Salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah kesediaan untuk tetap berhaji bersama pemimpin walaupun yang bersangkutan termasuk hamba Allah yang paling fajir.

Mengangkat seorang amir untuk urusan haji dan menaatinya merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah, sebagaimana Nabi mengutus Abu Bakar sebagai Amirul Haj pada tahun sembilan hijriyah. Inilah yang disyariatkan, pengangkatan seseorang sebagai Amirul Haj, karena kaum muslimin memerlukan imam sebagai teladan, seandainya perkaranya ditangani sendiri-sendiri maka yang terjadi adalah kesemrawutan dan keruwetan.

Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat menegakkan haji bersama pemimpin walaupun dia orang fasik bahkan seandainya pemimpin tersebut minum khamr pada saat haji, Ahlus Sunnah tidak berkata, “Ini adalah imam yang fajir. Kita tidak menerima kepemimpinannya.â€‌ Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa mentaati waliyul amri adalah wajib walaupun dia adalah orang fasik dengan catatan kefasikannya tidak mengeluarkannya kepada kekufuran yang nyata di mana kita memiliki bukti padanya dari Allah.

Dalam hal ini Ahlus Sunnah berseberangan dengan Khawarij yang berpendapat bahwa tidak ada ketaatan bagi pemimpin kalau dia melakukan dosa, karena prinsip mereka berkata bahwa dosa besar mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Ahlus Sunnah juga berseberangan dengan Rafidhah yang berkata, tidak ada imam kecuali orang yang ma’shum, bahwa umat Islam tidak memiliki imam dan tidak mengikuti imam sejak imam yang mereka klaim adalah imam yang dinanti-nantikan menghilang. Jadi umat sejak saat itu sampai seorang mati dengan cara jahiliyah maka tidak ada haji, tidak ada jihad bersama amir manapun karena imam belum hadir.

Ahlus Sunnah wal Jamaah berkata, haji tetap ditegakkan bersama para umara baik mereka itu orang-orang yang baik atau orang-orang yang fajir. Begitu pula penegakkan jihad bersama pemimpin meskipun dia orang fasik, Ahlus Sunnah wal Jamaah tetap menegakkaan jihad bersama pemimpin walaupun dia shalat tidak berjamaah akan tetapi dia shalat sendiri di markasnya.

Ahlus Sunnah wal Jamaah melihat jauh ke depan, menyelisihi perkara-perkara ini berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya dan menyeret kepada fitnah yang besar. Bukankah yang membuka pintu fitnah dan peperangan di antara kaum muslimin serta perselisihan pendapat adalah pembangkangan terhadap pemimpin?

Ahlus Sunnah wal Jamaah tetap menegakkan haji dan jihad bersama para umara walaupun mereka adalah orang-orang yang fajir.

Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang perbuatan pemimpin tersebut bukanlah kemungkaran. Mereka tetap memandangnya sebagai kemungkaran, bahkan perbuatan mungkar dari seorang pemimpin bisa lebih berat daripada orang biasa karena hal itu menyeret kepada dua hal buruk di samping dosa yang dipikulnya.

Pertama, orang-orang akan meneladaninya dan meremehkan kemungkaran. Kedua, kesulitan merubah kemungkaran pada dirinya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin.

Sekalipun dengan adanya perkara yang berkonsekuensi kepada dua akibat buruk atau lebih, mentaati waliyul amri tetap wajib meskipun yang bersangkutan adalah seorang pendosa. Ahlus Sunnah tetap bersedia menegakkan jihad dan haji bersama mereka, begitu pula shalat Jum’at, kita melaksanakannya walaupun mereka adalah orang-orang fajir.

Walaupun amir minum khamr atau menzhalimi harta rakyat, Ahlus Sunnah tetap menunaikan shalat Jum’at di belakangnya dan shalatnya sah. Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa shalat Jum’at di belakang imam pelaku bid’ah adalah sah selama bid’ahnya tidak mencapai tingkat kekufuran. Hal yang sama berlaku untuk shalat Id, Ahlus Sunnah tetap shalat bersama para pemimpin walaupun mereka adalah orang-orang fajir.

Mungkin ada yang berkata, bagaimana kita shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, shalat id dan shalat Jum’at?

Kami jawab, karena mereka adalah pemimpin-pemimpin kita, kita mendengar dan mentaati mereka karena kita mentaati perintah Allah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.â€‌ (An-Nisa’: 59) dan perintah Nabi, “Sesungguhnya kamu akan melihat egoisme dan perkara-perkara yang kamu ingkari.â€‌ Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?â€‌ Nabi bersabda, “Laksanakan hak mereka kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.â€‌ Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hak mereka adalah mentaati mereka selama tidak dalam kemaksiatan.

Dari Wail bin Hujr berkata: Salamah bin Yazid al-Ju’fi bertanya kepada Rasulullah. Dia berkata, “Ya Nabiyullah, bagaimana menurutmu apabila kita dipimpin oleh para umara yang menuntut hak mereka dan menahan hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?â€‌ Nabi menjawab, “Dengarkanlah dan taatilah karena atas mereka apa yang mereka pikul dan atasmu apa yang kamu pikul.â€‌ Diriwayatkan oleh Muslim.

Jika kita menolak menaati para pemimpin berarti kita telah membelah tongkat ketaatan yang berakibat buruk dengan munculnya perpecahan dan perselisihan.

Apabila Waliyul Amri melakukan perkara-perkara yang padanya terdapat takwil dan perbedaan di antara para ulama maka tidak halal bagi kita membangkang dan memberontak akan tetapi kita wajib menasihati mereka semampu kita terkait dengan penyimpangannya dalam perkara di mana pintu ijtihad tidak layak dibuka. Adapun dalam perkara di mana ijtihad memungkinkan maka kita berdialog dengan mereka dengan tetap menghargai dan menghormati untuk menjelaskan kebenaran bukan untuk menyalahkan mereka dan meraih kemenangan diri. Adapun membangkang dan melawan mereka maka ia bukan termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.