Keempat, mengira bahwa doa di kubur lebih mustajab

Atau lebih afdhal daripada doa di rumah atau di masjid, maka orang yang mempunyai dugaan atau keyakinan demikian melakukan perjalan ke kubur untuk itu. Hal semacam ini temasuk khurafat, keyakinan yang tidak berdasar, para ulama sepakat menganggapnya sebagai sebuah kemungkaran.

Rasulullah saw tidak melakukan, tidak menganjurkan dan tidak mengizinkan. Para sahabat, tidak seorang pun dari mereka yang melakukannya. Ketika mereka ditimpa kekeringan dan hal itu terjadi berkali-kali atau ketika mereka menghadapi perkara-perkara besar dan hal itu juga bukan sekali atau dua kali, mereka tidak datang ke kubur Nabi saw lalu berbisik di atasnya, “Wahai Rasulullah, turunkan hujan untuk kami.” Atau mengucapkan, “Ya Allah, dengan wasilah nabiMu Muhammad, turunkanlah hujan.”

Yang mereka lakukan adalah berdoa kepada Allah Ta’ala tidak di kubur Nabi saw seperti yang dilakukan oleh Umar bin al-Khatthab manakala dia meminta hujan melalui wasilah doa Abbas bin Abdul Mutthalib paman Nabi saw.

Salaf shalih melarang kaum muslimin untuk berdoa di kubur Nabi saw. Ali bin al-Husain bin Ali melihat seorang laki-laki menyelinap ke kubur Nabi saw melalui sebuah cela, di sana dia berdoa, maka Ali berkata kepadanya, “Aku sampaikan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari bapakku dari kakekku dari Rasulullah saw, ‘Jangan menjadikan kuburku sebagai tempat perayaan, jangan menjadikan rumahmu sebagai kuburan, bershalawatlah kepadaku dan bersalamlah di mana pun kamu berada karena shalawat dan salammu sampai kepadaku.” Diriwayatkan oleh Ismail al-Qadhi dalam kitab Fadhlu ash-Shalah alan Nabi saw, dishahihkan oleh al-Albani dalam Kitab yang sama.

Kuburan Nabi saw adalah kuburan paling mulia dan beliau tidak mengizinkan kuburnya dijadikan sebagai tempat perayaan, maka kubur selain Nabi saw, sia pun dia, lebih patut.

Kelima, melakukan perjalanan untuk ziarah

Hal ini termasuk perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin di musim-musim tertentu, mereka melakukan perjalanan panjang, sampai satu minggu atau sepuluh hari berkeliling suatu wilayah atau suatu pula, berpindah dari satu kota ke kota lainnya demi menziarahi makam atau kubur orang-orang yang mereka yakini sebagai wali. Demi itu mereka rela membelanjakan harta yang tidak sedikit, mengeluarkan tenaga yang cukup melelahkan, meninggalkan keluarga dan tugas wajib, lalu apa yang mereka petik?

Perbuatan demikian bukan merupakan ibadah, sebaliknya bid’ah yang diada-adakan. Rasulullah saw bersabda, “Perjalanan tidak dilakukan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Aqsha, masjidku ini ad Masjidil Haram.” Muttafaq alaihi.

Orang-orang yang melakukan perjalanan untuk ziarah telah melakukan kesia-siaan, mereka termasuk, “Orang-orang yang sia-sia usahanya dia dunia padahal mereka telah menyangka telah berbuat baik.” (Al-Kahfi: 104). Mereka termasuk, “Amilatun nashibah, bekerja keras lagi kepayahan..” (Al-Ghasyiyah: 3).

Bahkan sebagian dari mereka ada yang meyakini bahwa ziarah ke makam orang-orang yang mereka anggap sebagai wali dalam jumlah tertentu berpahala sama dengan haji atau umrah. Sebuah keberanian luar biasa dalam berbohong atas nama Allah? Nauzdu billah.