Syaikh Ahmad Syakir, salah seorang Ahli Hadits kontemporer dari Mesir bercerita tentang salah seorang penceramah di Mesir yang fasih lidahnya, orator dan piawai. Suatu ketika saat hendak berkhuthbah, dia ingin memuji salah seorang penguasa Mesir atas sambutan dan penghormatannya kepada Thaha Husein, dia berkata, “Telah datang seorang yang buta, namun dia tidak cemberut dan tidak berpaling darinya.”

Yang dimaksudnya dengan orang buta di sini adalah Thaha Husein, seorang sastrawan sekuler terkenal yang memang buta mata dan juga hatinya. Perkataan penceramah itu sebenarnya sebagai bentuk Iqtibas (pengutipan) terhadap makna ayat al-Qur’an, surat ‘Abasa.

Mendengar hal itu, Syaikh Muhammad Syakir, ayahanda syaikh Ahmad Syakir berdiri di hadapan para jema’ah begitu shalat usai seraya mengumumkan kepada mereka bahwa shalat yang mereka lakukan tersebut batal, tidak sah hukumnya dan mereka harus mengulanginya sebab si khathib tersebut telah kafir dengan caciannya terhadap Rasulullah (Karena itu artinya bahwa Thaha Husein, sebagai orang buta yang disinggungnya itu, menurutnya lebih baik dan lebih mulia ketimbang Rasulullah karena beliau bersikap cemberut dan berpaling ketika seorang buta bernama Ibnu Ummi Maktum datang dimana karenanya turun surat ‘Abasa itu yang merupakan teguran buat Rasulullah sedangkan Thaha Husein, si buta itu tidak demikian, na’udzu billah min dzâ lik-red.,).

Syaikh Ahmad Syakir mengutarakan,
“Akan tetapi Allah tidak membiarkan kejahatan si penjahat ini di dunia ini sebelum mengazabnya kelak di akhirat. Aku bersumpah, Demi Allah, sungguh aku telah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri hidup hina dan merana menjadi jongos di salah satu masjid sebagai penjaga titipan sandal-sepatu. Hal ini terjadi setelah beberapa tahun kemudian dan setelah orang tersebut berada di puncak kehidupan, meraih kesenangan duniawi dan merasa bangga hidup di bawah ketiak para penguasa dan pembesar. Karena kondisinya itu, aku merasa malu kalau dia melihatku sebab kami sama-sama saling mengenal. Sikapku ini bukan karena kasihan terhadapnya karena sudah ada tempat kasihan terhadap orang yang seperti itu dan juga bukan karena ingin mencacinya sebab orang yang mulia dan luhur biasa mulia dengan cacian orang lain akan tetapi karena betapa pelajaran dan makna yang dapat saya lihat dari pemandangan itu.”

(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar karya ‘Adil bin Muhammad Ali ‘Abdil ‘Aly, h.11-12)