Pertama, mempersembahkan nadzar atau kurban atau sesaji

Ke kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat dan diziarahi. Perbuatan ini tergolong syirik besar, sebab ia memberikan sesuatu sebagai sebuah ibadah bukan kepada Allah Ta’ala tetapi kepada selainnya. Yang dipersembahkan itu bisa berupa hewan hidup yang kemudian disembelih di kuburan, atau sudah disembelih sebelumnya lalu bagian tertentu misalnya kepalanya dibawa ke kuburan untuk dipersembahkan, bisa dalam bentuk makanan, penerangan: lampu atau lilin atau kembang-kembang.

Perbuatan tersebut mengandung keyakinan bahwa tempat atau penunggunya, kuburan atau penghuninya bisa memberikan manfaat dan mudharat, bisa memberikan pertolongan kepada siapa yang meminta tolong dan bisa memenuhi hajat permintaan siapa yang bergantung kepadanya, karena itulah mereka mempersembahkan nadzar atau kurban kepada tempat atau kuburan itu. Salah seorang peziarah berkata, “Jika keluargaku yang sakit sembuh maka untuk kuburan anu seekor kambing atau senampan tumpeng atau semacamnya. Jika keluargaku yang hilang ditemukan maka untuk tempat anu sekerangjang bunga tujuh rupa atau yang semacamnya.” Semua ini merupakan syirik yang pelaku tidak diampuni oleh Allah jika mati dalam keadaan demikian.

Salah satu permohonan Nabi saw kepada Allah Ta’ala berbunyi, “Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.” Diriwayatkan oleh Malik dan Ahmad.

Rasulullah saw tidak mengucapkan doa semacam ini kecuali karena beliau khawatir bahwa tindakan demikian akan terjadi dan memang terjadi di belahan bumi kaum muslimin untuk kuburan selain beliau. Adapun kuburan beliau sendiri maka Allah Ta’ala telah mengabulkan doa beliau sehingga Dia menjaganya. Ibnul Qayyim berkata, “Maka Tuhan semesta alam mengabulkan doa nabiNya dan kuburnya dikelilingi oleh tiga tembok.”

Kedua, meminta hajat kepada mayit

Orang-orang yang melakukan hal itu sejenis dengan para penyembah berhala di mana Allah Ta’ala telah berfirman, “Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kamu anggap tuhan selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.’ Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan azabNya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra`: 56-57).

Siapa pun yang berdoa kepada nabi atau wali atau orang shalih dan memberikannya salah satu kriteria ilahiyah maka ayat ini mencakupnya, ayat ini bersifat umum meliputi siapa pun yang berdoa kepada selain Allah, padahal orang yang diminta dengan doa tersebut mencari cara bagaimana dia mendekatkan diri kepada Allah, takut kepada azabNya dan mengharapkan rahmatNya.

Berdoa kepada orang ghaib atau orang mati, siapa pun orang itu, dengan lafazh doa atau istighatsah atau lainnya merupakan syirik besar yang tidak Allah Ta’ala ampuni kecuali dengan taubat darinya kepadaNya. Sebagian peziarah berbisik di atas kuburan wali fulan atau syaikh fulan, “Wahai wali fulan atau wahai syaikh fulan, berilah aku pertolongan, lapangkanlah rizkiku, sembuhkanlah keluargaku yang sakit, aku berada dalam perlindunganmu…” Dan kata-kata senada dengan itu.

Semua ini adalah syirik yang sesat, pelakunya diharap dan diminta untuk bertaubat, jika tidak maka halal darahnya, karena Allah Ta’ala tidak mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kecuali agar Dia disembah semata dan tidak dipersekutukan dengan siapa pun atau apa pun.

Ketiga, menjadikan mayit sebagai wasilah

Perkara ini termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, sekalipun lebih rendah dari yang sebelumnya, maksudnya tidak termasuk syirik besar. Yang dimakusd dengan menjadikan mayit sebagai wasilah adalah berdoa kepada Allah Ta’ala namun melalui mayit yang sudah bersemayam di dalam kubur dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawasul kepadaMu dengan nabiMu atau dengan malaikatMu atau dengan wali atau syaikh fulan atau dengan hak wali fulan atau kehormatannya.” Dan kata-kata yang sejenisnya.

Hal semacam ini dilakukan oleh para peziarah kubur khususnya kubur-kubur yang diagungkan dan dihormati di mana peziarah sampai melakukan perjalan ke sana. Di atas kuburan, peziarah tidak berdoa kepada mayit, tetapi kepada Allah, hanya saja peziarah menjadikan mayit sebagai wasilah dalam doanya kepada Allah Ta’ala.

Doa dengan bahasa demikian tidak mempunyai dasar dari al-Qur`an dan sunnah serta perbuatan sahabat Nabi saw. Yang sesuai dengan al-Qur`an dan sunnah adalah berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifatNya dan dengan wasilah amal shalih serta doa seorang muslim yang hadir lagi hidup. Wallahu a’lam.