Kedudukan Bulan Muharram

Sesungguhnya bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan penuh berkah, ia adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah dan salah satu bulan dari Asyhurul Hurum (bulan-bulan mulia). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{إنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ} [التوبة:36].

”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu,dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 36)

Dan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
«.. السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ» [رواه البخاري 2958]

“Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari 2958)

Dinamakan bulan haram karena ia adalah bulan yang mulia dan sangat dimuliakan.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ}

” Maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu,…” (QS. At-Taubah: 36)

Maksudnya adalah janganlah menganiaya diri (melakukan dosa-dosa) pada bulan-bulan tersebut, karena kemaksiatan pada bulan-bulan itu dosa-dosanya lebih besar dan lebih buruk.

Qatadah rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah ini:”Sesungguhnya kezhaliman (kemaksiatan) pada bulan-bulan ini lebih besar dosa dan kesalahannya dibandingkan dengan kezhaliman di bulan-bulan selainnya, sekalipun kezhaliman kapanpun adalah sesuatu yang besar (dosanya). Akan tetapi Allah membesarkan urusan-Nya sesuai kehendak-Nya.”

Beliau juga berkata:”Sesungguhnya Allah memilih pilihan-pilihan di antara makhluknya; Memilih utusan-utusan di antara para Malaikat-Nya, memilih utusan-utusan juga dari kalangan manusia. Memilih dzikir-dzikir tertentu di antara ucapan-ucapan manusia, memilih masjid di antara bagian Bumi yang lainnya, memilih Ramadhan dan bulan-bulan haram, memilih hari jum’at, dan memilih malam lailatul Qadr di antara malam-malam lainnya. Maka agungkanlah apa-apa yang diagungkan oleh Allah. Maka sesungguhnya engkau mengagungkan perkara-perkara, dengan apa-apa yang dengannya Allah mengagungkan orang yang berilmu dan berakal.” (Tafsir ayat 36 dari surat At-Taubah Tafsir Ibnu Katsir)

Keutamaan Memperbanyak Berpuasa Sunnah Di Bulan Muharram

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ» [رواه مسلم 1982].

”Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram.” (HR. Muslim no. 1982)

Sabda beliau “bulan Allah” adalah bentuk penyandaran (penisbatan) kata bulan kepada lafazh Allah, dan itu adalah penyandaran dalam rangka pengagungan/pemuliaan (terhadap bulan tersebut). Al-Qari berkata:”Secara zhahir (makna yang nampak) adalah bahwa yang dimaksud adalah satu bulan Muharram penuh” (Maksudnya puasa Nabi)

Akan tetapi telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain di bulan Ramadhan. Maka hadits ini dibawa kepada makna anjuran untuk memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram, bukan berpuasa di bulan Muharram satu bulan penuh.

Dan telah valid dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, dan mungkin saja tidak diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali di akhir hayat (kehidupan) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebelum beliau memiliki kesempatan untuk melakukannya. (Syarah Shahih Muslim)

Allah Mengistimewakan Waktu Dan Tempat Yang Dia Kehendaki

Al-‘Izz bin ‘Abdussalam rahimahullah berkata:”Pengunggulan tempat-tempat tertentu (dibandingkan dengan tempat lain) atau waktu-waktu tertentu (dibandingkan yang lainnya) ada dua macam:Yang Pertama adalah bersifat duniawi, seperti Allah mengunggulkan musim semi dibandingkan musim-muslim lainnya, seperti pengunggulan sebagian Negeri dibandingkan negeri-negeri yang lainnya dengan keberadaan macam bunga-bunga, buah-buahan dan cuaca yang baik yang sesuai dengan keinginan manusia. Yang Kedua bersifat diini (agama), ia kembali kepada Allah yang bersikap dermawan (murah) terhadap hamba-hamba-Nya dengan melipatgandakan pahala di dalamnya. Seperti pengunggulan puasa Ramadhan dibandingkan puasa pada bulan-bulan lain, puasa pada hari Asyuraa’, 10 Dzulhijjah(10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah kecuali tanggal 10-ed), dan 6 hari di bulan Syawwal. Maka keutamaannya kembali kepada kebaikan Allah dan kemurahan-Nya kepada para hamba-hamba-Nya di dalamnya.” (Qawaaidul Ahkam: 1/38)

Hari Asyuraa’ Dalam Sejarah

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم يوم عاشوراء فقال: «مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى، قال: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ»

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyuraa’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:“Hari apa ini?” Mereka (orang-orang Yahudi) menjawab:“Ini adalah hari baik, hari ini hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Maka aku lebih berhak mengikuti Musa dibandingkan kalian (kaum Yahudi).” Lalu beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa (di hari itu)” (HR Al Bukhari)

Sabda beliau «هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ» (ini hari yang baik) dalam riwayat imam Muslim rahimahullah disebutkan:

«هذا يوم عظيم أنجى الله فيه موسى وقومه وغرّق فرعون وقومه»

”Ini adalah hari yang agung, pada hari itu Allah menyelamatkan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya”

Sabda beliau: «فصامه موسى» (lalu Musa ‘alaihissalam berpuasa (di hari itu)), imam Muslim rahimahullah menambahkan di dalam riwayatnya:

«شكراً لله تعالى فنحن نصومه»

”Dalam rangka bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kami juga berpuasa.”

Dalam riwayat imam Al-Bukhari rahimahullah disebutkan:

«ونحن نصومه تعظيماً له»

”Dan kami berpuasa (di hari itu) untuk memuliakannya.”

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam «وأمر بصيامه» (dan beliau memerintahkan untuk berpuasa), dalam riwayat imam Al-Bukhari rahimahullah disebutkan:

«فقال لأصحابه: أنتم أحق بموسى منهم فصوموا».

”Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para Shahabatnya:”Kalian lebih berhak terhadap Musa dibandingkan mereka, maka berpuasalah.”

Dan puasa ‘Asyuraa’ sudah dikenal semenjak dahulu, sampai-sampai di zaman Jahiliyah sebelum diutusnya Nabi juga mengenalnya. Telah valid hal tersebut dari ucapan ’Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa dia berkata:

«إن أهل الجاهلية كانوا يصومونه»

”Bahwasanya masyarakat Jahiliyyah dahulu terbiasa berpuasa di hari itu.”

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:”Mungkin orang-orang Quraisy menyandarkan puasa tersebut kepada syari’at ummat yang telah lalu, seperti Ibrahim ‘alaihissalam dan telah valid juga bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan puasa pada hari itu di Mekah sebelum hijrah ke Madinah. Lalu ketika hijrah beliau mendapati orang-orang Yahudi merayakan hari tersebut. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka tentang sebab hal itu. Lalu mereka menjawab sebagaimana dalam hadits yang lalu. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam menjadikannya sebagai hari raya sebagaimana dalam hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu:


«كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا»

”Dahulu hari ‘Asyuraa’ dijadikan hari raya oleh orang-orang Yahudi.” Dalam riwayat Muslim:

«كان يوم عاشوراء تعظمه اليهود تتخذه عيدا»

”Dahulu hari ‘Asyuraa’ diagungkan oleh orang-orang Yahudi, mereka menjadikannya hari raya.” Dan dalam riwayat lain:

«كان أهل خيبر (اليهود) يتخذونه عيدا، ويلبسون نساءهم فيه حليهم وشارتهم». ققال النبي صلى الله عليه وسلم: «فَصُومُوهُ أَنْتُمْ» [رواه البخاري].

”Dahulu orang-orang Khaibar (orang-orang Yahudi) menjadikannya hari raya, mereka mengenakan perhiasan pada wanita-wanita mereka. lalu, nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, oleh karena itu, hendaklah kalian berpuasa.”

Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib
Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

[ إن عاشوراء يوم من أيام الله فمن شاء صامه و من شاء تركه ] رواه مسلم وغيره من حديث ابن عمر رضي الله عنهما

”Sesungguhnya ‘Asyuraa’ adalah salah satu Ayyamillah (hari-hari Allah), maka barangsiapa yang mau silakan berpuasa dan barangsiapa yang mau meninggalkannya.”(HR. Muslim dan lainnya dari hadits Ibnu’Umar radhiyallahu’anhuma)

Hari ‘Asyuraa’ termasuk salah satu Ayyamillah (hari-hari Allah),dikarenakan pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hal itu sebagaimana telah valid dalam hadits Shahih Muslim dan lainnya.

Puasa ‘Asyuraa’ menghapuskan dosa satu tahun

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam:

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

”Puasa hari ‘Asyuura saya memohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR Muslim)

Namun apakah puasa ‘Asyuura menghapus dosa besar (al-Kabair) atau hanya dosa kecil saja?

Jawabnya:

Bahwasanya shalat dan puasa Ramadhan yang lebih mulia dan lebih agung dari hari ‘Asyuura, namun demikian Nabi bersabda:

[ الصلوات الخمس و الجمعة إلى الجمعة و رمضان إلى رمضان مكفرات لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر ] رواه مسلم والترمذي

“(antara) Sholat lima waktu (yang satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Ramadhan dengan Ramadhan, sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “ (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:Dan penghapusan dosa yang dilakukan karena thaharah (bersuci), shalat, puasa Ramadhan, puasa ‘Arafah dan puasa ‘Asyuraa’ adalah untuk dosa-dosa kecil saja, dan demikian pula haji, karena shalat dan Ramadhan lebih mulia daripadanya.”( Fatawaa al-Kubra jilid 3 halaman 428 dan Al-Ikhtiyaaraat halaman 65)

Imam Nawawi rahimahullah berkata:”Puasa hari ‘Arafah menghapus semua dosa-dosa kecil, dan maksudnya diampuni semua dosa-dosanya kecuali dosa-dosa besar. Adapun dosa besar maka dia membutuhkan taubat secara khusus.”

Maka kami nasehatkan kepada saudara-saudara sekalian untuk bersegera bertaubat dan menyesali dosa-dosanya sebelum nyawa sampai ditenggorokan, karena orang yang bertaubat dari dosa-dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa.

Disunnahkan puasa tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram

Dalilnya adalah Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma:

[ لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع ]رواه مسلم م2ص798 برقم1134 كتاب الصيام ورواه غيره

”Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.”(HR. Imam Muslim, jilid 2 halaman 798 no 1134 kitab Ash-Shiyam dan diriwayatkan pula oleh selainnya)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (4/245) ketika mengomentari hadits di atas:Apa yang beliau inginkan berupa puasa tanggal 9 (muharram) kemungkinan maknanya adalah tidak mencukupkan hanya puasa hari itu saja, akan tetapi beliau gabungkan dengan puasa tanggal 10, bisa jadi sebagai bentuk kehati-hatian, atau bisa jadi sebagai bentuk penyelisihan terhadap Yahudi dan ini pendapat yang lebih kuat. Dan ini yang diisyaratkan oleh sebagian riwayat Muslim yang lain.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana dalam Fatawaa al-Kubra (2/259) berkata:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang bertasyabbuh (menyerupai-ed) Ahli Kitab dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:’ Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.’

Dalam riwayat yang lain Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata:

حين صام رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء، وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول اللَّه إنه يوم تعظّمه اليهود والنصارى؟ فقال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم : فإذا كان العام القابل – إن شاء اللَّه – صمنا اليوم التاسع، قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم .

”Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa Asyuraa’, dan memerintahkan Sahabat untuk berpuasa, mereka berkata:’Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:’Apabila kita berjumpa dengan tahun depan -Insya Allah- kita akan berpuasa di tanggal sembilan.’ Ibnu ‘Abbas berkata:’Maka tidak datang tahun depan hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.’”(HR.Muslim 1134, Abu Dawud 2/327 no hadits 2445, Ahmad 1/236 dll)

Dan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“صوموا يوم عاشوراء، وخالفوا فيه اليهود، صوموا قبله يوماً، أو بعده يوماً” .

”Berpuasalah hari ‘Asyuraa’ (10 muharram), dan selisihilah orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095, al-Baihaqi 4/287. Ibnu ‘Ady rahimahumullah dalam al-Kamil 3/956 dari jalur riwayat Hasyim bin Basyir, dan masih ada beberapa jalur riwayat yang lain.

Hadits ini dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah secara marfu’ dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) dalam Talkhisul Habir, dan dibawakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah secara marfu’ juga dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) di kitab Zaadul Ma’ad. Akan tetapi asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar :”Riwayat Ahmad ini dha’if (lemah) dan munkar dari jalur Dawud bin ‘Ali dari bapaknya dari kakeknya, dan Ibnu Abi Laila meriwayatkannya dari Imam Ahmad.”Dan Syaikh al-Albani rahimahullah menguatkan pendapat tentang dha’ifnya riwayat tersebut, dan beliau menyebutkannya dalam kitab Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir.

Akan tetapi telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma secara mauquf

“صوموا التاسع والعاشر، خالفوا اليهود” وإسناده صحيح، وقد صححه ابن رجب في “اللطائف” ص(108.

”Puasalah tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), selisihilah orang Yahudi.” Dan sanadnya shahih. Ibnu Rajab rahimahullah dalam al-Lathaif halaman 108 menshohihkannya.

Sebagian Imam Mengamalkan Hadits Ini

Mereka mensunahkan puasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), lebih-lebih Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa tanggal sepuluh dan meniatkan puasa tanggal sembilan. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni (4/441):”Apabila telah valid (tetap) riwayat ini, maka disunnahkan puasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram) karena hal itu –maksudnya tidak adanya tasyabuh dengan Yahudi- Imam Ahmad menyatakan hal itu dan itu adalah perkataan Ishaq.”sampai di sini perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah

Imam Ahmad berkata dalam riwayat al-Atsram:”Dalam masalah ‘Asyuraa’ aku berpendapat: Berpuasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.”

Tingkatan puasa ‘Asyuraa’

Berdasarkan hal ini, maka Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad (2/72) dan Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul bari (4/246) menyebutkan bahwa puasa ‘Asyuraa’memiliki 3 tingkatan:

Pertama: Yang paling sempurna adalah berpuasa sebelumya sehari dan sehari setelahnya (jadi tiga hari-ed), kedua berpuasa tanggal 9 dan 10 dan yang terakhir berpuasa tanggal 10 saja.

Tidak mengapa hanya berpuasa pada tanggal 10 saja.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:”Puasa hari ‘Asyuraa’ adalah penghapus dosa setahun, dan tidak dimakruhkan berpuasa hanya pada hari itu (10 muharram) saja.” (Al-Ikhtiyaaraat halaman 10)

Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah berkata:”Dan tidak mengapa menyendirikan hari ‘Asyuraa’ (10 Muharram) dengan berpuasa (maksudnya tidak disertai dengan tanggal 9 atau 11)” (Tuhfatul Muhtaj)

Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ yang dipimpin al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:”Boleh berpuasa hari ‘Asyura satu hari saja, akan tetapi yang lebih utama adalah ditambah puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya. Dan ini adalah sunnah yang telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabda beliau:

[ لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع ]رواه مسلم

”Seandainya aku masih hidup di tahun mendatang, sungguh aku akan berpuasa tanggal sembilan.”(HR. Imam Muslim)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhumaberkata:”Maksudnya disamping puasa tanggal 10 muharram.” Dan Allahlah yang Maha memberi taufiq. (Fatawaa Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ jilid 10 halaman 401)

Berpuasa ‘Asyuraa’ Sekalipun Bertepatan Dengan Hari Sabtu Atau Jum’at

Ada larangan mengkhusukan hari jum’at dengan puasa, dan larangan berpuasa pada hari sabtu, kecuali puasa wajib. Namun larangan itu hilang jika seseorang berpuasa di hari itu dan ditambahkan dengan puasa satu hari (sebelum atau setelahnya), atau jika hari itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang disyari’atkan seperti sehari puasa dan sehari tidak (puasa Dawud), atau puasa nadzar, atau puasa Qadha, atau puasa yang diminta (dianjurkan) oleh pembuat Syari’ (Allah) seperti puasa ‘Arafah dan ‘Asyuraa’. (Tuhfatul Muhtaj)

(Sumber: Disarikan dari فضل شهر الله المحرم وصيام عاشوراء oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid di http://ar.islamway.com/article/176 dan عاشوراء .. يوم عظيـم من أيام الله oleh Hatim bin ‘Abdurrahman al-Faraidhi di http://www.saaid.net/mktarat/mohram/13.htm. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)