Ilmu kedokteran modern menetapkan bahwa belum ada obat untuk mengatasi penyakit ini, maka orang yang positif terjangkit penyakit ini tidak bisa terbebas darinya, ia senantiasa bersamanya, bahkan ia membawanya kepada kematiannya. Di samping itu ilmu kedokteran menetapkan bahwa penyakit ini termasuk penyakit menular.

Penyakit ini terkait dengan fikih dari beberapa segi. Di sini penulis merangkum keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami no. 94/7D 9 yang diambil dalam muktamarnya yang kesembilan di Abu Dhabi Uni Emirat Arab dari tanggal 1 April sampai dengan 6 April 1995 M.

Segi-segi fikih yang berkait dengan penyakit ini adalah:
1. Hukum mengisolasi penderita.
2. Hukum menularkan penyakit dengan sengaja.
3. Hak dan kewajiban suami istri terkait dengan:
A. Hukum menggugurkan kandungan oleh ibu penderita penyakit ini.
B. Hukum hadhanah (hak asuh) ibu penderita penyakit ini.
C. Hak suami atau istri dalam menuntut berpisah.

1. Hukum mengisolasi penderita

Ilmu kedokteran telah memastikan bahwa penularan penyakit ini tidak terjadi melalui pergaulan hidup atau persentuhan atau pernafasan atau melalui kebersamaan dalam makan, minum, tempat atau alat-alat sehari-hari, akan tetapi ia terjadi melalui satu dari empat cara pokok berikut:
(a) Hubungan seksual.
(b) Transfusi darah yang membawa virus.
(c) Jarum suntik di kalangan pecandu narkoba.
(d) Dari ibu hamil kepada janinnya.

Berdasarkan kepada kesimpulan ilmu kedokteran di atas maka tidak wajib secara syar’i mengisolasi penderita dari orang-orang sehat yang ada di sekitarnya. Tindakan-tindakan terkait dengan penderita dikembalikan sesuai dengan standar kedokteran yang berlaku.

2. Hukum menularkan penyakit dengan sengaja

Haram hukumnya menularkan penyakit ini oleh penderita kepada orang sehat. Perbuatannya ini termasuk dosa besar, pelakunya bisa dikenakan hukuman dunia sesuai dengan dampak negatif yang timbul dari perbuatan tersebut terhadap pribadi dan masyarakat.

Jika tujuan orang yang menyebarkan penyakit ini adalah agar penyakit ini merajalela di masyarakat maka perbuatannya ini termasuk salah satu tindak kejahatan hirabah dan membuat kerusakan di muka bumi. Ancaman hukumannya adalah sebagaimana yang Allah firmankan,

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (Al-Maidah: 33).

Jika tujuan orang yang menularkan adalah orang tertentu dan orang tersebut tertular maka jika dia belum mati maka orang yang menularkan diancam hukuman ta’zir yang sesuai dengan perbuatannya, namun jika yang ditulari wafat maka bisa dikaji untuk diterapkan hukuman pembunuhan atas orang yang menularkan.

3. Hak dan kewajiban suami istri terkait dengan :

A. Menggugurkan kandungan oleh ibu yang menderita penyakit ini

Dengan pertimbangan bahwa penularan penyakit ini dari ibu kepada janinnya umumnya tidak terjadi kecuali setelah ditiupnya ruh kepada janin atau pada saat kelahiran maka menggugurkan janin tidak dibolehkan secara syar’i.

B. Hadhanah (hak asuh) ibu yang menderita penyakit ini

Ilmu kedokteran telah menetapkan bahwa penularan penyakit ini bukan melalui pergaulan sehari-hari, maka tidak ada yang perlu ditakutkan jika ibu tetap mengasuh atau bahkan menyusui anaknya yang negatif penyakit ini. Jadi secara syar’i tidak ada halangan bagi ibu untuk mengasuh selama tidak ada penghalang dari sisi medis.

C. Hak menuntut berpisah jika suami atau istri posirif

Suami atau istri yang positif mengidap penyakit ini tidak boleh menyembunyikannya dari pasangannya, dia harus berterus terang untuk menghindari penularannya kepada pasangan, dengan pertimbangan bahwa penyakit ini menghalangi salah satu tujuan utama pernikahan dan membuat suami atau istri takut tertular karena penularannya melalui hubungan suami atau istri maka suami atau istri yang sehat berhak menuntut berpisah dengan pertimbangan di atas, karena pada dasarnya semua cacat atau aib yang menghalangi terwujudnya tujuan pernikahan dan membuat istri atau suami menjauh dari yang lain maka ia menetapkan hak memilih kepada suami atau istri. Wallahu a’lam.

Penutup

Seperti sudah ditetapkan oleh ilmu kedokteran bahwa faktor pemicu penyakit ini adalah hubungan bebas yang dalam bahasa agama adalah zina dan yang berkait dengannya. Zina di samping menjadi pemicu utama, ia juga menjadi perantara utama penularan penyakit ini. Jika demikian maka tidak ada solusi kecuali menutup zina dan segala pintu yang mengarah kepadanya. Hanya ini solusinya karena ia memang akar dan biang keladinya. Selama zina dan yang berkait dengannya dibiarkan maka penyakit ini tidak akan pernah bisa diatasi malah justru meroket tajam dan realita membuktikan di negara di mana penduduknya hidup tanpa terikat dengan nilai-nilai Islam, hubungan laki-laki dengan wanita begitu bebas, serba boleh, jumlah orang yang positif dengan penyakit ini semakin bertambah tiap harinya, sebaliknya sebaliknya, anehnya meskipun akar persoalan telah diketahui dengan pasti, mereka masih saja menutup mata darinya dengan berpura-pura mencari solusi yang seperti al-Qur`an la yusminu wala yughni min ju’ atau seperti kata orang Arab la yasfi alilan wala yurwi ghalilan (tidak menyembuhkan yang sakit dan tidak menghilangkan dahaga orang yang dahaga), tetapi begitulah jika nafsu telah diperturutkan dan tuntunan Islam yang luhur dan bersih di-emohi.