Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari sekelompok sahabat di antaranya Jabir dan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَمُّوْا بِاسْمِيْ وَلاَ تُكَنُّوْا بِكُنْيَتِيْ.

“Berilah nama dengan namaku, namun janganlah memberi kuniyah dengan kuniyahku.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Qauluhu Shallallahu ‘alaihi wasallam Sammu bi Ismi, 10/571, no. 6187-6189, dan Muslim, Kitab al-Adab, Bab an-Nahyu an at-Takanni bi Abi al-Qasim, 3/1682, no. 2133.

Saya berkata, Para ulama berbeda pendapat tentang pemakaian kuniyah dengan Abu al-Qasim menjadi tiga madzhab:

Asy-Syafi’i rahimahullah bersama ulama yang menyetujuinya berpendapat bahwa seseorang tidak boleh berkuniyah dengan kuniyah Abu al-Qasim, baik namanya Muhammad atau selainnya. Dan di antara yang meriwayatkan ini dari asy-Syafi’i adalah para imam huffadz, tsiqah, atsbat, fuqaha, muhadditsun seperti Abu Bakar al-Baihaqi, Abu Muhammad al-Baghawi dalam kitabnya at-Tahdzib dalam awal kitab nikah, dan Abu al-Qasim bin Asakir dalam Tarikh ad-Dimasyq dari kalangan sahabat kami.

Madzhab yang kedua adalah madzhab imam Malik yang berpendapat bahwa seseorang boleh berkuniyah dengan Abu al-Qasim bagi orang yang bernama “Muhammad” dan selainnya. Dan menjadikan larangan tersebut khusus pada masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan madzhab yang ketiga berpendapat bahwa seseorang tidak boleh berkuniyah dengan Abu al-Qasim bagi yang bernama “Muhammad”, namun boleh bagi selainnya.

Imam Abu al-Qasim ar-Rafi’i dari kalangan para sahabat kami berpendapat, “Sepertinya pendapat ketiga ini yang shahih, karena manusia masih tetap berkuniyah dengannya di seluruh masa, tanpa bisa diingkari.

Inilah yang dikatakan oleh pemilik madzhab ini, yang di dalamnya terdapat penyelisihan terhadap zahir hadits. Adapun aplikasi manusia dalam mengerjakannya -padahal orang yang dijadikan kuniyah (al-mutakannin bihi) dan orang yang berkuniyah adalah kalangan para imam A’lam, Ahlul Hilli Wal Aqdi, dan orang-orang yang dijadikan panutan dalam masalah agama yang vital-, maka di dalamnya terkandung penguatan terhadap madzhab imam Malik dalam memperbolehkan berkuniyah dengan Abu al-Qasim secara mutlak. Dan mereka telah memahami dari larangan tersebut adalah dikhususkan pada masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang masyhur bahwa sebab adanya pelarangan pemberian kuniyah dan panggilan Abu al-Qasim oleh orang Yahudi adalah untuk menyakiti Nabi. Dan pengertian hadits seperti ini telah hilang. Wallahu a’lam.

Saya berkata, Pendhaifan an-Nawawi terhadap madzhab yang ketiga karena penyelisihannya terhadap zahir hadits adalah benar, karena hadits ini mempunyai kisah, dan ringkasannya bahwa seorang laki-laki dari golongan Anshar menamakan anaknya dengan nama al-Qasim, maka kaum Anshar merasa enggan untuk memberi kuniyah kepadanya dengan Abu al-Qasim, karena Abu al-Qasim merupakan kuniyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka dia mengadukan mereka kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, “Berilah nama dengan namaku dan janganlah berkuniyah dengan kuniyahku.” Dan diketahui bahwa orang ini namanya bukan Muhammad, jadi larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan mengumpulkan antara namanya dan kuniyahnya, akan tetapi larangan untuk berkuniyah dengan kuniyahnya secara khusus.

Adapun madzhab yang kedua, maka dia shahih secara sempurna apabila telah tetap bahwa larangan pemberian nama dengan Abu al-Qasim memiliki satu illat saja, yaitu menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi tidak ada jalan untuk ini, bahkan zahirnya menunjukkan adanya illat yang lain. Telah datang dalam sebagian lafazh hadits Jabir, “Sesungguhnya saya adalah al-Qasim, saya membagikan sesuatu di antara kalian”, seakan-akan beliau mengkhususkan dirinya dengan penyifatan ini tanpa selainnya, dan ini lebih mirip dengan apa yang ada dalam hadits Abu Syuraih al-Haritsi di atas pada no. 898. Oleh karena itu beliau mencukupkan larangan pada pemberian kuniyah dengan kuniyahnya, dan tidak melarang pemberian nama dengan namanya, walaupun makna menyakiti rasul juga muncul di dalamnya sebagaimana dalam kuniyah atau bahkan lebih buruk. Wallahu A’lam.

Berdasarkan hal tersebut, maka madzhab yang paling utama adalah madzhab asy-Syafi’i karena di dalamnya terdapat makna berpedoman pada zahir nash, karena lemahnya pendapat lainnya, karena jauhnya pendapatnya dari syubhat, karena bebasnya pendapatnya dari tanggungan, dan karena pengagungannya untuk penghormatan. Wallahu A’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky