Sejak awal-awal Januari, Tim SIWAKZ ALSOFWA sudah melakukan pendampingan terhadap para pengungsi di wilayah Jantho (ibukota Aceh Besar). Berbagai aktivitas dilakukan; bantuan logistik, da’wah, pembinaan anak-anak, dan lain-lain pun dilakukan. Selang beberapa waktu datang pula relawan dari salah satu ormas Islam, partai politik pro-demokrasi, dan LSM-LSM lain.

Para pengungsi, oleh Pemda, ditempatkan di lokasi yang sangat strategis. Tenda-tenda pleton di dirikan di halaman samping Masjid Agung kota Jantho. Tempat berdampingan dengan Pesantren Al-Fauzul Kabir, sebua pesantrenh yang dipimpin oleh seorang alumni pondok Gontor.

Berbagai kegiatan keislaman pun mulai berjalan. Sedikit demi sedikit mereka dibiasakan untuk hidup dalam suasana Islam. Akan tetapi berbagai masalah mulai muncul, tidak mau shalat (padahal tinggal di samping Masjid), beberapa puluh wanita tidak mau memakai jilbab dengan alasan tidak punya dan tidak diberi jilbab (padahal seluruh keperluan itu sudah diberikan oleh pengelola pengungsi.

Akhirnya, nasihat dan peringatan agar mereka mau shalat dan mengenakan busana muslim, pun dilakukan, hari demi hari. Akan tetapi mereka tidak juga menggubrisnya. Seolah ingin hidup tak beraturan dan tak ber-Tuhan.

Sehari setelah Idul Adhha, datang tim dari Unicef dengan mengaku membawa program pendampingan untuk anak, yaitu sekolah di tenda-tenda. Mulai mereka memberikan kegiatan main-main dengan anak, nyanyi-nyanyi, dan belajar sistem klasikal di tenda. Acara-acara Unicef ini dilakukan berbentrokan dengan jadwal dari tim-tim pendampingan yang sudah jau-jauh hari membina di Jantho ini, bahkan juga berbentrokkan dengan waktu shalat. Tim ini tidak juga berubah walaupun sudah diingatkan agar tidak berbuat demikian.

Setelah berjalan dua bulanan dan tidak menunjukkan itikad baik, tidak mengindahkan peringatan dan nasihat bahkan demikian menyambut acara-acara yang dilakukan oleh Unicef yang berbentrokan dengan waktu shalat, maka Pemerintah Daerah setelah mendapat laporan dari Ma’had Al-Fauzul Kabir dan Pengelola Masjid Agung Jantho, akhirnya meminta mereka keluar dari wilayah Masjid Agung tersebut.

Ungkapan kekesalan Yang Berlebihan

Dalam kegiatan pendampingan dan pembantuan di NAD, Tim relawan banyak juga mengikuti kebiasaan orang Aceh, duduk-duduk lama di warung kopi dan di kerumunan lainnya. Melalui tempat-tempat ini, kita mendapatkan banyak informasi tentang hal-hal yang tidak terungkap ke permukaan. Satu diantaranya adalah tentang kekesalan mereka kepada pemerintah –yang tentu saja tidak semuanya benar.

Suatu saat salah seorang dari mereka sedang berbincang-bincang serius dengan seorang relawan yang kami tidak tahu dari tim mana. Pemerintah itu tidak adil kepada kami (baca: rakyat Aceh), mereka memasang tarif untuk bisa masuk menjadi TNI. Sekitar 20 jutaan rupiah harus kita keluarkan untuk bisa menjadi TNI. 200 ribu rupiah untuk bisa memiliki SIM. Demikian keluh-kesah warga Aceh tersebut. Sang relawan pun terperanjat kaget dan menimpali, “Kalau hanya itu, dimana-mana memang begitu, tidak hanya di Aceh. Di Jawa, bahkan untuk bisa menjadi PNS, seorang S-1 harus mengeluarkan 60 jutaan, 40 jutaan untuk menjadi TNI, bahkan 300 ribuan untuk mendapatkan SIM, Tapi itu tidak menjadi alasan bagi kami untuk memberontak atau benci kepada suku-suku tertentu.” Orang Aceh itu pun juga terkaget-kaget dan mengatakan, “Masa’ di Jawa sana begitu, kami pikir Cuma ada di Aceh saja?”

Dan ternyata banyak hal yang memicu kemarahan dan kedengkian warga Aceh dengan suku-suku lainnya, sebabnya adalah informasi yang tidak seimbang seperti contoh di atas.(abm)