Demi ilmu dia melakukan perjalanan menembus benua, berasal dari benua biru Eropa, negeri Andalusia, membelah padang pasir benua Afrika dan menginjakkan kakinya di Timur Tengah. Demi ilmu dia melakukan itu, tidak perlu membayangkan biaya yang dia keluarkan, waktu yang dia perlukan dan kelelahan yang dia rasakan serta tantangan yang dia hadapi, karena semua itu jelas terpampang di depan mata tanpa perlu membayangkannya. Demi ilmu, sebuah tuntutan luhur, hajat mulia dan target tinggi, man yakhtub al-hasna` lam yughlihi al-mahru, ‘siapa yang meminang gadis cantik maka tidak ada kata mahar mahal’.

Demi ilmu dia melakukan sesuatu yang unik dan ajaib, tidak terpikirkan dalam otak, tidak terbayangkan dalam benak dan tidak terbersit dalam hati, dia bukan seorang aktor, bukan bintang film, bukan sutradara sehingga hal ini mungkin sudah ada dalam skenarionya, tetapi dia seorang ulama, pemerhati hadits dan pecinta sunnah. Sekali lagi demi ilmu dia menemukan sebuah peran dan rela menjalaninya. Mafi musykilah selama itu demi ilmu.
Tercantum di dalam al-Manhaj al-Ahmad fi Tarajim Ashab al-Imam Ahmad karya al-Ulaimi 1/177 dan di dalam Ikhtishar an-Nablusi li Thabaqat al-Hanabilah karya Ibnu Abu Ya’la hal. 79 tentang biografi Imam Baqi bin Makhlad al-Andalusi, dia adalah Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad al-Andalusi al-Hafizh, lahir tahun 201 H, melakukan perjalanan ke Baghdad dengan kedua kainya, keinginan besarnya adalah bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal dan mengambil ilmu darinya.

Baqi bin Makhlad berkata, “Ketika aku hampir tiba di Baghdad, aku mendengar berita ujian yang menimpa Ahmad bin Hanbal, bahwa berkumpul dan mendengar dari beliau dilarang, aku sangat sedih karenanya, lalu aku memilih tempat singgah, setelah aku meletakkan barang bawaanku di kamar yang aku kontrak di sebuah penginapan, aku tidak melakukan apa pun selain mendatangi masjid jami’, aku ingin duduk bersama halaqah-halaqah dan mendengar apa yang mereka bicarakan.

Aku mendatangi sebuah halaqah yang mulia, seorang laki-laki membeber para rawi, dia mendhaifkan dan menguatkan, aku bertanya kepada orang yang berada di dekatku, “Siapa dia?” Dia menjawab, “Yahya bin Ma’in.” Maka aku melihat sebuah cela yang terbuka di dekatnya, aku bergegas kepadanya, aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Zakariya, semoga Allah merahmatimu, seorang laki-laki perantau, negerinya jauh, aku ingin bertanya, mohon jangan meremehkanku.” Dia berkata kepadaku, “Katakanlah.” Maka aku bertanya kepadanya tentang sebagian ahli hadits yang aku temui, dia men-ta’dil sebagian dari mereka dan men-jarh sebagian yang lain.

Di akhir pertanyaan aku bertanya kepadanya tentang Hisyam bin Ammar, aku sendiri banyak mengambil darinya, Yahya berkata, “Abu al-Walid Hisyam bin Ammar, ahli shalat, dari Damaskus, tsiqah bahkan di atas tsiqah, kalaupun di balik pakaiannya terdapat kesombongan atau dia menenteng kesombongan maka itu tidak berpengaruh apa pun terhadapnya karena kebaikan dan kemuliaannya.” Maka orang-orang di halaqah berteriak, “Cukup bagimu semoga Allah merahmatimu, yang lain juga memiliki pertanyaan.”

Maka aku berkata sambil berdiri, “Aku bertanya kepadamu tentang seorang laki-laki, Ahmad bin Hanbal?” Maka Yahya bin Ma’in memandangku heran, dia berkata kepadaku, “Orang seperti kita membeber Ahmad bin Hanbal? Dia adalah Imam kaum muslimin, orang terbaik dan termulia dari mereka.”

Kemudian aku keluar mencari tahu rumah Ahmad bin Hanbal, ada yang menunjukkan, aku mengetuk pintunya, maka dia keluar dan membuka pintu, dia melihat seorang laki-laki yang belum dikenalnya, aku berkata, “Wahai Abu Abdullah, seorang laki-laki perantau, negerinya jauh, ini adalah kedatanganku pertama kali di negeri ini, aku pencari hadits dan pengunpul sunnah, aku tidak melakukan perjalanan kecuali kepadamu.” Dia berkata kepadaku, “Masuklah lorong itu dan jangan sampai terlihat oleh seorang pun.”

Dia bertanya kepadaku, “Di mana negerimu?” Aku menjawab, “Maghrib yang jauh.” Dia bertanya kepadaku, “Afrika?” Aku menjawab, “Lebih jauh lagi, aku menyeberangi lautan untuk tiba di Afrika, negeriku Andalus.” Dia berkata, “Negerimu benar-benar jauh, tidak ada sesuatu yang lebih aku sukai daripada membantu orang sepertimu dengan baik untuk mewujudkan keinginannya, hanya saja saat ini aku sedang menghadapi ujian dengan sesuatu yang mungkin kamu telah mendengarnya.” Aku berkata, “Benar, aku telah mendengarnya pada saat aku berjalan kepadamu dan hampir tiba di sini.”

Aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdullah, ini adalah kedatanganku yang pertama, aku adalah orang yang tidak dikenal di kalangan kalian, jika Anda berkenan aku datang setiap hari dengan menyamar sebagai peminta-minta, di pintu aku akan mengucapkan apa yang mereka ucapkan, lalu Anda keluar ke tempat ini, seandainya Anda tidak menyampaikan setiap hari kecuali satu hadits saja maka hal itu sudah cukup bagiku.” Dia menjawab, “Ya, dengan syarat kamu jangan muncul di halaqah-halaqah dan tidak pula pada para ahli hadits.” Aku menjawab, “Aku berjanji.”

Aku mengambil ranting pohon di tangan, membebat kepala dengan kain, kertas dan tinta aku sembunyikan di balik lengan bajuku, lalu aku mendatangi pintunya sambil berteriak, “Pahala, semoga Allah merahmati kalian.” Begitulah yang diteriakkan oleh para peminta-minta di sana, maka dia keluar kepadaku dan menutup pintu, dia menyampaikan dua, tiga hadits atau lebih kepadaku.

Aku terus melakukan hal itu sampai orang yang menimpakan ujian atasnya mati dan setelahnya kepemimpinan dipegang oleh orang yang berpegang kepada madzhab sunnah, maka Ahmad bin Hanbal muncul, namanya naik, dia dihormati di mata manusia, imamahnya terkenal, orang-orang berduyun-duyun mendatanginya, dia tetap menghargai kesabaranku yang sesungguhnya.

Jika aku mendatangi halaqahnya, dia melapangkannya untukku dan mendekatkanku kepada dirinya, dia berkata kepada ashab hadits, “Orang ini berhak menyandang nama pencari ilmu.” Kemudian dia menceritakan kisahku dengannya, dia menyodorkan hadits kepadaku, membacanya kepadaku dan aku membacanya kepadanya.

Aku sakit, aku berusaha sembuh darinya, dia mencariku karena aku tidak hadir di majlisnya, dia bertanya tentangku, ada yang memberitahu sakitku kepadanya, maka dia langsung berdiri, berjalan kepadaku menjengukku dengan orang-orang yang bersamanya, pada saat itu aku terlentang di kamar yang aku sewa, beralas tikar, berselimut kain dan buku-bukuku ada di kepalaku.

Aku mendengar suara gaduh di penginapan, aku mendengar mereka berkata, “Dia di sana, lihatlah, ini imam kaum muslimin datang.” Pemilik penginapan datang kepadaku dengan tergopoh-gopoh, dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdurrahman, ini Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, imam kaum muslimin datang kepadamu untuk menjengukmu.”

Dia masuk, dia duduk di sisi kepalaku, kamar tersebut penuh sesak dengan orang-orang sampai tidak muat, sebagian dari mereka berada di luar kamar dengan berdiri sementara pena di tangan mereka, dia tidak mengatakan kepadaku lebih dari kata-kata ini, dia berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, berbahagialah dengan pahala Allah, hari-hari sehat tidak ada sakit padanya dan hari-hari sakit tidak ada sehat padanya, semoga Allah meninggikanmu kepada keselamatan dan mengusapkan kesembuhan kepadaamu dengan tangan kananNya.” Aku melihat pena-pena menulis lafazhnya.

Kemudian dia keluar dariku, maka penghuni penginapan mendatangiku mengasihiku dan melayaniku dengan pamrih agama dan pahala dari Allah, ada yang membawa kasur, ada yang membawa selimut dan makanan-makanan yang lezat, dalam merawatku yang sedang sakit, mereka lebih perhatian daripada keluargaku seandainya aku berada di tengah-tengah mereka, hal itu karena aku dijenguk oleh seorang laki-laki shalih.”

Baqi bin Makhlad wafat pada tahun 276 H di Andalusi, semoga Allah merahmatinya.
Dari Shafahat min Shabri al-Ulama` ala Syada`id al-Ilmi wa at-Tahshil, Abdul Fattah Abu Ghuddah.
(Izzudin Karimi)