Bagian Ketiga:
Analisa dan Kesimpulan dari Pendapat Ulama Terdahulu.

Dari penjelasan di atas, tampaklah dengan jelas bahwa semua fuqaha itu sangat terpengaruh oleh adanya hadits tentang peniupan ruh dan penjelasan tentang fase-fase penciptaan yang dilalui oleh janin, sesuai dengan ketentuan dan kehendak Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Pada bagian ini, kami akan menyimpulkan dari pendapat-pendapat para fuqaha dan membaginya berdasarkan fase-fase perkembangan janin tersebut, sambil berusaha untuk mencarikan titik temunya:

1. Fase empat puluh hari pertama (fase nuthfah/zigot). Sebagian besar fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan al-Lakhami dari Malikiyah, membolehkan pengguguran janin pada usia empat puluh hari pertama. Sedangkan sebagian besar ulama Malikiyah mengharamkannya, demikian juga sebagian fuqaha Hanafiyah, al-Ghazali dari fuqaha Syafi’iyah, Ibnul Jauzi dari fuqaha madzhab Hambali.

2. Fase empat puluh hari kedua (fase ‘alaqah/segumpal darah). Sebagian besar fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah dan Ibnu Aqil dari fuqaha Hanabilah membolehkan pengguguran janin pada usia ini. Sedangkan semua fuqaha Malikiyah mengharamkannya. Begitu juga sebagian fuqaha Hanafiyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah dan al-Ghazali dan madzhab Syafi’i.

3. Fase empat puluh hari ketiga (fase mudghah/segumpal daging). Sebagian besar fuqaha Hanafiyah, jumhur fuqaha Syafi’iyah, dan Ibnu Aqil dari madzhab Hambali berpendapat boleh menggugurkannya. Sedangkan semua fuqaha Malikiyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah, Hanafiyah, dan al-Ghazali dari fuqaha Syafi;iyah serta pengit-pengikutnya mengharamkannya dengan alas an karena fase ini dianggap waktu yang sudah dekat dengan peniupan ruh.

4. Semua ulama sepakat bahwa pengguguran kandungan sebelum umur janin menginjak empat bulan penuh, hakikat dan hukum penggugurannya secara mendatail masih diperselisihkan. Untuk itu mereka tidak menganggapnya sebagai pembunuhan manusia dan dosa pembunuhan. Telah kami nukil di atas dari Ibnu Qudamah, “Adapun sebelum peniupan ruh, maka janin tidak mempunyai jiwa, maka tidak perlu dishalati, seperti benda mati dan darah.” Begitu juga Ibnu Hazm mengenai hakekat ini mengatakan bahwa pengguguran kandungan sebelum berumur empat bulan tidak dianggap sebagai pembunuhan terhadap ruh manusia dan tidak pula memindahkan dari kehidupan menuju kematian. Demikianlah yang dinukil oleh asy-Syaukani dari Imam Syafi’i, “ Dimandikan bagi janin yang telah berusia empat bulan, karena pada empat puluh hari keempat ditetapkan rezeki dan ajalnya dan itu ditetapkan hanya untuk makhluk hidup.” (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 83)

Dia juga menukil dari ulama lain, “Sesungguhnya janin yang telah ditiupkan ruh padanya harus dishalati bila meninggal dunia, yaitu bila usianya telah sampai empat bulan. Adapun jika janin itu gugur sebelum itu, maka tidak perlu dishalati, karena dia bukan mayat, karena belum ditiupkan ruh kepadanya.” (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 83)

Perbedaan antara kedua fase perkembangan itu sangat jelas bagi orang-orang yang membolehkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh dan mengharamkan sesudahnya. Adapun bagi orang-orang yang mengharamkannya pada dua fase perkembangan itu (sebelum dan sesudah peniupan ruh), seperti yang telah dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa tingkat keharaman pengguguran kendungan menurut mereka, berbeda-beda sesuai dengan tingkat umur janin, hingga pengguguran janin yang telah berumur empat bulan pertama dianggap sebagai pembunuhan terhadap manusi, sedangkan sebelum itu tidak dianggap sebagai pembunuhan. Demikian juga dapat dilihat, dari alas an mereka ketika mengharamkan pengguguran kandungan, mreka tidak beralasan karena itu membunuh manusia, melainkan karena merusak makhluk yang disiapkan untuk menerima peniupan ruh hingga akhirnya menjadi manusia.

Kesepakatan para fuqaha yang mebedakan antara dua fase perkembangan janin (sebelum dan sesudah peniupan ruh) iotu terjadi, karena mengamalkan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud dan hadits yang menjelaskan bahwa janin sebelum mencapai umur empat bulan adalah makhluk yang tidak mempunyai ruh. Tetapi dia memiliki kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah, sehingga dia bisa berkembang dan membentuk atas izin-Nya. Hingga ketika sampai berusia empat bulan, Allah memberikan sifat-sifat kemanusiaannya dengan meniupkan ruh kepadanya.

5. Jika masalahnya demikian dan pengguguran janin sebelum peniupan ruh tidak dianggap pembunuhan terhadap manusia berdasarkan kesepakatan fuqaha, maka kami berpendapat bahwa pengguguran janin pada fase perkembangan pertama diperbolehkan jika ada alas an yang rasional, yang tidak dipertentangkan oleh madzhab-madzhab fiqih yang berbeda-beda.

Adapun bagi madzhab yang membolehkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh ini sudah jelas. Adapun bagi madzhab yang mengharamkannya, menurut perkiraan saya, mereka tidak bermaksud mengharamkannya dalam keadaan yang ada udzurnya. Hingga Malikiyah yang sangat keras pengharamannya dalam masalah ini, ada di antara ulamanya yang berpendapat perlunya mensyaratkan pengharaman yang dipegang oleh madzhab, agar diperbolehkan menggugurkan janin, jika kehamilan itu disebabkan karena perbuatan zina, khususnya jika wanita itu takut pada dirinya sendiri apabila kehamilannya diketahui oleh orang banyak. (Fath al-Ali al-Malik, juz. I, hal. 399)

Jika para fuqaha tidak menyebutkan kecuali hanya beberapa udzur saja, seperti ditakutkan bayi itu meninggal karena air susu ibu tidak mengalir ketika masa hamil sementara tidak ada lagi jalan lain untuk mencari penggantinya, (al-Injab fi Dhau’i al-Islam, hal. 303), hal itu karena sesuai dengan pengetahuan mereka tentang ilmu kedokteran. Sementara itu mereka tidak banyak mengetahui dalam hal ini, kemungkinan-kemungkinan yang akan teerjadi pada ibunya jika janin itu tetap berada di dalam peritnya hingga melahirkan.

Pada saat ini, di mana ilmu kedokteran sudah maju pesat, seorang dokter bisa mengetahui berbagai macam bahaya pada janin jika ada di dalam perut ibunya dan berbagai macam bahaya yang menimpa ibu yang hamil jika janin dibiarkan hingga bulan-bulan terakhir kehamilan. (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 590) Yaitu udzur-udzur (alas an-alasan) yang tidak kalah pentingnya dengan alas an-alasan yang disebutkan oleh para fuqaha, sehingga sebaiknya madzhab-madzhab itu perlu memperhatikannya.

Dari paparan di atas, tidak ada satu pun sumber yang dijadikan pegangan oleh para ulama yang mengharamkan pengguguran kandungan pada fase sebelum peniupan ruh, bahkan mereka sendiri sepakat untuk mengatakan bahwa menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh tidak dianggap membunuh manusia walaupun hukumnya haram, tetapi karena merusak sesuatu yang bermanfa’at, karena seandainya janin itu tetap hidup dia nantinya akan menjadi manusia. Adapun jalan keluar yang akhirnya ditempuh oleh para ulama, bahwa dosa itu bertingkat-tingkat derajat dan bobotnya. Selama dosa pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, menurut mereka yang mengharamkannya, jauh lebih kecil daripada dosa membunuh jiwa, dan itu pun masih dilihat dulu besar-kecilnya janin. Jadi masalah ini masih sangat memungkinkan untuk menerima udzur-udzur tertentu bagi pelaksaannya, karena para fuqaha tidak melihat adanya dosa pada sesuatu yang dilakukan karena udzur, selain membunuh jiwa yang makshum.