Hidup semakin sulit, fakta yang sulit untuk dibantah karena kenyataan memang berbicara demikian, beberapa kalangan merasakan hal itu. Harga-harga terus merangkak naik, kebutuhan-kebutuhan hidup semakin mahal bahkan terkadang langka. Lapangan pekerjaan semakin sempit kerena diperebutkan oleh banyak orang, sudah sempit yang menginginkannya banyak lagi, mencari uang tidak mudah, giliran dapat, uang di tangan, dengan mudah ia melayang karena harus dipakai untuk menutupi ini dan itu.

Penulis tidak membeberkan fakta lapangan dalam hal ini karena pembaca bisa melihat atau mendengar sendiri secara langsung. Penulis juga tidak akan mengulas masalah ini dengan kaca mata ekonomi, karena penulis bukan seorang ekonom. Yang paling penting bagi penulis secara pribadi sebagai muslim adalah mengkaji masalah ini dari sudut pandang agama. Mengapa sampai terjadi seperti ini? Apa jawabannya ditilik dari sudut pandang agama? Sebagai seorang muslim, sudut pandang agama dalam menimbang sesuatu adalah lebih penting daripada yang lain, perkara yang lain hanyalah akibat atau imbas dari sudut ini.

Dari sisi pandang agama, penulis melihat kesulitan hidup yang menimpa bisa terjadi karena berbagai macam sebab, di antaranya:

Minim Takwa

Takwa berarti menjaga diri dari azab Allah dengan menaatiNya. Karena orang yang bertakwa adalah orang yang dekat kepada Allah, mempunyai kedudukan tinggi di hadapanNya, memiliki derajat terhormat di mataNya, maka tidak mengherankan jika Allah Ta’ala care (memperhatikan) kepadanya. Dia akan memudahkan hidupnya, melapangkan pintu rizkinya, melindunginya dari marabahaya, mengentaskannya dari kesulitan dan menghilangkan kesedihannya, sehingga kehidupannya menjadi kehidupan yang tenang, tenteram dan berhagia.

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3). Dua janji mulia dari Allah kepada orang yang bertakwa, jalan keluar, solusi, problem solving dari apa? Dari apa yang kita ingin keluar darinya, dari kesulitan hidup, dari mahalnya harga-harga, dari kemiskinan dan dari… dari yang lainnya. Ibnu Abbas berkata, “Dari segala kesulitan dunia dan akhirat.” Ini satu. Kedua, rizki yang tidak terduga, rezki nomplok kata orang, tidak terbayang di benak, tidak terlintas dalam pikiran, tiba-tiba ia datang menghampiri.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96). Perhatikanlah, “Barakaat.” dengan kata jamak yang menunjukkan jumlah besar, di samping itu kata ini mengandung makna kebaikan, artinya apa yang Allah buka untuk mereka membawa kebaikan bagi mereka, di samping itu kata ini mengandung tetapnya kebaikan itu dan kelanggengannya, tidak mudah dicabut. Perhatikanlah, “Dari langit dan bumi.” Ini berarti ia mengalir dan mengucur dari segala arah. Rizki yang datang dari atas turun dan yang datang dari bawa pun muncul, kemakmuran merambah segala segi, kehidupan menjadi mudah dan keberkahan mengelilingi.

Minim Syukur

Syukur adalah mengakui nikmat dari Allah dengan hati dan lisan dan membuktikannya dengan perbuatan. Siapa yang tidak mengakui nikmat dari Allah dengan hatinya maka dia belum bersyukur. Siapa yang mengakui dengan hatinya namun menolak mengungkap dengan kata-kata maka dia belum bersyukur. Siapa yang mengakui nikmat dengan hatinya dan mengungkapkan dengan kata-katanya, namun dia tidak membuktikannya dengan perbuatan maka dia belum bersyukur.

Lawan syukur adalah kufur (nikmat), kufur nikmat ini mencabut dan melenyapkannya, bahkan terkadang tidak terbatas pada mencabut dan melenyapkan, ia bisa lebih dari itu yaitu mendatangkan dan menghadirkan, maksud penulis azab dan murka dari Allah Ta’ala. Sejarah membuktikan apa yang penulis katakan. Qarun dengan kemewahannya, akhirnya amblas ditelan bumi karena kekufurannya terhadap nikmat Allah. Tiga orang laki-laki Bani Israil, orang yang terkena penyakit lepra, orang botak dan orang buta, semuanya disembuhkan oleh Allah lalu diberi harta kesukaannya yang akhirnya berkembang melimpah, namun dua orang pertama tidak lulus ujian, alias tidak punya syukur, maka Allah mencabut apa yang telah Dia berikan dan mengembalikan mereka seperti sediakala.

Bangsa Saba` dengan negeri yang makmur, bumi yang subur, hidup berkalang nikmat, hal ini berbalik seratus delapan puluh derajat manakala mereka berpaling dari Pemberi nikmat “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Kepada mereka dikatakan, ‘Makanlah olehmu dari rizki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepadaNya. Negerimu adalah negeri yang baik dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Pengampun.’ Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu) melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba`: 15-17).

Bukti-bukti sejarah dari al-Qur`an dan sunnah serta realita kehidupan berjumlah besar dalam hal ini, kalau kita menyinggungnya satu demi satu niscaya halaman ini menjadi panjang lebar, apa yang disebutkan sudah mewakili yang lain. Yang penting dan perlu diingat adalah bahwa minim syukur membuat hidup ini semakin kabur alias tidak jelas dan sulit. Sebaliknya sebaliknya. Mahabenar Allah Ta’ala yang telah berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu akan tetapi jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.” (Ibrahim: 7).

Realita kehidupan kita secara umum masih menunjukkan minim syukur kalau tidak kufur, banyak bukti yang menguatkan hal ini. Sebagian besar dari kita tidak pernah terlintas di benaknya pada saat dia mendapatkan rizki atau anugerah dari Allah bahwa hal itu semata-mata pemberianNya. Sebagian besar dari kita ketika mendapatkan rizki dan kemudahan hidup tidak menggunakannya dalam rangka meraih ridha Allah sebagai Pemberi, justru sebaliknya dia menggunakannya untuk hal-hal yang mengundang murkaNya, berfoya-foya, menghambur-hamburkan dan menyiakan-nyiakannya. Sikap seperti inilah yang membuat hidup semakin sulit. Seandainya orang-orang yang dilimpahi kenikmatan oleh Allah itu sedikit mau bersyukur dengan menggunakan hartanya demi kebaikan niscaya hidup ini akan lebih mudah dan lebih ringan.

Minim Tawakal

Tawakal menurut Imam al-Ghazali adalah menyandarkan hati hanya kepada al-Wakil (yang ditawakali), yaitu Allah. Penulis menambahkan, dengan mengikuti atau mengambil sebab-sebabnya. Jadi dalam tawakal terdapat dua sisi di mana tawakal belum sempurna tanpa keduanya. Penyandaran hati kepada Allah dan mengambil sebab-sebab. Menyandarkan hati saja tanpa mengambil sebab-sebab bukan tawakal akan tetapi kelemahan. Mengambil sebab-sebab semata dengan tidak menyandarkan hati kepada peletaknya bukan tawakal akan tetapi keangkuhan. Seorang muslim yang baik jangan menjadikan kelemahannya sebagai tawakal, dan tawakalnya sebagai kelemahan, jangan menjadikan keangkuhannya sebagai tawakal dan tawakalnya sebagai keangkuhan.

Dalam wacana kehidupan, yang banyak terjadi adalah lemahnya atau minimnya sisi penyandaran diri kepada Allah Ta’ala, di mana orang-orang hanya menengok kepada sebab-sebab dan menjadikannya sebagai pegangan, yang dibahas dalam forum-forum adalah sekedar teori, penulis tidak antipati dengan hal itu, namun menurut hemat penulis apalah arti dari semua itu jika orang-orangnya berhati kosong dari tawakal dan bersandar kepada Allah? Ini yang terlihat. Alangkah bagusnya jika tawakal ini benar-benar diwujudkan dalam arti yang sebenarnya, ia akan mengurai banyak benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Sungguh, seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kamu akan diberi rizki seperi burung itu diberi rizki, ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Yang jelas apa yang penulis paparkan merupakan janji dari Allah dan Allah tidak menyelisih janjiNya, kalau pun belum terwujud maka tengoklah diri sendiri, karena di sana pasti terjadi ketimpangan dalam takwa atau sukur atau tawakal sehingga janjiNya belum terwujud. Wallahu a’lam.