Bagaimana Mengaplikasikan Pemuliaan Al-Qur’an

“Sesungguhnya umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang dapat memperbaiki umat pendahulunya,” demikian kata Imam Malik . Manhaj para sahabat dalam hal ini merupakan satu-satunya manhaj yang mampu mewu-judkan perbaikan yang didambakan. karena mereka telah berguru kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan sesudahnya berguru kepada para sahabatnya.

Maka harus ada usaha da’wah yang gencar untuk memperbaharui manhaj, agar nash-nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits serta perkataan sahabat tersebut di atas menjadi kenyataan yang jelas. Saya ingin menunjukkan beberapa hal yang dapat membantu dalam mengimplementasikan pemu-liaan Al-Qur’an sebagai berikut:

Langkah awal adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh dari semua dosa-dosa dan maksiat, terutama penyakit hati hingga hati menjadi siap menerima firman Allah.

Menurut hukum akal yang diceritakan Ibnul Qayyim berkata: “Sebuah tempat bisa menerima apa saja dengan syarat dikosongkan dari lawannya.”

Sebagaimana hati yang tenang karena ingat kepada Allah dan membaca Al-Qur’an menjauh dari kebalikannya yaitu senda gurau dan nyanyian. Demikian pula hati yang menye-nangi senda gurau dan nyanyian, ia tidak akan bergairah untuk berdzikir mengingat Allah, membaca Al-Qur’an atau hal-hal yang bermanfaat.

Ibnu Jamaah menjadikan taubat sebagai adab yang pertama bagi penuntut ilmu. Beliau berkata mengenai adab seorang penuntut ilmu: “Hendaklah ia mensucikan hati-nya dari perasaan seperti; khianat, kotor, dengki, dendam, hasad, aqidah yang jelek dan tingkah laku negatif. Jika semua hal itu bisa dihilangkan maka ia bisa menerima ilmu dengan baik, menghafalnya, menelusuri makna-maknanya dari sesuatu yang terasa hambar sebelumnya. Sesungguhnya ilmu itu sebagaimana dikatakan sebagian ahlinya adalah shalatnya jiwa, ibadahnya hati dan pendekatan batin, seba-gaimana shalat yang dilakukan anggota badan yang tampak tidak sah kecuali dengan sucinya anggota badan dari najis dan kotoran maka ilmu yang merupakan ibadahnya hati juga tidak akan diterima dengan baik kecali dengan penyucian dari sifat-sifat jelek dan tingkah laku rendahan.

Hati yang baik akan tampak keberkahannya bagi ilmu untuk tumbuh dan berkembang, sebagaimana bumi yang su-bur jika ditanami akan menumbuhkan tanaman dan berkem-bang. Dalam hadits dikatakan bahwa sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal darah, jika ia baik akan baik seluruh jasadnya dan jika jelek akan jelek pula seluruh jasad, ke-tahuilah segumpal darah itu adalah hati.

Sahl Ibnu Abdullah At-Tusturi berkata: “Diharamkan cahaya masuk ke dalam hati jika di dalamnya ada sesuatu yang dibenci Allah Subhannahu wa Ta’ala .”

Imam Asy-Syafi’i berkata:
“Aku mengadu pada Imam Waki’ jeleknya hafalanku
Maka beliau menunjukiku agar meninggalkan maksiat
Dan beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada
Orang yang bermaksiat.”

Jika hal itu merupakan syarat penuntut ilmu secara umum maka lebih ditekankan lagi bagi penuntut ilmu Al-Qur’an (agama).

Pembaca/pendengar Al-Qur’an harus merasa bahwa dirinya merupakan orang yang diajak bicara (mukhatab).

Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata: “Jika engkau mendengarkan ayat wahai orang-orang yang beriman, maka dengarkanlah dengan seksama di situ ada kebaikan yang diperintahkan untuk dijalankan atau kejelekan yang harus dihindari.”

Al-Hasan Ibnu Ali berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian melihat Al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka. Maka mereka merenungkannya diwaktu malam dan membacanya di siang hari.”

Al-Ajuri berkata: “Seorang mukmin yang berakal ji-ka membaca Al-Qur’an ia menelitinya seakan-akan ia ber-cermin, ia melihat kebaikan dan kejelekan yang dibuatnya serta berhati-hati terhadap hal-hal yang diperintahkan Tu-hannya, dan merasa takut terhadap yang diancamkannya, ia tertarik pada anjuran Tuhannya dengan mengharap pahala-nya. Barangsiapa memiliki sifat ini atau hampir mendekati-nya berarti ia membaca Al-Qur’an dengan sebenarnya, men-jaga hukum-hukumnya dan nantinya di hari Kiamat Al-Qur’an akan menjadi saksi baginya, pemberi syafaat, sahabat dan pelindungnya. Dan barangsiapa menghiasi dirinya de-ngan sifat-sifat di atas maka ia telah memberi manfaat bagi dirinya, keluarganya dan kembali kepada kedua orang tua-nya dan anaknya dengan segala kebaikan dunia dan akhi-rat.”

Ibnul Qayyim berkata: “Jika kamu ingin mengambil manfaat dari Al-Qur’an maka kumpulkan hatimu ketika membacanya atau mendengarkannya, arahkan pendengaran-mu dan hadirkan pikiranmu sebagaimana hadirnya orang yang diajak bicara, karena Al-Qur’an itu firman Allah me-lalui lidah RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam .”

Ikut merasakan keadaan Rasulullah ketika Al-Qur’an diturunkan pada beliau Shalallaahu alaihi wasalam .

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Melihat su-sunan ayat dengan mengetahui keadaan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan sejarah beliau bersama sahabat-sahabat dan musuh-musuh ketika turunnya, adalah bagian terpenting untuk mengetahui dan memahami maksud dari Al-Qur’an.”

Sayyid Qutb berkata: “Sesungguhnya ayat-ayat Qur’aniyah tidak dapat dicapai dengan sesungguhnya, jika hanya mendalami arti dan bahasanya saja, tetapi kita akan memahami pertama kali dengan mengetahui kehidupan sua-sana sejarah yang dinamik dan dalam kenyataan yang aktif serta bermuamalah dengan kenyataan hidup kini walaupun amat jauh dan bekasnya lebih mengakar dalam kenyataan sejarah yang datang kemudian. Tidak tersingkap karena jauhnya rentang waktu ini kecuali dengan cahaya kenyataan sejarah tersebut, kemudian yang tetap darinya adalah inspi-rasi dan para pelakunya yang secara terus-menerus. Akan tetapi bagi orang-orang yang berjuang untuk agama ini dan mempraktekkan seperti prakteknya orang-orang yang per-tama kali diturunkan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur’an, mereka akan menemui keadaan dan suasana seperti mereka menemuinya.”

Ketika membaca atau mendengarkan Al-Qur’an menghadirkan hati untuk merenungkan dan memahami firman Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Sebagaimana firmanNya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaaf: 37)

Ibnu Qutaibah berkata: “Mendengarkan Al-Qur’an yaitu dengan keadaan hati menyaksikan dan memahami, bukannya dengan lalai dan lupa.”

Memohon pertolongan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam mewujudkan hal itu karena pertolongan Allah adalah dasar perwujudan segala kebaikan dan keberun-tungannya.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka kamu tak akan mendapatkan se-orang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepa-danya.” (Al-Kahfi: 17)

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Fathir: 2)

Sebagaimana dikatakan: “Jika tidak ada pertolongan dari Allah bagi seseorang maka pertama kali yang menjerumus-kannya adalah kesungguhannya.”

Maka tidak ada jalan lain bagi yang ingin mewujudkan pemuliaan Al-Qur’an kecuali memohon dengan merendah-kan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala agar menolong kita kepada tujuan tersebut. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah menujuki hal itu dalam wasiat beliau kepada Muadz Radhiallaahu anhu. Di dalam Sunan Abi Daud dari Muadz bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam memegang tangannya seraya bersabda:

(( يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ))

“Wahai Muadz, demi Allah aku menyintaimu aku wasiatkan kepadamu jangan tinggalkan setiap selesai shalat doa ini: ‘Ya Allah lindungilah aku agar selalu mengi-ngatMu dan bersyukur kepadaMu serta memperbaiki ibadah kepadaMu’.”

Tidak diragukan bahwa memuliakan Al-Qur’an termasuk ke dalam wasiat ini sebab Al-Qur’an merupakan dzikir dan memuliakan Al-Qur’an juga merupakan ibadah.