Kecantikan atau ketampanan merupakan salah satu pertimbangan bagi laki-laki dan wanita untuk memutuskan bersedia menikah atau tidak, satu hal yang lumrah karena tabiat manusia yang cenderung kepada keindahan, walaupun kecantikan dan ketampanan itu sendiri nisbi, tidak berbarometer yang disepakati, bukan masalah selama kecantikan atau ketampanan tidak dijadikan sebagai satu-satunya indikator kebaikan. Berapa banyak wanita cantik atau lelaki tampan tetapi hati, ucapan dan perbuatannya tidak seperti rupanya, apapun sah-sah saja kalau Anda ingin mendapatkan yang cantik atau yang tampan.

Seorang makelar pernikahan berkata kepada seorang laki-laki, “Ada seorang wanita, dia seperti setangkai bunga narjis.” Karena wanita itu disamakan dengan bunga maka laki-laki itu membayangkannya cantik dan dia menikahinya. Ternyata wanita yang dimaksud adalah seorang nenek tua yang buruk rupa. Laki-laki itu protes kepada sang makelar, “Kamu dusta, kamu telah menipuku.” Makelar itu menjawab, “Tidak demi Allah, aku tidak menipumu. Aku menyamakannya dengan setangkai bunga narjis karena rambutnya putih, wajahnya kuning (pucat) dan kakinya hijau.”

Abul Aina’ berkata, “Aku melamar seorang wanita, dia merasa diriku buruk rupa, tampangku tidak menarik baginya, maka aku menulis untuknya,

‘Jika kamu berlari dariku karena rupaku yang buruk maka
aku orang bijak, sastrawan, tidak bodoh dan tidak pandir.”

Dia menjawab, “Aku tidak menginginkan pegawai kantor surat menyurat.”

Tetapi sah-sah saja kalau Anda relah dan pasrah terhadap apa yang Allah berikan kepada Anda, walaupun kata orang dia bermuka buruk, akan tetapi itu kan kata orang, penilaian boleh berbeda, yang pasti dia adalah yang terbaik.

Sebagian dari mereka berkata, aku melihat di sebuah jalan di kota Makkah seorang wanita yang berparas rupawan. Aku duduk melihatnya dan mengagumi kecantikannya. Lalu datang seorang laki-laki tua bertubuh pendek memegang bajunya dan menuntunnya pergi. Suatu ketika aku bertemu dengan wanita itu, aku bertanya, “Siapa laki-laki tua itu?” Dia menjawab, “Suamiku.” Aku berkata, “Bagaimana wanita sepertimu mau bersuami dengan orang seperti dia?” Dia menjawab,

“Betapa aneh seorang wanita muda yang cantik,
dia dinikahi oleh laki-laki tua yang buruk rupa
Aku bersedia dengannya karena dia memiliki hubungan kerabat
yang sangat mulia bagi kami dari putra paman dan bibi.”

Al-Ashma’i, dia berkata, aku masuk ke daerah pedalaman, aku melihat seorang wanita yang tergolong cantik bersuamikan seorang laki-laki buruk rupa. Aku berkata kepada wanita itu, “Wahai fulanah, apakah kamu rela bersuamikan orang ini?” Dia menjawab, “Diam kamu, kamu telah berkata keliru, mungkin suamiku ini telah berbuat baik kepada Tuhannya maka Dia memberikan diriku kepadanya sebagai balasannya, atau mungkin aku telah berbuat buruk kepada Tuhanku sehingga Dia menjadikannya sebagai hukumanku. Apakah aku tidak rela dengan apa yang telah Allah relakan untuk diriku?” Al-Ashma’i berkata, “Aku terdiam.”

Abul Hasan Al-Madini berkata, suatu hari Imran bin Hatthan mendatangi istrinya. Imran ini adalah laki-laki buruk rupa dan berbadan pendek. Sementara istrinya adalah seorang wanita cantik. Pada saat itu dia telah berdandan, maka dia semakin cantik dan menawan di mata suaminya. Maka Imran tidak kuasa kecuali terus menerus memandangi istrinya. Istrinya bertanya, “Ada apa denganmu?” Dia menjawab, “Demi Allah kamu sangat cantik.” Istrinya berkata, “Bergembiralah, aku dan dirimu akan masuk Surga.” Ia bertanya, “Dari mana kamu tahu itu?” Dia menjawab, “Kalau kamu dianugerahi istri cantik sepertiku dan kamu bersyukur, sementara aku diuji dengan suami sepertimu, maka aku bersabar. Orang yang sabar dan orang yang bersyukur di Surga.” (Izzudin Karimi)