Kami meriwayatkan dalam Kitab Ibn as-Sunni, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

مَا مِنْ قَوْمٍ جَلَسُوْا مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ، إِلاَّ كَانَتْ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ، وَمَا سَلَكَ رَجُلٌ طَرِيْقًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ، إِلاَّ كَانَتْ عَلَيْهِ تِرَةٌ.

“Tidaklah suatu kaum duduk dalam suatu majelis sedang mereka tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya melainkan mereka akan mendapatkan penyesalan (dari Allah), dan tidaklah seorang laki-laki meniti jalan sedang dia tidak berdzikir kepada Allah, melainkan dia akan mendapatkan penyesalan (dari Allah).”

Shahih: Dan ini adalah salah satu lafazh hadits yang telah dikemukakan takhrijnya pada no. 306.

Kami meriwayatkan dalam Kitab Ibn as-Sunni dan Kitab Dala’il an-Nubuw-wah karya al-Baihaqi, dari Abu Umamah al-Bahili radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

أَتَى رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم جِبْرِيْلُ وَهُوَ بِتَبُوْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، اِشْهَدْ جَنَازَةَ مُعَاوِيَةَ بْنِ مُعَاوِيَةَ اْلمُزَنِيِّ. فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فِي سَبْعِيْنَ أَلْفًا مِنَ اْلمَلاَئِكَةِ، فَوَضَعَ جَنَاحَهُ اْلأَيْمَنَ عَلَى اْلجِبَالِ فَتَوَاضَعَتْ، وَوَضَعَ جَنَاحَهُ اْلأَيْسَرَ عَلَى اْلأَرَضِيْنَ فَتَوَاضَعَتْ، حَتَّى نَظَرَ إِلَى مَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم وَجِبْرِيْلُ وَاْلمَلاَئِكَةُ. فَلَمَّا فَرَغَ، قَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، بِمَ بَلَغَ مُعَاوِيَةُ هذِهِ اْلمَنْزِلَةَ؟ قَالَ بِقِرَاءَ تِه قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ قَائِمًا وَرَاكِبًا وَمَاشِيًا.

“Jibril (‘alaihis salam) mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. sedangkan beliau berada di Tabuk, dia berkata, ‘Wahai Muhammad! Saksikanlah jenazah Mu’awiyah bin Mu’awiyah al-Muzani, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar, dan Jibril (‘alaihis salam) turun bersama tujuh puluh ribu malaikat, lalu dia meletakkan sayap kanannya di atas gunung sehingga dia merendah, dan meletakkan sayap kirinya di atas bumi sehingga dia merendah, sampai dia melihat Makkah dan Madinah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Jibril dan malaikat menshalatinya. Ketika selesai, Rasulullah bertanya, ‘Wahai Jibril, dengan amalan apa Mu’awiyah sampai pada derajat ini ?’ Jibril menjawab, ‘Dengan amalan bacaannya ‘Qul Huwallahu Ahad (Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa)’ dalam keadaan berdiri, berkendaraan, dan berjalan’.”

Maudhu’: Dan telah muncul dari berbagai jalur sanad dari sekelompok sahabat dan tabi’in: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la no. 4267; al-Uqaili 3/342; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 2554 dan dalam ad-Dala`il 5/245; Ibnu Abd al-Barr dalam al-Isti’ab 3/393; Ibnu al-Atsir dalam Usd al-Ghabah 5/214: dari jalur Yazid bin Harun, dari al-Ala bin Muhammad ats-Tsaqafi. Saya mendengar Anas berkata dengan hadits tersebut.

Al-Haitsami 9/381 berkata, “Di dalamnya terdapat al-Ala bin Zaidal Abu Muhammad ats-Tsaqafi, dan dia matruk. Saya berkata, “Dan jamaah menuduhnya sebagai pemalsu hadits.” Maka sanadnya saqith. Dan Ibnu Hibban berkata, “maudhu’ ” Dan adz-Dzahabi menyetujuinya.

Hadits ini telah datang dari sanad lain dari Anas. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la no. 4268; ath-Thabrani 19/428, no. 1040; al-Baihaqi dalam ad-Dala`il 5/246; Ibnu Abdu al-Barr dalam al-Isti’ab 3/392; Ibnu al-Atsir 5/214 secara mu’allaq: dari jalur Utsman bin al-Haitsam, dari Mahbub bin Hilal, dari Atha` bin Abi Maimunah, dari Anas dengan hadits tersebut. Al-Haitsami 3/41 berkata, “Di dalam isnad Abu Ya’la, terdapat Muhammad bin Ibrahim bin al-Ala dia dhaif sekali, dan dalam isnad ath-Thabrani, terdapat Mahbub bin Hilal, adz-Dzahabi berkata, ‘Dia tidak dikenal, dan haditsnya munkar. “Saya berkata, “Utsman bin al-Haitsam, walaupun dia seorang yang tsiqah, maka sungguh dia menjadi pikun dan haditsnya terpengaruh dengan riwayat dari selainnya, maka tidak jauh dari kemungkinan bahwa hadits ini di antara yang terpengaruh dengan riwayat dari selainnya pada masa tuanya. Oleh karena itu Ibnu Katsir mengingkarinya. Ibnu Abdu al-Bar mendhaifkannya.”

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Jausha 4/278 Mizan; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 8/116, no. 7537 dan al-Mu’jam al-Ausath no. 3886; Ibn as-Sunni no. 180; Ibnu Abdu al-Barr dalam al-Isti’ab 3/394; dan Ibnu al-Atsir 5/215 secara mu’allaq: dari jalur Nuh bin Amr bin Huwayy as-Saksaki, Baqiyyah telah menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Umamah dengan hadits tersebut. Ath-Thabrani berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Ziyad selain Baqiyyah, Nuh meriwayatkannya secara sendirian.” Saya berkata,”Dan Nuh tidak dikenal kecuali dengan hadits ini, dan telah zahir bahwa dia adalah yang dimaksudkan dengan ucapan Ibnu Hibban, “Hadits ini telah dicuri oleh syaikh dari Ahlu Syam, maka dia meriwayatkannya dari Baqiyyah dari Abu Umamah secara panjang lebar.” Dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 19/429, no. 1041, dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 2253 telah meriwayatkannya dari jalur Shadaqah bin Abi Sahal, dari Yunus, dari al-Hasan, dari Mu’awiyah bin Mu’awiyah dengan hadits tersebut. Dia berkata dalam al-Majma’’ 3/41, “Di dalamnya terdapat Shadaqah bin Abi Sahal, saya tidak mengenalnya, dan perawi selainnya adalah tsiqah.”

Saya berkata, “Bahkan (yang benar) bahwa hadits ini saqith karena Mua’wiyah bin Mua’wiyah. Siapakah dia? Apakah dia adalah seorang sahabat yang bangkit setelah tidurnya untuk menceritakan kisah kepada al-Hasan? Apakah dia seorang perawi majhul yang tidak dikenal?

Dan dalam bab ini terdapat riwayat dari Sa’id bin al-Musayyab secara mursal pada Ibnu adh-Dhurais dalam Fadha`il al-Qur’an 6/708, surah al-Ikhlash ad-Durr al-Mantsur.

Dan akhirnya saya menyimpulkan pada suatu pendapat yang tersebut, bahwa hadits ini saqith, sanad dan matannya batil disebabkan beberapa hal:

Pertama, bahwa Mu’awiyah bin Mu’awiyah ini tidak dikenal dalam golongan sahabat melainkan dengan kisah ini.

Kedua, isnadnya lemah sekali, tidak ada sesuatu pun padanya yang bisa dijadikan sebagai pedoman.

Ketiga, bahwa mukjizat yang kabarnya sangat menyebar dan disaksikan oleh beribu-ribu sahabat adalah layak -kalau seandainya benar dinukilkan kepada kami minimal dengan satu sanad hasan, saya tidak mengatakannya shahih dan tidak pula mutawatir.

Keempat, berurutannya para ulama dalam melemahkan kisah ini, mendhaifkan, dan mengingkarinya secara global dan terperinci, seperti al-Uqaili, Ibnu Hibban, Ibnu Abd al-Barr, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan al-Haitsami.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky