Tanya :

Kami ingin mengetahui juga apa saja hal-hal yang mewajibkan seseorang mandi, dan bagaimana cara mandi yang benar?

Jawab :

Cara mandi wajib ada dua macam:
1. Cara wajib, yakni dengan meratakan air ke seluruh tubuh ter-masuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya lagi). Jika air telah merata ke seluruh tubuhnya dengan cara bagaimanapun juga, dengan begitu, hadats besar yang terdapat pada tubuhnya telah hilang.
2. Cara sempurna, yakni mandi dengan mengikuti contoh mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau mandi jinabat, beliau mencuci kedua telapak tangan-nya terlebih dahulu, mencuci kemaluannya dan mencuci bekas kotoran dari jinabah, kemudian berwudhu secara sempurna, sebagaimana telah diterangkan dalam bab wudhu, membasuh kepalanya dengan air 3 kali siraman, kemudian membasuh sisa anggota tubuh yang belum tersiram.
Adapun hal-hal yang mewajibkan seseorang mandi adalah:
1. Keluar mani disertai syahwat, baik dalam keadaan sadar atau dalam mimpi. Akan tetapi mimpi keluar mani dalam tidur, sudah pasti menyebabkan seseorang wajib mandi, sekalipun tidak disertai syahwat. Karena orang yang tidur kadang bermimpi tetapi bisa saja tidak merasa. Sudah pasti bagi yang keluar mani disertai syahwat, dalam keadaan bagaimanapun juga ia wajib mandi. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.
“Air itu dikarenakan air.” (HR.Muslim), Maksudnya, mandi itu diwajibkan karena keluar air mani.
2. Jima’ (bersetubuh). Jika seorang suami menyetubuhi istrinya, maka ia wajib mandi. Seseorang dikatakan berjima’, jika ia memasukkan pucuk dzakarnya ke dalam farji istrinya. Manakala pucuk dzakarnya telah masuk farji istrinya ia diwajibkan mandi, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدَ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يَنْزِلْ.
“Jika seorang laki-laki (suami) duduk di antara empat cabang (kedua kaki dan kedua tangan) istrinya, kemudian menyetubuhinya maka sung-guh ia telah diwajibkan mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Sungguh, betapa banyaknya orang yang tidak mengetahui hukum jima’ dengan tidak mengeluarkan mani seperti ini.
Di antara mereka ada yang sudah berminggu-minggu atau bah-kan berbulan-bulan tidak mandi jinabat, padahal ia bersetubuh dengan istrinya tanpa mengeluarkan mani.
Sebagai seorang muslim wajib mengetahui permasalahan di atas dan mengetahui batas-batas yang diperintahkan Rasul-Nya. Misalnya, jika seorang suami bersetubuh dengan istrinya sekalipun tidak keluar mani, ia tetap wajib mandi begitu pula istrinya.
3. Keluar darah haidh dan nifas. Seorang wanita jika telah suci dari haidhnya, ia diwajibkan mandi, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al-Baqarah: 222).
Demikian juga wanita yang selesai nifas, diwajibkan mandi.
Dan berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita mus-tahadhah, apabila telah sesuai dengan hari berhenti haidhnya hendak-nya ia mandi. (Lihat, hadits Bukhari dan Muslim, kitab al-Haidh)
Cara mandi wanita haidh dan wanita nifas sama dengan cara mandi wanita jinabah. Hanya saja menurut sebagian ulama, bagi wanita haidh disunnahkan (mustahab) untuk mandi dengan air yang dicampur daun bidara karena dapat lebih membersihkan kotoran (bau darah).
4. Mati. Menurut sebagian ulama di antara yang mewajibkan mandi adalah mati, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita-wanita yang sedang memandikan jenazah putri beliau:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ.
“Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, tujuh kali ataupun lebih dari itu, jika memang baik menurut pendapat-pendapatmu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Dan sebagaimana sabda Nabi n berkenaan dengan seorang laki-laki yang terlontar dari untanya sehingga menyebabkan dia mening-gal dunia:
إِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفًّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur daun bidara, dan kafanilah dengan dua lembar kain.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Dari nash-nash hadits di atas para ulama berkata: Jenazah itu wajib dimandikan, namun kewajiban ini berlaku bagi orang yang masih hidup, dan merekalah yang menjadi sasaran perintah dalam memandikan jenazah, karena orang mati sudah terputus beban taklifnya.