Pasal:

(1135) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Kitab al-Bir, Bab an-Nahyu Min Qauli Halaka an-Nas, 4/2024, no. 2623.
dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: هَلَكَ النَّاسُ، فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ.

“Apabila seseorang berkata, ‘Celakalah manusia’, maka dia adalah orang yang paling celaka.

Saya berkata, Diriwayatkan أَهْلَكهُمْ dengan merafa’kan kaf dan memfathahkannya. Dan riwayat yang masyhur adalah merafa‘kan kaf. Dan yang memperkuatnya adalah riwayat yang kami riwayatkan dalam Hilyah al-Auliya` dalam biografi Sufyan ats-Tsauri,

فَهُوَ مِنْ أَهْلَكِهِمْ.

“Maka dia termasuk orang yang paling celaka.”

Al-Imam al-Hafizh Abu Abdillah al-Humaidi berkata dalam al-Jam’u Baina ash-Sha-hihain pada riwayat pertama, sebagian rawi berkata, “Saya tidak mengetahui apakah ‘أَهْلَكَهُمْ’ atau ‘أَهْلَكُهُمْ?'” Al-Humaidi berkata, “Dan yang paling masyhur adalah ‘أَهْلَكُهُمْ’ yang bermakna orang yang paling celaka.” Dia melanjutkan, “Hal tersebut terjadi apabila dia mengucapkannya sebagai pencelaan dan penghinaan terhadap mereka, serta mengutamakan dirinya atas mereka, karena dia tidak mengetahui rahasia Allah dalam penciptaannya. Demikianlah yang diungkapkan oleh sebagian ulama kita.” Ini merupakan perkataan al-Humaidi.

Al-Khaththabi berkata, “Maknanya, seseorang senantiasa mencela manusia dan menyebutkan kejelekan mereka, dan dia berkata, ‘Manusia telah rusak dan celaka…’ dan semisalnya. Apabila dia melakukan hal tersebut, maka dia adalah orang yang paling celaka diantara mereka, maksudnya orang yang kondisinya paling jelek dalam hal dosa yang mengenainya disebabkan celaannya terhadap manusia lain. Boleh jadi hal tersebut meng-akibatkannya ujub dan riya` terhadap dirinya sendiri, bahwa dia memiliki keutamaan di atas mereka, dan bahwa dia lebih baik daripada mereka, sehingga dia celaka. Ini merupa-kan perkataan al-Khaththabi yang kami riwayatkan darinya dalam kitabnya Ma’alim as-Sunan.

(1136) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab La Yuqal: Khabutsat Nafsi, 2/714, no. 4983. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa` 2/984, akan tetapi di dalamnya tidak ada tafsir Malik rahimahullah sesuai dengan maknanya. dia berkata, al-Qa’nabi telah menceritakan kepada kami, dari Malik, dari Suhail bin Abi Shalih, Dalam semua sumber, “Sahl bin Abi shalih”, dan saya tidak mengetahui anak Abu Shalih yang bernama Sahl, dan yang paling benar adalah yang terdapat dalam al-Muwaththa` dan as-Sunan. dari ayahnya, dari Abu Hurairah. kemudian dia menyebutkan hadits ini. Kemudian dia berkata, “Malik berkata, ‘Apabila dia berkata demikian (maksudnya, celakalah manusia, pent.) sebagai rasa prihatin terhadap sesuatu yang dia lihat pada manusia (atau dia berkata demikian dengan maksud prihatin akan masalah dunia manusia), maka saya berpendapat, itu tidak ada masalah. Apabila hal tersebut diucapkan sebagai ungkapan ujub dalam dirinya dan merendahkan manusia, maka hal tersebut makruh yang dilarang darinya’.”

Saya berkata, Ini merupakan penafsiran dengan isnad yang sangat shahih, apalagi kalau sanadnya berasal dari imam Malik rahimahullah.

Pasal:

(1137) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan isnad yang shahih, dari Hudzaifah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

لاَ تَقُوْلُوْا مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ، وَلكِنْ قُوْلُوْا مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ مَا شَاءَ فُلاَنٌ.

“Janganlah kalian mengucapkan, ‘(Semua ini) atas kehendak Allah dan kehendak fulan,’ akan tetapi katakanlah, ‘(Semua ini) atas kehendak Allah kemudian kehendak fulan’.

Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 26681 dan 29563; Ahmad 5/384, no. 394 dan 398; Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, Bab La Yuqal: Khabutsat Nafsi, 1/713, no. 4980; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 991; ath-Thahawi dalam al-Musykil, no. 236; Ibn as-Sunni, no. 666; dan al-Baihaqi 3/216: dari berbagai jalur, dari Syu’bah, dari Manshur, saya mendengar Abdullah bin Yasar, dari Hudzaifah dengan hadits tersebut.
Sanad ini shahih, para perawinya tsiqah, merupakan para perawi asy-Syaikhain, kecuali Ibnu Yasar, dia tsiqah, dan mereka telah berselisih pendapat tentangnya dalam hal yang tidak menjadikan aib untuknya. Yang jelas, dia tidak sendirian dengan riwayat tersebut, bahkan dimutaba’ah. Ahmad meriwayatkannya 5/393; Ibnu Majah, Kitab al-Kafarat, Bab an-Nahyu an Yuqala: Masya’ Allah wa Syi’ta, 1/685, no. 2118; dan an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 990: dari beberapa jalur sanad, dari Sufyan bin Uyainah, dari Abdul Malik bin Umair, dari Rib’i, dari Hudzaifah dengan hadits tersebut. Dan mereka semuanya adalah tsiqah, dan merupakan perawi asy-Syaikhain. Sebagai penutup, yang jelas bahwa kedua jalur hadits ini adalah shahih, dan hadits ini pada akhirnya shahih dengan pengumpulan kedua jalur sanadnya. An-Nawawi dan al-Albani telah menshahihkannya.

Al-Khaththabi dan yang lainnya berkata, “Ini adalah petunjuk kepada adab, karena huruf “waw (dan)” berfungsi sebagai penggabung dan penyekutuan, sedangkan “Tsumma (kemudian)” berfungsi sebagai penyambung secara berurutan dan ada jeda waktu. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk kepada mereka untuk mendahu-lukan kehendak Allah dari pada kehendak selainNya.

Dan muncul ucapan dari Ibrahim an-Nakha’i, bahwasanya dia memakruhkan sese-orang mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah dan kepadamu,” dan membolehkan mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah kemudian kepadamu.”
Mereka berkata, “Dan dia mengucapkan, ‘Apabila bukan karena Allah kemudian karena fulan, maka aku telah melakukan hal ini,’ dan janganlah mengucapkan, ‘Apabila bukan karena Allah dan fulan.”
[p[] Pasal: Dimakruhkan mengucapkan, “Hujan telah turun kepada kami disebab-kan oleh bintang ini.” Apabila dia mengatakannya dengan berkeyakinan bahwa bintang tersebut adalah pelakunya, maka dia kafir, namun apabila dia berkeyakinan bahwa Allah-lah pelakunya, dan bahwa bintang tersebut hanyalah merupakan tanda turunnya hujan, maka dia tidak kafir, akan tetapi dia telah melakukan sesuatu yang dimakruhkan, karena dia mengucapkan lafazh yang digunakan oleh orang-orang jahiliyah, di samping lafazh tersebut juga merupakan lafazh musytarak (yang memiliki lebih dari satu makna) antara maksud kekufuran dan selainnya. Dan telah kami kemukakan hadits shahih yang ber-kaitan dengan pasal ini pada bab doa yang diucapkan ketika turun hujan.

Pasal: Diharamkan untuk mengucapkan, “Apabila saya berbuat begini, maka saya adalah orang Yahudi atau Nasrani atau yang murtad dari Islam.” dan semisalnya.

Apabila dia berkata seperti itu, dan benar-benar berjanji keluar dari Islam dengan perkataannya yang demikian itu, maka dia menjadi kafir seketika, dan berlakulah hukum orang murtad kepadanya. Dan jika tidak memaksudkan demikian, maka dia tidak kafir, namun dia telah melakukan tindakan yang diharamkan. Maka dia wajib bertaubat, yaitu segera melepaskan diri dari kemaksiatannya, menyesal atas tindakan yang dilakukan-nya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi selamanya, serta beristighfar kepada Allah dengan mengucapkan,

لاَ اِلهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ.

“Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Pasal: Diharamkan bagi seseorang, mengatakan kepada seorang Muslim lainnya “Wahai si Kafir!” dengan pengharaman yang tegas

(1138) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا: فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ، رَجَعَتْ عَلَيْهِ.

‘Apabila seseorang berkata kepada saudaranya,’Wahai Kafir!’ niscaya perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Apabila dia sesuai dengan perkataannya (maka dia demikian), dan apabila tidak maka perkataan tersebut akan kembali kepadanya’. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Man Akfara Akhahu, 10/514, no. 6104; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab Hal Iman Man Qala Li Akhihi: Ya Kafir, 1/79, no. 60.”

(1139) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذلِكَ، إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ.

“Barangsiapa memanggil seseorang dengan sebutan kafir, atau dia menyebutnya sebagai ‘musuh Allah’, padahal dia tidak demikian, melainkan ia akan kembali kepadanya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Ma Yunha an as-Sibab, 10/464, no. 6045; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab Halu Imani Man Raghiba an Abihi, 1/79, no. 61.

Ini adalah lafazh riwayat Muslim, sedangkan lafazh al-Bukhari adalah dengan makna-nya, dan makna “حَارَ” adalah kembali.

Pasal: Apabila seorang Muslim mendoakan kejelekan kepada Muslim yang lain seraya berkata, “Ya Allah, rampaslah iman darinya,” maka dia telah melakukan kemaksiatan dengan hal tersebut.

Apakah pelaku doa tersebut menjadi kafir hanya karena doa ini? Ada dua pendapat di kalangan para sahabat kami: Al-Qadhi Hushain, salah satu imam dari kalangan sahabat kami berkata dalam al-Fatawa, “Yang paling benar dari kedua pendapat tersebut adalah bahwa dia tidak kafir.” Dan yang mungkin untuk dijadikan sebagai hujjah dalam hal ini adalah Firman Allah Subhanahu waTa`ala ketika mengabarkan tentang Musa ‘alaihissalam,

رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وْاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَيُؤْمِنُوا

“Ya Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman…” (Yunus: 88).

Namun dalam istidlal ini ada yang perlu dicermati, jika kita berpendapat bahwa syariat orang-orang sebelum kita merupakan syariat untuk kita.

Pasal: Apabila orang-orang kafir memaksa orang Muslim untuk mengatakan kalimat kufur, lalu dia mengatakannya namun hatinya tetap beriman, maka dia tidak kafir berdasarkan nash al-Qur`an dan ijma‘ kaum Muslimin.

Apakah mengatakan kalimat kekufuran untuk menjaga dirinya dari pembunuhan adalah yang lebih utama? Ada lima pendapat menurut kalangan sahabat kami:

Yang paling benar, bahwa yang paling utama adalah bersabar terhadap ancaman pembunuhan dan tidak mengatakan perkataan kufur. Dalil-dalilnya dari hadits-hadits shahih dan perbuatan para sahabat radiyallahu ‘anhum yang masyhur.

Kedua, yang paling utama, adalah mengatakan kalimat kekafiran untuk menjaga dirinya dari pembunuhan.
Ketiga, apabila di dalam kelangsungan hidupnya terdapat kemaslahatan bagi kaum Muslimin, yaitu dia berharap mengalahkan musuh atau mendirikan hukum syara’, maka yang paling utama adalah mungucapkan kalimat kekufuran. Dan apabila tidak demikian, maka sabar terhadap pembunuhan adalah lebih utama.
Keempat, apabila dia termasuk ulama dan semisal mereka dari kalangan yang ditela-dani, maka yang lebih utama adalah bersabar (untuk mati), agar orang awam tidak tertipu.

Kelima, bahwasanya wajib baginya untuk mengatakan kalimat kufur tersebut, ber-dasarkan Firman Allah Subhanahu waTa`ala,

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195). Namun pendapat ini sangat lemah.

Pasal: Apabila seorang Muslim memaksa orang kafir harbi (bermakna orang kafir yang tidak ada perjanjian dengan kaum Muslimin) masuk Islam, lalu dia mengucapkan dua kalimat syahadat, maka sah keislamannya, karena itu merupakan paksaan dengan kebenaran. Dan apabila dia kafir dzimmi, maka dia belum menjadi seorang Muslim, karena kita berkewajiban menjaganya, maka memaksanya adalah tindakan tidak benar. Dan dalam permasalahan ini terdapat pendapat lemah yang menyatakan bahwa kafir dzimmi yang dipaksa bersyahadat telah menjadi Muslim, karena dia telah memerin-tahkannya dengan kebenaran.

Pasal: Apabila seorang kafir mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa paksaan, apabila sebagai hikayat dengan mengatakan, “Saya mendengar Zaid mengatakan, ‘La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah‘,” maka dia tidak dihukumi sebagai orang Islam. Dan apa-bila dia mengucapkannya setelah diminta oleh seorang Muslim, dengan mengatakan kepadanya, “Katakanlah, ‘La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah’.” Lalu dia mengatakan-nya, maka dia telah menjadi Muslim. Dan apabila dia mengucapkan dua kalimat syahadat pada permulaan pembicaraan, bukan sebagai hikayat dan bukan pula karena permin-taan seorang Muslim, maka madzhab yang benar dan masyhur menurut jumhur para sahabat kami adalah bahwa dia menjadi Muslim, dan dalam riwayat lain dikatakan dia tidak menjadi Muslim, karena dimungkinkan sebagai hikayat. Pengucapan orang kafir dengan dua kalimat syahadat mempunyai bab yang banyak sekali. Tidaklah keluar dari keku-furan dan masuk ke dalam Islam kecuali orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan niat memegang teguh Islam.

Pasal: Seyogyanya tidak dikatakan untuk wakil pemerintah yang Muslim dengan sebutan Khalifatullah (Khalifah Allah), akan tetapi hendaklah dikatakan al-Khalifah, Khalifah Rasulillah, dan Amirul Mukminin (pemimpin kaum Muslimin).

Kami meriwayatkan dalam Syarh as-Sunnah karya al-Imam Abu Muhammad al-Baghawi rahimahullah, dia berkata, “Tidak mengapa bila wakil pemerintah Muslim dinamakan dengan Amirul Mukminin dan al-Khalifah, walaupun dia bertentangan dengan tingkah laku para pemimpin yang adil (Maksudnya, sepak terjang dan siasat politiknya bertentangan dengan sepak terjang dan siasat politik para pemimpin dan khalifah yang adil), karena dia mengurusi perkara kaum Muslimin, dan me-reka (berkewajiban) mendengarkannya, dan dinamakan al-Khalifah, karena dia mengganti-kan yang telah lalu sebelumnya dan menempati tempatnya. Dia berkata, “Seseorang tidak dinamakan khalifatullah setelah Nabi Adam dan Dawud ‘alaihima salam , Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah: 30), dan FirmanNya,

يَادَاودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي اْلأَرْضِ

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi.” (Shad: 26).

Saya berkata, “Demikianlah perkataan Abu Muhammad al-Baghawi rahimahullah. Sedangkan Allah Subhanahu waTa`ala tidak memutlakkan lafazh khalifatullah terhadap Adam dan tidak juga terhadap Dawud ‘alaihima salam, akan tetapi Dia hanya menetapkan kepada keduanya lafazh Khalifah tanpa idhafah.

Dan yang benar adalah bahwa tidak sepantasnya untuk menetapkan lafazh khalifatullah kepada seorang pun secara mutlak. Khalifah adalah orang yang menggantikan tempat mayit atau mewakili orang yang ghaib, sedangkan Allah ‘azza wa jalla adalah Dzat Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengatur makhlukNya, Maha Mampu, Maha Mengetahui, tidak ada satu perkara tersembunyi pun yang tidak diketahuiNya. Bagaimana mungkin seorang hamba yang lemah menggantikanNya? Bahkan Dia Maha Suci dan Maha Luhur, Dzat yang menggantikan mereka di kala mereka tidak ada dan mewarisi mereka setelah kematian mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu waTa`ala,

إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ اْلأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْهَا وَإِلَيْنَا يُرْجَعُوْنَ.

“Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan.” (Maryam: 40).

Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radiyallahu ‘anhu,

يَا خَلِيْفَةَ اللهِ، فَقَالَ: أَنَا خَلِيْفَةُ مُحَمَّدٍ ، وَأَنَا رَاضٍ بِذلِكَ.

“Wahai khalifah Allah!” Maka dia menjawab, “Saya khalifah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan saya ridha dengan hal itu.”

Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Abdul Azis radiyallahu ‘anhu, “Wahai Khalifatullah!” lalu Umar berkata, “Celakalah kamu, kamu telah melakukan tindakan yang jauh melampuai batas! Sesungguhnya ibuku menamaiku Umar, kalau kamu memanggilku dengan nama tersebut, niscaya aku akan menerimanya. Kemudian setelah aku dewasa, aku diberi Kuniyah Abu Hafsh, kalau kamu memanggilku dengan nama tersebut, aku akan menerimanya. Kemudian kalian menyerahkan urusan pemerintahan kalian kepadaku, maka kalian me-namakanku Amirul Mukminin, kalau kamu memanggilku dengan nama tersebut maka sudah cukup.

Hakim agung Al-Imam Abu al-Hasan al-Mawardi al-Bashri al-Faqih, asy-Syafi’i me-nyebutkan dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyyah, bahwa seorang pemimpin dinamakan khalifah karena dia menggantikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memimpin umatnya. Dia berkata, “Maka boleh dikatakan ‘al-Khalifah‘ secara mutlak, dan boleh dikatakan ‘Khalifah Rasulullah’.

Dia berkata, “Mereka berbeda pendapat tentang bolehnya kami mengucapkan “Kha-lifatullah”, sebagian dari mereka membolehkannya karena dia berfungsi menegakkan hak-hakNya terhadap makhlukNya, dan karena Firman Allah Subhanahu waTa`ala,

هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ فِي اْلأَرْضِ

“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.” (Fathir: 39).

Sedangkan jumhur ulama melarangnya, dan menisbatkan orang yang mengatakannya sebagai orang yang berbuat kekejian (pendapat inilah yang benar) Ini merupakan perkataan al-Mawardi.

Saya berkata, Yang pertama dinamakan Amirul Mukminin adalah Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu, tidak ada perbedaan pendapat tentangnya di antara Ahli Ilmu. Sedangkan wahm (dugaan lemah) dari sebagian orang bodoh tentang Musailamah, maka itu merupakan kesa-lahan yang nyata dan kebodohan yang jelek yang bertentangan dengan ijma‘ ulama. Kitab-kitab mereka saling mendukung untuk menukilkan secara sepakat bahwa orang yang pertama kali disebut Amirul Mukminin adalah Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu.

Al-Imam al-Hafizh Abu Umar bin Abdul Bar rahimahullah dalam kitabnya al-Isti’ab fi Asma` ash-Shahabah radiyallahu ‘anhum , menyebutkan penjelasan tentang pemberian nama Umar bin al-Khaththab dengan Amirul al-Mukminin pertama, dan penjelasan sebab dinamakannya demikian, dan bahwa-sanya pada masa sebelumnya, Abu Bakar radiyallahu ‘anhu dikatakan Khalifah Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wasallam .

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Rifki Solehan El-Hawary.