Tanya :

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Apakah cukup dengan membasuh kemaluannya dan membalutnya serta berwudhu bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadhah (wanita mustahadhah) untuk melaksanakan shalat, ataukah ia harus mandi setiap akan shalat sebagaimana mandi junub?

Jawab :

Diwajibkan bagi wanita mustahadhah untuk mandi satu kali setelah habis masa haidhnya, kemudian setelah itu tidak wajibkan baginya untuk mandi sampai tibanya masa haidh berikutnya, namun ia harus ber-wudhu setiap kali akan melaksanakan shalat. Ketetapan ini bersumber dari riwayat yang terdapat dalam kitab Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiallaahu anha , bahwa ia berkata: “Fatimah binti Hubaisy datang menemui Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang mengalami istihadhah maka saya tidak suci, apakah saya harus meninggalkan shalat?’ Maka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

لاَ إِنمَّاَ ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكَ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاَةٍ حَتَّى يَجِيْءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ

“Tidak, sebab darah itu darah peluh dan bukan darah haidh, jika eng-kau mendapatkan haidhmu maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah habis masa haidhmu maka mandilah engkau dan bersihkanlah darah itu kemudian berwudhulah engkau setiap kali akan shalat hingga tiba wak-tunya (waktu haid yang lain).”

Dan juga berdasarkan riwayat lain dalam kedua kitab tersebut, dari ‘Ai-syah Radhiallaahu anha : “Bahwa Ummu Habibah mengalami istihadhah selama tujuh tahun, lalu ia bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang hal itu, maka beliau pun memerintahkannya untuk mandi, beliau bersabda:

“Ini adalah darah peluh”, Maka dari itu Ummu Habibah selalu mandi setiap akan shalat”. Yang ditunjukkan oleh kedua hadits ini, adalah bahwa hadits Ummu Habibah bersifat mutlak (umum) sementara hadits Fatimah bersifat terikat (khusus), dan sesuai dengan kaidah, maka ungkapan yang bersifat umum harus diartikan kepada ungkapan yang bersifat khusus, dengan begitu kedua hadits ini mempunyai makna; hendaklah seorang wanita melakukan mandi wajib pada saat habis masa haidhnya lalu ber-wudhu setiap kali akan shalat. Jadi pada dasarnya seorang wanita musta-hadhah diharuskan mandi setiap kali akan shalat, namun perintah ini tidak berarti wajib, sebab seandainya perintah ini wajib maka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pasti telah menerangkannya sebab hal ini me-merlukan penjelasan, dan para ulama telah sepakat bahwa Nabi Shalal-laahu alaihi wasalam tidak akan menunda suatu keterangan saat keterangan itu dibutuhkan.

An-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim berkata setelah menyebutkan kedua hadits ini: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada kewajiban mandi bagi wanita mustahadhah pada setiap shalat, juga tidak ada kewajiban mandi pada setiap waktu kecuali satu kali mandi yaitu pada saat habisnya masa haidh. Dan oleh karena itu sebagian besar ulama salaf dan khalaf berpendapat seperti ini, yaitu yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Aisyah ra, pendapat ini juga merupakan pendapat dari Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, Imam Malik, Imam Abu Hani-fah dan Imam Ahmad.
( Fatawa wa Rawa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/100 )