hadits-hadits tersebut : hadits dalam kitab Bukhari dan Muslim bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : ” saya tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sebulan secara sempurna kecuali bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah melihatnya lebih banyak puasa dalam satu bulan dari puasa di bulan Sya’ban, beliau puasa Sya’ban seluruhnya kecuali sedikit.” Dalam hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma dia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Saya belum pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan yang lain sebagaimana kamu puasa di bulan Sya’ban”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ” dia adalah bulan yang banyak dilalaikan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan, dia adalah bulan yang pada saat itu segala amal diangkat kepada Rabb alam semesta, maka saya ingin (menyukai) amalku diangkat sedang saya berpuasa” HR.ImamAhmaddanNasa’i. Dan tidak shahih hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha untuk berpuasa pada suatu hari tertentu dari bulan Sya’ban atau mengkhususkan beberapa hari dari bulan tersebut dengan ibadah puasa, tetapi ada beberapa hadits yang lemah tentang menghidupkan malam nisfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban) dan puasa pada siang harinya. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab Sunannya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “jika datang malam nisfu Sya’ban, maka bangunlah (hidupkanlah) malam itu, dan puasalah di siang harinya karena Allah Ta’ala turun ke langit terendah ketika matahri terbenam, lalu berkata : ” adakah yang memohon ampunan, maka Aku ampuni, adakah yang meminta rezeki, maka Aku memberinya, adakah yang terkena cobaan maka Aku selamatkan dia, adakah yang seperti ini. sampai fajar terbit.” Ibnu Hibban telah menshahihkan (membenarkan) sebagian hadits tentang keutamaan menghidupkan malam nisfu Sya’ban, di antaranya hadits yang diriwayatkannya dalam shahihnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dia berkata : ” saya kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka saya keluar (mencarinya), tiba-tiba dia berada di pemakaman Baqi’ mengangkat kepalanya, lalu berkata : “Apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya akan mendzalimimu?”. Akupun menjawab : wahai Rasulullah ! saya mengira bahwa engkau mendatangi istrimu (yang lain). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : Sesungguhnya Allah Ta’ala turun di malam pertengahan bulan Sya’ban ke langit yang terendah, lalu memberikan ampunan (kepada hambanya yang jumlahnya) lebih banyak dari jumlah bulu kambing”. Imam Bukhari dan ulama hadits lainnya telah melemahkan hadits ini, dan kebanyakan Ulama berpendapat bahwa hadits yang berkenaan dengan keutamaan malam nisfu Sya’ban dan puasa di siang harinya adalah lemah. Dan sikap menggampangkan dalam menshahihkan hadits (yang dilakukan oleh Ibnu Hiban) adalah hal yang sudah masyhur di kalangan ulama hadits. Secara global, menurut ulama hadits ahli tahqiq (peneliti hadits) sesungguhnya tidak ada hadits yang shahih tentang keutamaan menghidupkan malam nisfu Sya’ban dan puasa di siang harinya, oleh karenanya mereka mengingkari (perbuatan) menghidupkan malam nisfu Sya’ban dan (mengingkari perbuatan)mengkhususkan siang harinya dengan puasa. Dan mereka berkata : sungguh itu adalah bid’ah (ibadah yang diada-adakan tanpa perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatan itu ditolak), Dan sekelompok ahli ibadah mengagungkan malam tersebut dengan berpegang kepada hadit-hadits lemah tersebut dan hal itu menjadi masyhur dan diikuti oleh manusia karena prasangka baik dengan mereka, bahkan sebagian mereka berkata karena berlebih-lebihan dalam mengagungkan malam nisfu Sya’ban: “Malam nisfu Sya’ban adalah malam yang penuh berkah, malam diturunkannya Al-Qur’an pada mala itulah dijelaskan segala perkara yang bijaksana, dan mereka menjadikannya sebagai penafsiran firman Allah : sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. 44:3) Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (QS. 44:4) Ini (penafsiran di atas) adalah kesalahan yang nyata, dan termasuk perbuatan merubah (ma’na) al-Qur’an dari tempat yang semestinya, karena sesungguhnya maksud dari malam penuh berkah dalam ayat tersebut adalah lailatul Qadr (malam kemuliaan) berdasarkan firman Allah : Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. (QS. 97:1) Dan lailatul Qadr berada di bulan Ramadhan berdasarkan hadits-hadits tentang itu, dan firman Allah : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. 2:185) FATWA LAJNAH DA’IMAH ( Pimpinan Syaikh Bin Baz Rahimahullah )