Apakah antara maiyah dengan uluw terdapat pertentangan?

Tidak, dengan tiga alasan:
Pertama: Allah menggabungkan keduanya dalam apa yang Dia menyifati diriNya dengannya, kalau keduanya bertentangan niscaya tidak sah Allah menyifati diriNya dengan keduanya.

Kedua: Antara uluw dengan maiyah tidak terdapat pertentangan sama sekali karena mungkin saja sesuatu itu tinggi dan ia bersamamu. Orang-orang Arab berkata, “Rembulan itu bersama kami sementara kami berjalan. Matahari bersama kami sementara kami berjalan. Bintang itu bersama kami sementara kami berjalan.” Padahal bulan, matahari dan bintang semuanya di langit. Jika uluw dan maiyah mungkin berkumpul pada makhluk maka berkumpulnya keduanya pada Khalik lebih pantas.

Bayangkan seorang laki-laki di atas gunung yang tinggi. Dia berkata kepada tentaranya, “Berangkatlah ke tempat perang yang jauh, aku bersama kalian.” Dia sendiri meneropong melihat mereka dari jauh. Dia bersama mereka karena dia sekarang melihat mereka seolah-olah mereka ada di depannya, padahal dia jauh dari mereka. Jadi perkara ini mungkin pada makhluk, bagaimana ia tidak mungkin pada Khalik?

Ketiga: Seandainya ia tidak mungkin pada diri makhluk belum tentu ia tidak mungkin pada diri Khalik karena Allah lebih agung dan lebih mulia, sifat-sifat Khalik tidak bisa disamakan dengan sifat-sifat makhluk karena perbedaan yang jelas antara khalik dengan makhluk.

Rasulullah bersabda dalam perjalannya, “Ya Allah, Engkau adalah kawan dalam perjalanan dan pengganti untuk keluarga.” (Diriwayatkan oleh Muslim). Nabi menggabungkan antara Dia sebagai kawan di perjalanan dan pengganti bagi keluarga padahal hal tersebut bagi makhluk adalah tidak tidak mungkin. Tidak mungkin seseorang menjadi kawan perjalananmu sekaligus penggantimu pada keluargamu.

Jadi mungkin sekali Allah benar-benar bersama kita sementara Dia benar-benar di atas ArasyNya di langit dan tidak seorang pun memahaminya bertabrakan kecuali orang yang hendak menyamakan Allah dengan makhlukNya dan menjadikan ma’iyah Allah sama dengan ma’iyah makhluk.

Kami telah jelaskan bahwa menggabungkan dalil-dalil uluw dengan dalil-dalil maiyah adalah mungkin. Jika memang telah jelas, jika tidak maka wajib atas hamba untuk berkata: Aku beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku membenarkan apa yang Allah firmankan tentang diriNya dan RasulNya. Jangan berkata: Mana mungkin, untuk mengingkarinya.

Apabila dia berkata mana mungkin? Kami katakan pertanyaanmu ini adalah bid’ah, sahabat Nabi saw tidak bertanya tentangnya dan mereka lebih baik darimu, orang yang mereka tanya lebih mengetahui, lebih benar, lebih fasih dan lebih tulus daripada orang yang kamu tanya maka percayalah dan jangan bertanya bagaimana mengapa, akan tetapi terimalah dengan lapang dada.

Ahli Hulul berkata: Allah bersama kita dengan dzatNya di tempat kita berada. Kalau kamu di masjid maka Allah bersamamu di masjid, orang-orang yang di pasar, Allah bersama mereka di pasar, orang-orang yang di kamar mandi Allah bersama mereka di kamar mandi. Mereka tidak mensucikan Allah dari kotoran dan bau busuk. Mereka tidak mensucikan Allah dari tempat-tempat jorok dan tidak layak.

Syubhat orang-orang yang berkata bahwa Allah bersama kita di tempat kita berada dan bantahannya

Syubhat mereka adalah bahwa itulah zhahir lafazh, “Dan Dia bersamamu.” Karena semua kata ganti kembali kepada Allah. Apabila Dia bersama kita maka yang kami pahami dari ma’iyah hanyalah percampuran dan kebersamaan di tempat.

Bantahan terhadap syubhat ini dari beberapa segi:

Pertama: Zhahirnya tidak seperti yang kalian klaim karena kalau zhahirnya adalah seperti yang kalian klaim niscaya terjadi benturan pada ayat. Dia bersemayam di atas Arasy sekaligus bersama semua manusia di manapun. Pertentangan pada kalam Allah adalah mustahil

Kedua: Ucapan kalian, “Yang dipahami dari maiyah hanyalah percampuran dan kebersamaan di tempat.” Ucapan ini salah karena maiyah dalam bahasa Arab adalah kata yang menunjukkan sekedar kebersamaan, kandungan lebih luas dari apa yang kalian klaim, ia bisa berkonsekuensi kebersamaan di tempat dan bisa pula berkonsekuensi sekedar kebersamaan meskipun dengan perbedaan tempat. Jadi di sini ada tiga:

1 – Contoh maiyah yang berkonsekuensi percampuran adalah kamu berkata, “Berilah aku minum susu bersama air.” Yakni susu campur air.

2 – Contoh maiyah yang berkonsekuensi kebersamaan di tempat adalah kamu berkata, “Aku melihat fulan besama fulan berjalan bersama dan duduk bersama.”

3 – Contoh maiyah yang berkonsekuensi sekedar kebersamaan tetapi dengan tempat yang berbeda adalah kamu berkata, “Fulan bersama tentaranya.” Padahal dia berada di ruang komando hanya saja dia yang mengendalikan mereka. Yang ketiga ini tidak terjadi percampuran dan kebersamaan di tempat.

Dikatakan pula, “Istri fulan bersamanya.” Padahal istrinya di timur sedangkan dia sendiri di barat.

Apa yang ditunjukkan oleh maiyah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam dan sebagaimana ia nampak dari bukti bahasa, adalah sekedar kebersamaan kemudian ia menurut apa yang ia sandarkan kepadanya.

Kalau dikatakan, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (An-Nahl: 128). Maka hal ini tidak berarti adanya percampuran dan kebersamaan di tempat, ia adalah maiyah yang layak bagi Allah konsekuensinya adalah pertolongan dan dukungan.

Ketiga: Kalian mensifati Allah dengan sifat tersebut. Ini termasuk kebatilan yang paling batil dan pelecehan besar kepada Allah padahal Allah menyebutkan diriNya dengan pujian, bahwa di samping Dia Maha Tinggi di atas Arasy, Dia juga bersama makhlukNya meskipun mereka lebih rendah darinya. Apabila kamu menjadikan Allah di bumi maka ini adalah pelecehan.

Apabila kamu menjadikan Allah bersamamu di setiap tempat lalu kamu masuk WC, ini adalah pelecehan besar. Kamu tidak akan bisa mengatakannya, tidak pula kepada raja dunia, “Kamu bersamaku di WC.” Kalau begitu mengapa kamu mengatakannya kepada Allah? Bukankah ini adalah pelecehan besar? Naudzubillah.

Keempat: Pendapat kalian ini menyeret kepada satu dari dua perkara yang tidak ada tiganya dan keduanya tidak mungkin. Bisa jadi Allah terbagi dan masing-masing bagian berada di tempat tertentu atau Allah berjumlah yakni masing-masing di suatu arah sesuai dengan tempat.

Kelima: Pendapat kalian ini menyeret kepada kenyataan bahwa Allah singgah pada makhluk, setiap tempat di mana di situ ada makhluk maka Allah ada pula di situ. Ini jelas akan menjadi tangga bagi pendapat wihdatul wujud.
Kamu bisa lihat bahwa pendapat ini adalah batil dan ia menyeret kepada kekufuran. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa siapa yang berkata Allah bersama kami di bumi maka di kafir, dia dituntut untuk bertaubat, dijelaskan kebenaran kepadanya, jika dia kembali jika tidak maka dia wajib dibunuh.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.